"Juna!”
Lelaki yang bernama Juna itu pun langsung menghentikan langkahnya, ketika Alan meneriaki namanya sembari menarik kaos yang dipakainya.
“Lepas, Lan! Gue harus ngejar cewe itu,” kesal Juna seraya menepis tangan Alan.
“Ikut gue!”
Alan mencengkeram tangan Juna. Lalu menariknya menuju kolam renang lagi. Membiarkan Rachel dan Noah pergi menjauh terlebih dahulu. Ia paham, Rachel tak nyaman dengan kehadiran lelaki ini. Ia juga bisa menyimpulkan, jika mereka berdua saling mengenal satu sama lain.
“Lo kenal sama dia?” tanya Juna, dengan raut wajah yang terlihat menahan kesal.
“Dia Aspri gue,” jawab Alan. Membuat lelaki itu langsung berdecak kesal.
“Ck. Kenapa lo nggak bilang ke gue kalau lo kenal sama dia?! Gue nyari dia selama bertahun- tahun, asal lo tau!”
“Ya mana gue tau, kalau lo juga kenal dia. Lo aja nggak pernah cerita ke gue,” balas Alan sewot.
Juna mengusap wajahnya kasar. Napasnya mulai memburu, dan wajahnya terlihat sangat gusar. Seolah menahan emosi yang tidak tersampaikan.
“Itu tadi anaknya dia?” tanya Juna lagi.
Sebelum menjawab, Alan mengamati wajah lelaki itu terlebih dahulu. Mencari jawaban dari pertanyaan yang memenuhi otaknya saat ini.
“Bukan,” jawab Alan pada akhirnya.
“Dia masih single. Anak kecil yang tadi itu ponakan gue. Selain jadi Aspri, dia juga merangkap jadi pengasuh ponakan gue,” jelasnya.
Lelaki itu memicingkan matanya. Menatap Alan dengan tatapan tak biasa.
“Lo nggak lagi bohong, kan?”
“Sesuai dengan keyakinan lo aja. Kalau menurut lo, gue bohong, ya nggak papa. Gue nggak maksa lo buat percaya. Karena nggak penting juga,” balas Alan ketus dengan raut wajah yang sangat datar. Hingga membuat lelaki itu kembali berdecak kesal.
Untuk masalah kejudesan wajah, Alan memang juaranya.
“Juna, ya ampun! Kamu dari mana aja, sih? Aku sampai cape, nyari kamu ke mana- mana,” ujar seorang wanita yang tiba- tiba datang menghampiri mereka berdua seraya berkacak pinggang dan menatap Juna kesal.
Seketika Alan langsung menghembuskan napasnya lega. Saat wanita itu menarik tangan Juna dan membawanya pergi menjauh darinya.
Kemudian tanpa berlama- lama lagi, ia langsung beranjak pergi mencari keberadaan Rachel dan juga Noah.
***
Alan meletakkan sendok yang ia pegang di atas piringnya. Kemudian beralih menatap Rachel yang sedari tadi hanya terdiam melamun, sembari memainkan nasinya dengan garpu.
“Kalau nasinya cuma dimainin kayak gitu, harusnya tadi nggak usah pesan makan. Saya nggak suka, kalau ada orang yang nggak menghargai makanan. Di luar sana, masih banyak orang yang kelaparan dan nggak mampu beli makanan. Sedangkan kamu yang udah dikasih kenikmatan, malah nggak bersyukur,” omel Alan menceramahi Rachel.
Hal tersebut berhasil membuat Rachel langsung tersadar dari lamunannya. Wanita itu lantas menegakkan tubuhnya dan menatap Alan sambil tersenyum canggung.
“Maaf, Pak. Saya lagi nggak fokus,” ucapnya.
“Cepat dimakan, atau kamu yang bayar ini semua?!” ancam Alan. Membuat Rachel langsung buru- buru memakan nasinya.
Tentu saja Rachel takut disuruh membayar semua makanan ini. Karena harga makanan di Restoran ini lumayan fantastis. Bahkan minumannya saja, dibandrol dengan harga puluhan ribu.
Saat ini, mereka bertiga sedang berada di sebuah Restoran mewah daerah PIK. Setelah sempat terjadi drama di Atlantis tadi, Alan langsung mengajak Rachel untuk segera pulang. Karena ia sadar, hati dan pikiran wanita itu sudah tidak tenang.
“Noah mau puding?” tawar Alan pada Noah yang sedang sibuk menonton video di ponsel bundanya.
“Suapin,” pinta bocah itu.
“Ayo sini, Bunda suapin,” sahut Rachel. Namun malah mendapat tatapan tajam dari Alan.
“Habisin dulu makanannya,” ketus Alan.
Rachel menghembuskan napasnya kasar. Ia tidak bisa bertindak apa- apa selain menurut, sambil menyaksikan ketelatenan Alan dalam menyuapi Noah.
Di sela- sela memakan nasinya, Rachel menyunggingkan senyuman tipis di bibirnya. Aura kebapakan Alan saat ini sedang terpancar keluar. Apalagi saat lelaki itu membersihkan bibir Noah, benar- benar terlihat seperti seorang Ayah dan suami idaman. Rachel sampai tidak berkedip melihatnya.
“Kamu hutang penjelasan sama saya,” ujar Alan.
“Penjelasan apa?” sahut Rachel.
“Pikir aja sendiri,” ketus Alan. Membuat Rachel langsung mencebikkan bibirnya kesal.
“Nggak jelas,” gumam Rachel.
“Nggak sopan. Bosnya dikatain nggak jelas,” ketus Alan lagi. Membuat Rachel langsung membulatkan matanya kaget. Perasaan ia sudah memelankan suaranya, tapi kenapa lelaki ini masih mendengarnya?
***
Bunyi gemerincing es batu yang diaduk di dalam gelas mulai mengalun di dapur sunyi milik Alan. Seorang wanita berambut panjang dan berbaju piyama itulah pelakunya. Sejak bangun dari tidurnya tadi, wanita itu langsung pergi menuju dapur untuk mencari sesuatu yang bisa mendinginkan pikirannya.
Namun bukannya diminum, wanita itu malah melamun sambil terus mengaduk minumannya.
“Ini masih pagi. Lebih baik minum teh hangat, dari pada minum es kopi,” ujar Alan, seraya meletakkan segelas teh hangat di depan Rachel. Membuat wanita itu langsung terkesiap kaget.
Semalam, Rachel dan Noah memang menginap di rumah Alan. Sebenarnya Rachel tidak mau, tapi karena Noah memaksa ingin tidur di rumah Alan, jadi ia tidak mempunyai pilihan lain selain menurutinya. Karena Alan sendiri juga memaksanya untuk menginap di sini.
“Pak Alan? Kapan bangun?” tanyanya.
Alan tak menjawab. Lelaki itu memilih untuk duduk di depan wanita itu, sambil menikmati cereal yang baru saja ia buat. Kemudian ia merebut segelas es yang masih dipegang oleh Rachel. Lalu ia teguk sampai habis.
“Ah... segar,” ucapnya.
“Katanya lebih baik minum teh hangat, dari pada minum es? Kok ini diminum sampai habis,” cibir Rachel, seraya mengerucutkan bibirnya kesal.
“Nggak baik buat kamu, tapi baik buat saya,” balas Alan.
“Dih, mana bisa begitu? Bilang aja kalau pengen es, tapi malas buatnya.”
“Udah, nggak usah banyak omong. Cepat dihabisin tehnya. Nanti keburu dingin.”
Dengan wajah yang masih terlihat sangat kesal, Rachel pun langsung meneguk teh hangat hangat tersebut sampai habis. Kemudian setelah itu, ia langsung menatap Alan dengan tatapan yang begitu dalam. Hingga membuat lelaki itu sampai salah tingkah sendiri.
“Pak Alan kenapa ya, makin ke sini makin beda banget,” celetuk Rachel.
“B-beda gimana?” tanyanya gugup.
“Biasanya, Pak Alan itu kaku, cuek, gampang emosi, dan nggak pernah peduli sama orang lain. Tapi semenjak ke Hong Kong, Pak Alan jadi beda banget.”
“Bedanya di mana?”
“Pak Alan jadi lebih perhatian ke saya,” celetuk Rachel terang- terangan.
“Terlalu percaya diri! Padahal saya biasa aja ke kamu,” balas Alan ketus.
“Oh ya? Terus kenapa waktu itu nawarin diri jadi ayahnya Noah?” tanya Rachel. Membuat Alan langsung terdiam seketika.
“Berapa kali, saya harus bilang? Saya cuma bercanda!” tegas Alan dengan raut wajah yang lebih serius dari sebelumnya. Sedangkan Rachel hanya ber-oh ria saja.
“Terus, Bapak bisa jelasin nggak? Kenapa ada foto candid saya di akun G****e drive Bapak?”
“Apa iya, saya harus jelasin dari awal?” Rachel mengangguk dengan semangat. Senyumnya yang manis, dan ekspresi wajahnya yang sangat imut, nyaris membuatnya terlihat seperti remaja belasan tahun. Padahal umurnya sudah menginjak dua puluh lima tahun, dan statusnya sudah berubah menjadi Ibu- ibu. Alan berdecak kesal. Dengan wajah yang terlihat sangat bad mood, ia pun mulai menjelaskan semuanya pada wanita ini. “Saya juga nggak terlalu ingat. Intinya, foto itu diambil tanpa sengaja. Dan saya pindahin ke G****e Drive karena waktu itu saya emang lagi bersih- bersih album kamera,” jelas Alan. Sedangkan Rachel hanya manggut- manggut sambil ber-oh ria. “Kenapa? Kamu berharap saya suka kamu gitu?” tanya Alan, seraya tersenyum menyeringai. “Enggak,” balas Rachel santai tanpa beban. “Karena percuma juga, kalau Pak Alan suka sama saya. Saya nggak bakal bisa balas cintanya Pak Alan,” ucapnya lagi. Membuat ekspresi wajah Alan langsung berubah menjadi datar. “Kenapa gitu?” tanyanya. “Because my
Malam harinya, Rachel, Noah dan Ida menikmati waktu kebersamaan mereka dengan menonton televisi bersama di ruang tamu rumah Rachel. Karena kontrakan yang ditempati Rachel ini hanya tiga petak, jadi televisinya diletakkan di ruang tamu yang ukurannya memang lebih luas dari kamarnya. Dengan menggelar karpet di depan sofa, ketiga manusia beda generasi itu pun membaringkan tubuhnya di sana sambil menutupi tubuhnya dengan selimut. Karena di luar sedang hujan gerimis, jadi udara terasa lebih dingin dari sebelumnya. Tak lama kemudian, mereka dikejutkan dengan kemunculan Alan yang tiba- tiba sudah berdiri di depan pintu sambil membawa dua kantong yang entah berisi apa. Sontak saja, Rachel langsung bangun dari tidurnya dan menghampiri pria itu yang masih berdiri di depan pintu dengan baju yang sedikit basah karena terkena air hujan. “Ada perlu apa, Pak? Kenapa hujan- hujan datang ke sini?” tanya Rachel. “Mau ngantar ini,” jawabnya seraya menyerahkan kedua kantong tersebut pada Rachel. “
“Nih, habisin dulu es krimnya. Nanti baru Om antar ke rumah Om Alan.” “Yeay... makasih, Om. Tapi jangan bilang Papa Alan ya! Nanti Papa Alan bilang ke Bunda. Bunda suka malah kalau Noah makan es klim.” “Emang Bunda kamu galak?” Sambil memakan es krimnya, bocah itu pun mengangguk. “Bunda kalau malah, selam banget. Kayak singa kelapalan,” ucapnya. Membuat lelaki itu langsung terkekeh pelan. “Kamu pernah dimarahin?” “Pelnah, tapi habis itu Bunda nangis.” “Kenapa nangis?” “Katanya nyesel, udah malahin Noah.” “Kalau ayahnya Noah, galak nggak?” “Noah nggak punya Ayah,” jawabnya enteng. Membuat lelaki itu langsung terdiam kaget. “Emang ayahnya Noah ke mana?” “Nggak tau. Bunda nggak pelnah jawab kalau Noah tanya.” Lelaki itu mengangguk- anggukkan kepalanya. Agak sedikit kasihan, melihat wajah Noah yang berubah menjadi cemberut. “Eh, kalau boleh tau, Noah sekarang sekolah kelas berapa?” tanya lelaki itu mengalihkan pembicaraan. Ia sadar, jika pertanyaannya tadi sangat sensitif bagi
Setelah sama- sama terdiam selama beberapa menit, Rachel mulai membuka mulutnya untuk berbicara. Karena Alan juga tak kunjung bertanya sedari tadi. “Nggak perlu saya jelasin lagi, kan? Pak Alan pasti udah ngerti,” ujar Rachel dengan kepala yang masih tertunduk. Alan mengangguk- anggukkan kepalanya. Kemudian ia merubah posisi duduknya menjadi menghadap Rachel. “Saya cukup cerdas buat membaca situasi. Jadi nggak perlu kamu jelasin lagi,” balas Alan seraya meminum teh hangat yang tadinya ia siapkan untuk Noah “Tolong jaga rahasia ini ya, Pak. Terutama dari Juna. Saya nggak mau, kalau muncul masalah baru yang bisa mengganggu ketenangan hidup saya dan Noah. Kedepannya, saya bakal lebih berhati- hati lagi,” ucapnya. Membuat Alan langsung menghembuskan napasnya kasar. “Saya tau. Masa lalu biarkan menjadi kenangan. Kamu cukup fokus ke masa depan aja.” Rachel mengangguk. “Kalau nggak ada yang mau ditanyakan lagi, saya pamit pulang,” ucapnya. “Oh iya, barang- barang yang saya kirim uda
Sudah hampir setengah jam lamanya, Rachel menunggu Alan yang sedang rapat dengan para pemegang saham VJ Group. Ia tidak diperbolehkan masuk ke dalam ruangan, karena rapat kali ini sangat tertutup dan hanya orang- orang penting saja yang boleh masuk. Selain menjadi seorang konsultan bisnis, Alan memang suka berinvestasi saham di perusahaan- perusahaan besar. Salah satunya adalah VJ Group, perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan dan perindustrian. Di sini, Alan merupakan pemegang saham tertinggi diurutan ke tiga. Maka dari itu, ia selalu hadir jika ada rapat penting seperti ini. Sebenarnya ia disuruh Alan untuk menunggu di depan ruang rapat. Namun karena ia sudah bosan, akhirnya ia memilih untuk menunggu di cafetaria perusahaan. “Ngantuk, ya?” tanya seseorang, seraya meletakkan satu botol minuman di meja yang sedang di tempati oleh Rachel saat ini. Rachel yang sedang menguap pun seketika langsung menutup mulutnya. Matanya membelalak kaget, saat melihat seseorang yang sedang be
Bekasi, 19.15 Alan dan Rachel melangkah masuk ke dalam sebuah Restoran mewah, tempat diadakannya pertemuan keluarga besar Mama Alan. Bagaikan sepasang kekasih seperti pada umumnya, Alan dan Rachel berjalan bersama dengan bergandengan tangan. Outfit yang mereka pakai juga sangat serasi. Alan memakai celana hitam dengan kemeja panjang berwarna hitam. Sedangkan Rachel memakai dress maroon selutut. “Selamat malam, keluarga Bapak Irawan ya?” tanya seorang pelayan Restoran pada mereka berdua. “Iya,” jawab Alan. “Di lantai dua ya. Sudah ditunggu sama keluarganya,” ucapnya lagi. “Iya, terima kasih.” Setelah itu, mereka lantas menaiki tangga menuju lantai dua. Alan yakin, semua keluarganya sudah datang dan sedang menunggu kedatangannya. “Pak, saya takut,” ujar Rachel. Seraya meremas jari jemari Alan dengan kuat. “Takut kenapa?” “Takut gagal, aktingnya.” “Santai aja. Yang penting nanti kamu lakuin apa yang saya ajarin tadi.” Rachel mengangguk. Kemudian tanpa diduga, Alan melepas ge
Rachel membaringkan tubuhnya di samping Noah yang sudah tertidur di kasur. Matanya menatap langit- langit kamar dengan pandangan kosong, mengingat percakapannya dengan Alan tadi. Entah kenapa, moodnya malam ini tiba- tiba memburuk. Ia bahkan malas untuk sekedar berganti pakaian. Padahal masih banyak rutinitas yang harus ia lakukan malam ini. Mulai dari mencuci muka, sikat gigi, dan yang terakhir skincare routine. “Kenapa jadi kayak gini sih,” gumam Rachel seraya memijit pangkal hidungnya. “Aku harus gimana, Tuhan?” Saking stressnya ia malam ini, ia sampai mengeluarkan air mata. Tidak tahu harus bagaimana mengahadapi Alan nanti. Ia pusing, bingung, sekaligus bimbang. *Flashback on “Saya suka kamu, Rachel. Tolong buka hati kamu juga. Biar saya bisa move on dari Sania.” “Maksudnya?” “Kamu nggak bodoh. Saya udah ngomong secara terang- terangan. Masa masih belum ngerti?” Rachel menjauhkan tubuhnya dari tubuh Alan. Wajahnya masih terlihat sangat shock. Seolah tidak percaya dengan
“Kenapa percaya diri banget? Emang ini anak kamu?” tanya Rachel ketus. “Terus anak siapa lagi kalau bukan anakku?” “Emang kamu tau, kehidupan aku selama enam tahun ini? Bisa jadi aku udah nikah kan, terus punya anak sama orang lain.” “Nggak mungkin. Kalau udah nikah, mana suaminya?” “Bisa jadi udah cerai, kan?” “Tetap nggak masuk akal. Kecuali kalau Noah sekarang baru umur tiga atau empat tahun.” “Emang kamu tau, umur Noah sekarang berapa?” tanya Rachel sedikit sewot. “Tau, lah! Lima jalan enam kan?” balas Juna dengan wajah yang begitu tengil. Membuat Rachel langsung mencebikkan bibirnya kesal. “Nggak bisa jawab lagi, kan? Karena dia emang anakku. Mau bohong sampai mulut kamu berbusa juga bakal ketahuan, karena DNA udah menjawab semuanya. Nih lihat, mukanya persis sama aku waktu masih kecil,” cerocos Juna, seraya menunjukkan kertas foto berukuran kecil. Rachel berdecih. Tau gitu, ia mending minta bantuan pada Bapak- bapak yang menolongnya tadi. Ditolong Juna ternyata malah ber