Share

Bab. 4 Flashback

"Laluna ...! Aku menyukaimu!" Suara bariton itu terdengar dengan sangat jelas walaupun terpisah jarak beberapa meter.

"Apa?" Wanita yang tengah menunggu bus itu melotot dan langsung melihat ke sekeliling mereka. Ia khawatir ada seseorang yang akan mendengar ucapan Rayyanza. Tapi, untungnya tidak ada satu orang pun berada di sana.

Luna melangkahkan kaki, mendekatkan tubuhnya pada Rayyanza. "Kamu jangan bercanda, ya!" ucapnya setengah berbisik.

"Tidak, Luna. Aku serius. Aku menyukaimu!" terangnya menatap luna dengan tatapan sayu. "Maukah kamu menjadi pacarku?" tanyanya lagi.

Luna tersenyum miring, tentu saja ia tidak percaya dengan perkataan Rayyanza. Ia menganggap ungkapan itu hanyalah sebuah omong kosong belaka. Lagi pula, mana mungkin hanya beberapa kali bertemu di ruang himpunan pria itu bisa langsung jatuh cinta padanya.

"Maaf, Kak Rayyan. Saat ini, aku ingin fokus belajar di kampus ini. Aku harus mendapat nilai yang bagus agar aku bisa terus memperoleh beasiswa di kampus ini," tolak wanita berambut panjang itu secara halus.

"Itu masalah kecil, Luna. Aku bisa mengajukan beasiswa untukmu. Tanpa kamu harus bersusah payah."

Luna tidak ingin mendapat jalan pintas seperti itu. Ia terbiasa berjuang sendiri. Apalagi jika hanya demi mendapatkan beasiswa, dirinya harus sampai memanfaatkan Rayyanza. Tentu saja ia tidak akan mau melakukannya.

"Sekali lagi aku minta maaf, Kak! Aku tidak bisa menerimamu!" jawabnya dengan enteng.

"T-tapi, Luna!" Belum selesai pria tampan itu berkata, Luna sudah masuk ke dalam bus yang baru saja berhenti di hadapannya.

Rayyanza, bak pangeran terkaya di kampus itu tidak pernah merasakan ditolak oleh seorang wanita. Namun, siapa sangka, kali ini ia ditolak oleh gadis termiskin di kampus tersebut.

Pria berkemeja putih itu berdiri menatap bus yang baru saja pergi berlalu membawa wanita pujaan hatinya. Setelah penolakan itu, hatinya merasa hancur berkeping-keping. Sakit, namun tidak berdarah. Ia pun tak mengerti, mengapa ia sangat tertarik pada wanita dingin itu.

"Ck ..., ada-ada saja. Dia pikir, aku akan percaya dengan kata-katanya? Dasar buaya," gumam Luna berdecak kesal.

Banyak wanita yang mengagumi ketampanan Rayyanza. Dimata mereka, Rayyanza adalah sosok pria yang sangat sempurna. Tampan, berkharisma, dan kaya raya. Meski begitu, Rayyanza bukanlah tipikal laki-laki yang sering bergonta-ganti wanita. Jika ia sudah menautkan hatinya pada satu wanita, maka ia akan setia pada wanita tersebut.

Keesokan harinya, Rayyanza memperlihatkan sikap dingin pada Luna. untuk sekedar tersenyum saja, ia enggan. Apalagi jika harus menyapanya. Baginya, Luna adalah sumber kekecewaannya.

Setelah beberapa hari Amanda liburan di Swiss bersama orang tuanya. Hari ini, ia kembali masuk kuliah seperti biasa.

Niiiit .... Niiit ....

Suara klakson mobil memecah keheningan area pemukiman rumah Bibi Luna. Seperti biasa, Amanda menjemput sahabatnya itu sebelum ia berangkat ke kampus. Mereka selalu bersama kapan pun dan dimana pun.

Empat tahun sudah mereka bersahabat. Tak jarang, Amanda yang keadaan status sosialnya jauh diatas Luna, sering kali menolong Luna ketika ia sedang merasa kesulitan.

Dari semenjak orang tuanya meninggal, Luna bekerja part time di resto milik sang bibi. Saat itu usianya baru menginjak 15 tahun. Setelah pulang sekolah, ia jarang sekali bermain seperti anak-anak seusianya. Ia lebih memilih membantu Bibinya di resto. Dengan begitu, ia akan mendapatkan upah dari hasil bantu-bantu untuk kebutuhanya.

Sebenarnya, Luna tidak pernah meminta imbalan. Bibinya juga tidak menganggap Luna sebagai pekerja. Hanya saja, sang bibi merasa berterima kasih pada Luna karena telah membantunya di cafe. Ia dan Nikita tinggal bersama Bibi Santika di rumahnya. Karena rumah peninggalan orang tua Luna telah disita oleh Bank.

Luna dan Nikita merupakan gadis yang sangat baik. Tak hanya baik, mereka juga sangat pintar. Keduanya selalu mendapat beasiswa karena kepintarannya. Dari hasil membantu Bibi Santika di cafe, ia tabung untuk kebutuhan pribadinya dan juga Nikita.

"Cepat!" teriak Amanda dari dalam mobil.

Laluna, duduk di atas bangku yang ada di teras rumah. Ia sibuk mengenakan sepatunya, kemudian berlari menghampiri mobil berwarna putih milik Amanda yang sedari tadi sudah terparkir menunggunya.

"Uugh, lama sekali!" gerutu wanita yang baru saja pulang berlibur itu.

"Mana oleh-olehnya?" goda Luna pada sahabatnya ketika gadis itu baru saja masuk ke dalam mobil.

"Tuh, dibelakang!" jawab Amanda seraya memutar setengah kepalanya ke arah belakang.

Wanita yang duduk di balik kemudi itu sangat tidak pelit jika pada sahabatnya. Luna selalu mendapat banyak oleh-oleh dari Amanda ketika sahabatnya itu pergi ke luar negri bersama orang tuanya.

Dengan tidak sabar, Luna meraih paper bag yang tergeletak di kursi belakang. Tangannya merogoh beberapa benda yang ada di dalam paper bag itu. Jam tangan dan beberapa box berisi cokelat khas Swiss kini berada di tanganya.

"Wah ..., jam tanganya bagus sekali. Pasti ini mahal?!" cetus wanita bermata hazel itu.

"Aku gak tau, soalnya papa yang membayarnya!" Jawab Amanda tertawa.

Luna, melingkarkan jam tangan itu di pergelangan tangan kirinya. Kemudian, memandanginya selama beberapa saat. Jam tangan itu terlihat sangat pas di tangan Luna. Amanda benar-benar tau apa yang cocok untuk sahabatnya itu.

"Nih makan!" Luna membuka bungkusan cokelat lalu menyuapi Amanda yang sedang fokus menyetir.

"Enak, ya?!" cetus Luna seraya mengunyah cokelat ala Swiss tersebut.

Walaupun status sosial keduanya sangat jauh berbeda, itu sama sekali tidak menjadi penghalang bagi persahabatan mereka. Justru, Luna yang lebih pintar dari Amanda sering membantu Amanda dalam hal pelajaran. Sehingga, nilai rapot wanita yang hampir tidak naik kelas itu menjadi bagus dan orang tuanya pun menjadi bangga padanya.

"Eh Lun, Foto dulu donk. Hari ini kita belum foto, kan? Story i***a*ram aku masih kosong nih!" celetuk wanita yang sedang memegang setir mobil itu. "Pake hape aku aja fotonya." tambahnya lagi.

Luna meraih ponsel milik Amanda keluaran terbaru yang harganya mencapai dua digit. "Lihat sini! Satu ... Dua ... Tig-."

BRAAAAAKKKK!!!!

Benturan yang sangat keras membuat tubuh Luna yang tidak menggunakan sabuk pengaman, terhuyung ke depan seketika. Kepalanya membentur dashboard mobil hingga pelipisnya memar.

Mobil berwarna putih itu menabrak sesuatu dengan sangat kencang. Amanda yang merasa sudah mengendarai mobilnya dengan benar menjadi emosi, ketika ia melihat mobil berwarna hitam bertabrakan dengan mobilnya.

Amanda turun dari mobil untuk memeriksa kerusakannya. Bumper bagian depan terlihat penyok, dan kaca lampunya pun pecah.

"Keluar kamu!" teriak Amanda memukul kap mesin mobil hitam yang menabraknya.

Dari balik kaca mobil, terlihat samar seorang pria dengan santai melepas sabuk pengamannya. Kemudian, membuka pintu mobil secara perlahan.

Pria bertubuh tinggi atletis, berkaca mata hitam dan berhidung mancung berdiri dengan gagahnya di hadapan Amanda. Sehingga membuat wanita berbaju putih itu terpana dengan ketampanannya.

"Apa kamu tidak bisa menyetir dengan benar, Hah?!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status