Share

Bab. 7 Tak Mungkin Bersatu

Di dalam rumah yang tidak begitu luas, Nikita memeluk erat sang kakak. Mencoba membantu menenangkannya.

"Nih, Kak. Sebaiknya Kakak minum dulu!" Gadis itu menyodorkan segelas teh manis hangat ke hadapan sang kakak. Kemudian, Luna meniup dan menyeruput teh yang masih mengeluarkan asap tipis itu.

Setelah merasa sedikit tenang, Luna menceritakan kejadian malam itu pada Nikita. Selama ini, ia memang selalu terbuka pada adik satu-satunya itu.

"Sudahlah, Kak. Kaka tidak perlu lagi merasa bersalah pada Kak Amanda. Lagi pula, semua itu terjadi karena Kakak dan dia sedang mabuk. Kejadian itu juga terjadi begitu saja tanpa ada unsur disengaja!"

"Tapi, Nik. Bagaimana jika sampai Manda tau? Aku takut dia akan marah dan tidak menganggapku sebagai temannya lagi!" ucap Luna dengan resah.

"Selama dia dan Kak Luna bisa menyimpan kejadian ini rapat-rapat. Aku yakin Kak Manda tidak akan sampai mengetahuinya. Lagi pula, tidak ada yang melihat kalian berdua ada di sana, kan?!"

Sebenarnya, Nikita merasa sangat marah ketika mengetahui Rayyanza telah merenggut kesucian Luna. Namun, ia sadar. Jika ia marah pada Rayyanza, tentu saja semuanya akan menjadi kacau. Selain persahabatan Luna dan Amanda yang hancur, sudah tentu rumah tangga Amanda pun akan ikut hancur. Belum lagi harus menghadapi kekuasaan orang tua Rayyanza.

Sepertinya memang tak ada pilihan lain selain membiarkan semua kejadian itu terkubur dalam-dalam.

Keesokan harinya, Luna pergi bekerja. Sedangkan Amanda pergi bersekolah. Hari ini Luna memutuskan untuk move on dan melupakan kejadian kemarin.

Walaupun kesuciannya telah hilang karena hal bodoh. Baginya itu tidak menjadi masalah. Lagi pula, di jaman modern seperti sekarang ini, sepertinya keperawanan bukanlah hal yang utama bagi pasangannya kelak.

"Hai Lun ..., semalam kemana? Kita mencarimu tapi kamu tidak ada di sana. Kamu kabur ya?!" cetus salah satu teman satu divisinya ketika Luna baru saja tiba di ruang kerjanya.

Wanita yang mengenakan kemeja soft blue itu tersenyum ketus. "Habisnya kalian memaksaku untuk terus minum sih! Jahat ya kalian!"

Kekehan terdengar sedikit meramaikan suasana kantor yang sudah seperti kuburan.

Luna duduk di kursi kerjanya, menyalakan layar berbentuk pipih yang ada di atas meja kerja. Seperti hari-hari sebelumnya, wanita itu selalu sibuk dengan pekerjaannya. Namun, ia selalu bersemangat dan tak pernah mengeluh sedikitpun.

Drrrrttt .... Drrrrttt ....

Ponsel yang tergeletak di atas meja kerja tiba-tiba bergetar. Ia memeriksa notifikasi pada benda pipih tersebut.

[Besok, aku akan pergi ke korea. Kamu mau ikut?] ketik Amanda.

Luna mengembangkan senyum ketika membaca pesan singkat yang dikirim oleh sahabatnya melalui aplikasi hijau.

[Kamu selalu saja bertanya pertanyaan yang sebenernya kamu sendiri sudah tahu jawabannya!]

[Siapa tau kali ini kamu bisa ikut bersamaku!]

[Jika aku tidak masuk bekerja selama lebih dari dua pekan. Kemungkinan atasanku akan menendangku!]

[Jika mereka sampai menendangmu. Ya kamu pindah saja ke perusahaan milik suamiku. Gajinya pun pasti lebih besar.]

Deg ...!

Setiap mendengar nama suami Amanda. Perasaanya menjadi tak menentu. Antara takut diketahui, merasa bersalah, dan merasa benci pada Rayyanza.

Luna diam membatu. Menatap layar ponsel dengan tatapan kosong. Sebelum akhirnya salah satu teman yang bernama windy menegurnya.

"Heh ..., mengapa bengong? Nanti kesambet loh?!"

Luna terkesiap. Kemudian, langsung meletakkan ponselnya di atas meja. Ia tidak ingin membalas pesan terakhir yang dikirimkan oleh Amanda.

Tak terasa, saking sibuknya Luna bekerja. Benda bulat yang menggantung di dinding sudah menunjukan pukul empat sore. Saatnya seluruh staf untuk pulang.

Luna berjalan menuju halteu bus yang kebetulan jaraknya tidak begitu jauh dari tempatnya bekerja. Tak berselang lama, akhirnya angkutan umum yang ia tunggu pun telah tiba. Luna masuk dan duduk di dalam bus yang sepi penumpang.

Dari jarak beberapa meter, mobil sport berwarna merah terparkir di bahu jalan. Sang pengemudi terus memperhatikan wanita yang duduk di halteu bus hingga kendaraan berukuran besar itu membawanya pergi.

Tak ingin tertinggal, Rayyanza menginjak pedal gas membuntuti kemana wanita itu akan pergi.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit. Akhirnya Luna terlihat turun dari bus. Wanita bersurai panjang itu berjalan menuju komplek rumah kontrakannya.

"Luna ...!" seru suara bariton yang memanggilnya ketika ia akan membuka pintu pagar rumahnya.

Spontan wanita bermakup flawless itu menoleh ke arah sumber suara. Ia tersentak melihat pria yang tempo hari berhasil merenggut kesuciannya.

"Kamu?!" Luna merubah raut wajahnya menjadi raut sinis. "Mau apa kamu kesni?! tanyanya ketus.

"Bisa kita bicara?!" Rayyanza memasang raut memelas.

"Tidak ada yang perlu kita bicarakan!" Wanita cantik itu mendelikan mata kemudian membuka pintu pagar rumahnya.

"Tunggu Luna! Aku mohon, sebentar saja!" Pria yang terlihat gagah dan tampan itu mencekal tangannya.

"Lepas Rayyan. Jangan pernah berani menyentuhku lagi!" sentak Luna.

"Oke, baik! Aku tidak akan menyentuhmu. Tapi, beri aku kesempatan untuk berbicara denganmu!"

Luna menghela napas panjang, lalu membuangnya dengan kasar. "Masuk!" titahnya.

Rayyanza masuk ke dalam rumah yang tidak terlalu besar itu. Ia duduk di Sofa yang semalam ia duduki bersama Amanda.

"Cepat katakan. Apa yang ingin kamu bicarakan!" tanya luna dengan nada ketus.

Pria yang mengenakan setelan jas berwarna soft beige itu berdehem pelan. "Sebelumnya, aku ingin meminta maaf atas kejadian malam itu. Aku-, eum ...," kata-katanya terjeda.

"Aku apa?!" sentak wanita yang duduk di hadapan Rayyanza memasang wajah kesal.

"Aku bersedia jika harus bertanggung jawab."

"Tanggung jawab? Tanggung jawab seperti apa? Menceraikan Amanda lalu menikahiku?" cetus Luna.

Rayyanza mengangguk pelan. "Malam itu. Meskipun aku mabuk. Tapi aku masih ingat apa yang aku lakukan padamu. Aku tau aku adalah laki-laki pertama yang melakukannya!" ucapnya seraya menundukan wajah.

Lagi, wanita itu menghela napas dalam. "Amanda adalah sahabat terbaiku. Selain Amanda, Adiku dan juga Bibiku, aku tidak memiliki siapapun lagi di dunia ini. Amanda sudah banyak berkorban dan berjasa di hidupku. Tidak mungkin aku menyakitinya!"

"Tapi, Luna-." Belum selesai pria tampan itu berkata, Luna langsung menyelanya.

"Jadi, aku harap kamu tidak akan pernah menyakiti sahabatku! Dan aku tidak mungkin menusuknya dari belakang!"

"Tapi, aku tidak pernah mencintai dia! Kamu tau sendiri, kan. Aku menikahinya karena terpaksa!"

"Jika kamu tidak mencintainya. Maka, belajarlah untuk mencintainya. Jika itu tidak berhasil, maka berpura-puralah!"

"Tidak bisa, Luna! Aku sudah mencobanya!"

"Berusahalah Rayyan. Dia sangat mencintaimu. Tolong jangan pernah sakiti hatinya."

"Tapi aku mencintaimu, Luna!" Dengan lantang Rayyanza mengungkapkan perasaanya.

"Tidak Rayyan. Aku yakin itu bukan cinta. Kamu hanya merasa penasaran terhadapku!"

"Aku bersumpah, Luna. Sedari dulu, aku memang mencintaimu!"

"Jika itu memang benar. Maka mulai sekarang, buanglah perasaan itu jauh-jauh. Aku tidak mungkin mengkhianati sahabat terbaiku! Lagi pula, aku dan kamu tidaklah setara. Aku hanya wanita miskin sedangkan kamu berasal dari keluarga terpandang dan kaya raya. Kita tidak mungkin bersatu, Rayyan!"

"Tapi, Luna!" Pria itu memberanikan diri menggenggam tangan luna. Namun, wanita itu melepaskan genggamannya.

"Demi kebaikan semuanya. Mulai saat ini, tolong jangan pernah ganggu aku lagi!"

Ceklek ....

Suara pintu ruang tamu terbuka. Seseorang masuk kemudian menoleh ke arah Luna dan Rayyanza.

"Mau apa kamu datang kesini, hah?!" Suara teriakan itu memecah keheningan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status