Aku menyeret koper besarku dengan malas. Sudah menjelang senja sebenarnya. Biasanya, aku suka dengan warna jingga yang menghiasi langit di kota metropolis ini. Sesaat menjelang Maghrib.
Kali ini rasanya langit tak berwarna jingga. Tapi, cokelat. Mirip kopi instan creamer yang biasa kuseduh di studio, setelah menghabiskan seporsi bakso. Hem, perutku terasa keroncongan.
Aku menatap kembali layar gawai yang berkedip-kedip hampir kehabisan baterai. Mana ini taksi online yang kupesan 30 menit lalu?
Sekarang, kota ini mungkin lebih seperti apa yang dideskripsikan Pramudya Ananta Toer, dalam novel legendarisnya, Bumi Manusia. Hanya saja, tentu lebih modern, ramai, rapi, dan rindang.
Pabrik-pabrik dengan cerobong asap tinggi, memang ada di sisi kota, mirip dengan London di abad kesembilan lalu, tentu saja minus kereta kuda.
Trotoar penuh orang. Tapak-tapak kaki dan sepatu terdengar khas.
Kendaraan-kendaraan bermotor lalu lalang dengan cepat dan rapat. Menyemburkan asap knalpot yang pekat dan gelap.
Aku celingukan mencari mobil Avanza putih seperti yang tertulis di aplikasi. Beberapa ojol dan kenek bis mini mengamatiku. Mungkin terasa aneh bagi mereka, aku dan koper ini duduk bersebelahan. Ukuran kami nyaris sama. Aku tersenyum geli.
Halte kecil di depan terminal ini tak sesepi dahulu. Saat kutinggalkan menuju dusunku yang kecil, berdebu, dan hijau. Sekarang tampak lebih ramai dan riuh.
Kemarin lalu, ibuku menelpon dengan penuh semangat. Suaranya yang melengking khas emak-emak masa kolonial, membuat telingaku sakit. Saat itu aku harus menulis dan mengirimkan surat lamaran kerja pada sebuah brand besar. Jadilah, kepalaku sepanjang hari berdenyut-denyut sakit.
"Anjani! Iya kan, kamu Anjani?!" seorang tukang parkir berumur sebaya denganku, yah di awal tigapuluhan menyapaku dengan antusias. Rasa-rasanya aku pernah mengenalinya. Tapi, siapa ya? Kucoba mengacak memori di kepalaku secepat kilat.
"Hei, aku Syaiful. Si Ipul, yang keren dulu. Masih ingatkan?" Katanya melepas topi lebarnya. Rambutnya yang pirang kemerahan, seperti yang kuingat dulu membuatku bisa mengingatnya.
"Ohya, hai Pul," kataku. Hampir saja lidahku yang keminggris gara-gara sering mengucapkan judul lagu-lagu Barat saat siaran mengucapkan 'Paul.'
Aku tersenyum konyol.
Ipul memberengut, "Kok begitu doang, nggak suka ketemu teman SMP?"
"Ya, enggaklah."
Aku terdiam lama, bingung juga mau ngomong apa sama si Ipul ini. Sudah lebih lima belas tahun kalau tidak salah aku tak pernah bertemu dengannya.
"Bercanda, Jaan! Jangan manyun begitu dong!"
Hiih, aku kan paling nggak suka dipanggil Jaan. Kok dia ini ingat saja sih?
"Anjani," koreksiku.
"Iya, Anjani kan nama lengkapmu?" katanya sok tahu dan ngeyel.
Aku mengetuk-ngetuk jempol kakiku yang mulai gatal dalam sepatu snickers andalanku. Lalu, berdehem dengan keras, "Anjani Rahma, itu nama lengkapku."
"Ah, sulit. Jaan!"
Ya, Tuhan mimpi apa aku semalam, bertemu makhluk seperti si Ipul ini. Ya, aku sih bukannya perempuan yang suka memasukkan teman di piramida prioritas. Namun, melihat kedegilan Ipul, rasanya aku pingin memlemparnya ke planet Mars.
"Mana suamimu, Jaan?"
"Nggak ada," kataku pendek seraya melengos. Merapikan kerudung kaosku yang telah lepek karena keringat. Aku kembali celingukan mencari-cari Avanza putih.
"Oh, maksudnya masih belum kawin ya?" Ipul terkekeh geli. Matanya yang jalang malah berkedip-kedip menatapku.
"Memang sulit, Jaan cari jodoh. Kebanyakan lihat penampakannya saja," katanya kemudian sok bijaksana.
Mendengar Ipul berkata panjang lebar tentang filosofi jodoh, mau tak mau aku tertawa keras saat ia berulang kali menyebut kata 'penampakan'. Mungkin maksudnya melihat tampilan visual seseorang. Ipul seperti kesulitan mencari diksi yang pas. Tapi biarlah. Biarkan dia senang hari ini.
"Karena aku gemuk dan jelek kan, Pul?" ucapku ringan. Seperti biasanya. Saat orang-orang menilai diriku ini. Sama sekali tanpa rasa sedih, kuanggap ini rutinitas harian saja.
"Kamu nggak jelek, Jaan. Tapi montok," jawab Ipul jujur.
Aku tertawa lepas, "Iya. Pul. Aku gemuk banget ya."
"Kayaknya nggak gitu sih. Montok itu beda dengan gemuk, Jaan."
Aku ngikik. Ya, Ipul memang polos dan lugu berbeda sekali dengan rekan-rekan kerjaku di kota. Apa ya namanya, kalau mereka itu? Pandai bermuka dua. Haha.
Ipul ini mungkin tidak mencapai kecerdasan teman-temanku di studio, yang kuingat ia berulang kali tidak naik kelas. Hingga bisa sekelas denganku. Saat itu aku duduk di kelas, di posisi belakang bangkunya, dulu ia sering meminta traktiran di kantin.
Dasar sableng.
Nasib burukku terselamatkan, saat kenaikan kelas. Ipul kembali tinggal kelas, aku pun menjadi cewek paling bahagia saat itu walau tidak pernah pacaran seperti gadis-gadis lain.
Sepanjang pengumuman kenaikan kelas. Aku cengar cengir di belakang panggung inagurasi. Bukan karena aku bisa meraih peringkat satu lagi, sama sekali tidak. Tapi, aku bisa terbebas dari makhluk seperti Ipul itu.
"Mana istrimu, Pul?"
"Kerja," jawabnya sedikit lesu.
"Kok lesu begitu, harusnya kamu bangga dong punya istri wanita karir," giliran aku yang mengintimidasi si Ipul.
"Ya, kan aku jadi ketahuan punya istri sama kamu Jaan, nggak bisa nggodain kamu," ucapnya lagi.
Aku kembali terkikik geli melihat preman sekolahku ini. Dulu si Ipul ini seperti makhluk paling berkuasa di sekolah. Main tonyor sana sini. Kalau sekarang, melihat nasib Ipul aku merasa kasihan juga.
"Kerja di mana Pul, istrinya?"
"Pabrik. Lagi shift pagi, jadi jam segini masih di sana."
Aku mengangguk-angguk. Kulihat Ipul memberi isyarat untuk kembali mengatur posisi parkir beberapa mobil yang memasuki area terminal. Aku mengulum senyum, setidaknya aku bisa mengisi waktuku menunggu taksi online yang kulihat .
Aku tentu tidak menceritakan pada teman lamaku, tentang keluargaku yang hancur berantakan.
Apalagi berkisah padanya bahwa aku sekarang adalah seorang janda. Aduh, rasa-rasanya lidahku kelu begitu mengingat kalau aku sekarang ini berstatus janda.
Tak mungkin kan, aku menyebut diriku ini seorang single parent? Karena, ya pernikahanku dan Argo dulu tidak menghasilkan anak.
Belum, tepatnya.
Aku menyeret koper besarku yang tampak berat. Sopir taksi online itu bapak-bapak berusia sekitar 50 tahun. Sedikit terkejut melihatku. Mungkin ia bayangkan aku ini gadis manis yang ramping semampai putih berseri menari-nari. Tapi, biarlah.
"Silakan, Mbak." Katanya ramah.
Aku sedikit lega mendengar nada suaranya, yang ramah. "Kaget, Pak?"
"Kaget kenapa, Mbak?" Ucapnya sembari membuka pintu mobil.
"Ya, dapat customer besar kayak saya ini, Pak."
"Ah, enggak sama sekali. Istri saya malah lebih guede." Jawabnya sembari memutar kemudi.
Aku tersenyum-senyum di belakang kursi, sembari memainkan gawai. Beberapa menit berlalu, mataku menyapu bersih kota metropolis yang kutinggalkan selama enam bulan ini.
Tiba-tiba gawaiku bergetar. Kupikir, ini telepon dari HRD tempat aku mengirimkan surat lamaran kerja. Ada beberapa—bukan sih tapi belasan HRD, yang kuhubungi agar aku bisa kembali bekerja.
Walau mungkin bukan menjadi announcer lagi. Tidak mengapa.
Besok ada dua tes, dan satu interview, jadi mau tak mau aku harus bersiap-siap.
"Sore, dengan Anjani di sini."
Lama tak kudengar suara di seberang, hanya hembusan napas yang berat saja.
"Sore, Jani. Kudengar kamu kembali ke Surabaya. Apa kamu butuh tumpangan? Aku bisa menjemputmu."
Ya, Tuhan. Apa sih maunya si Argo ini?
"Aku nggak butuh tumpanganmu, Go." Kataku judes.
Di sana kudengar suara tertawa mengekeh, "Syukurlah. Aku senang mendengar suaramu lagi Jani!"
"Tolong dong, jangan nelpon-nelpon terus."
"Aku nggak bisa Jani. Maaf, aku kangen suaramu."
Aduh.
Cepat-cepat kumatikan gawai sialan yang membuat mood-ku ambyar sore ini. Hatiku mencelos sebal. Mengutuk betapa lemah diriku menghadapi permainan Argo.
Ya, Tuhan. Ke mana sih akal sehatku yang dulu? []
---------------Bersambung
Hello Dears, kutunggu komentar dan love-nya ya. Yuk temani Anjani di kisah ini. đź’—
Love you, xoxo
Puspitalagi 🥳🥰
Alunan gending Lingsir Wengi versi asli, yang tidak ada bau-bau Kuntilanak seperti film-film Julie Estelle menemani makan malamku di sebuah restoran kecil di sebuah Mal Surabaya.Memang sih, uangku semakin menipis. Namun, hari ini aku ingin merayakan keberuntunganku. Keberuntungan apa kemalangan ya? Aku—Anjani si janda muda yang masih belum jelas masa depannya ini akhirnya dipanggil interview beberapa perusahaan.Bayangkan saja, pemirsa!Besok lusa, aku akan menemui staf HRD setempat yang konon lebih seram daripada drakula. Jadi, mengabiskan beberapa ratus ribu di tempat ini rasanya tidak mengapa kan?"Sendirian, saja nih Mbak?" sapa seorang pramusaji pria dengan wajah ramah.Aku mengangguk. Tanpa tersenyum tentu saja. Karena pertanyaan itu seperti menyindirku sedemikian tajam."Pesan apa, Mbak?"Lalu, aku menyebut beberapa menu dan minuman. Secara cepat dan sigap pramusaji pria itu kemudian menghilang. Menggantikan pandangan mataku dengan keriuhan di malam ini.Kok begitu ramai?Ohya
Seandainya tes dan interview semudah menghabiskan secangkir moccachino yang hangat dan manis, pasti aku sudah lulus dan siap bekerja. Sayangnya, itu tidaklah semudah anganku.Well, aku sudah mencoba mengirimkan beberapa lamaran disertai daftar riwayat hidup yang mengesankan. Beberapa perusahaan memanggilku. Beberapa sekolah dan kampus juga memanggilku. Namun, aku selalu saja gagal di sesi wawancara.“Kenapa Anda berhenti dan keluar dari pekerjaan lama?”“Karena passion saya rasanya bukan di bidang penyiaran.”“Kenapa tertarik di bidang edukasi?”“Saya suka mengajar, melihat anak-anak begitu menggemaskan, bukan?”“Anda suka anak kecil?”“Ah, gimana ya. Rasanya repot ya kalau ada anak kecil, ingus dan pipisnya berceceran di mana-mana.” Lalu aku tertawa garing.Salah ya ngomong begitu? Hasil: zonk. “Menurut Anda bagaimana dengan berita di televisi dan perkembangan dunia digital sekarang?”“Dua-duanya penting dan bisa saling bersinergi. Masyarakat membutuhkan berita yang kredibel walau
Sesuatu mengenai kepalaku, aku meringis sakit. Rasa-rasanya tadi aku cukup berhati-hati melangkah di rumah besar yang penuh sesak dengan tamu dan keluarga ini. Aku memutar pandangan, menoleh dan kulihat seseorang melewatiku tanpa menoleh sedetik pun. Mungkin dikiranya aku boneka beruang. Sesuatu itu ternyata cukup besar dan membuat kepalaku berdenging pusing. Memangnya tadi apa sih? Aku mengerang lirih. Merasakan ubun-ubunku terasa begitu nyeri dan berat. Gawat, jangan sampai aku tumbang di dalam keriuhan acara. Nanti dikira cari perhatian begitu. Ibu sudah bersama Bulik Sri tampak begitu sibuk di belakang dan di kamar Winda. Aku mengusap kepalaku yang terasa berkedut. Sedikit ada benjolan kecil. Aih, belum-belum sudah benjol saja Jani! Ketika aku menoleh, samar-samar kulihat seorang lelaki tergopoh dan merunduk sembari mencangklong tas besar. Siapa itu? Sales kosmetik? Umpatku kesal. Tentu saja masih dalam hati. Lelaki itu merunduk dan bersikap begitu sopan bergerak menjauh ke
"Kamu kenapa Jani, kok pucat begitu?" komentar Paklik Broto dengan mata menyelidik penuh rasa ingin tahu.Mungkin sekarang, wajahku pucat seperti mayat. Duh, kok serem sih. Tapi, bisa jadi. Aku sendiri merasa begitu pias mendengar musik favorit Argo mengalun lembut. Apa tidak ada jenis musik lainnya yang lebih ceria?Ini kan acara pertunangan. Memang apa yang salah dengan jazz, Jani?Terlalu classy. Sama sekali tidak membumi. Ibarat berada di sebuah tempat yang salah. Kecamku dalam hati.Inikan masih di Surabaya, bukannya London. Kalau mau nyetel musik, mending gending Jawa kayak Lingsir Wengi begitu. Mengundang para kuntilanak beraksi di sini. Kasihan Winda sih.Kuntilanak secantik Julie Estelle? Mau dong.Hus.Termakan dogma salah kaprah. Lingsir Wengi itu lirik lagu campursari yang dulu pernah ditulis Kanjeng Sunan Kalijaga untuk media dakwah. Pengingat saat salat malam. Jadi, arti lingsir wengi itu menjelang tengah malam. Isi lirik yang asli dari Kanjeng Sunan penuh dengan munajat
“Suka baca puisi?” sahut Biru begitu saja, saat aku mengomentari namanya.Aku tentu menggeleng. Aku suka membaca, tapi bukan tipe melankolis melambai-lambai.“Kok tahu kalau ada puisi dengan judul namaku?” tiba-tiba wajah Biru tampak menahan rasa geli, dia melirik penuh arti Ibu yang sedari tadi mengawasi kami.“Aku pernah bikin puisi saat SD dulu, judulnya Langit Biru,” jawabku begitu saja. Tak begitu menghiraukan bagaimana reaksi Biru tadi.“Oh, begitu. Aku jadi tersanjung,” katanya, “berarti namaku menginspirasi.”“Iya, mungkin ya Nak Biru. Biasanya kalau orang nulis itu kan sesuai alam bawah sadar. Seperti Jani ini,” Ibu tiba-tiba mencolek lenganku, tersenyum begitu lebar.Aku meringis. Kenapa? Ada-ada saja sih.Aku menoleh ke arah pintu gerbang di samping taman. Tampak begitu ramai, mungkin ada beberapa rombongan tamu datang. Semakin senja tamu-tamu begitu saja berjubel di halaman dan memenuhi seisi rumah.“Senang bertemu denganmu lagi, Jani.” Katanya lagi.“Terima kasih,” jawabk
Pagi ini aku tersaruk-saruk dari meja kopi setelah menghabiskan sarapan pagiku, sepiring nasi pecel dan kopi. Aku perlu tenaga untuk mengawali hari pertama masuk kerja. Di sebuah studio televisi.Memang sih, nanti pekerjaanku akan membuat aku banyak berada di luar studio karena menurut bos baruku—yang aku lupa namanya, tapi yang kuingat dia memiliki rambut setipis tissue, aku akan bekerja sebagai reporter.Aku mengenakan rok hitam, dan atasan berupa blus kerja abu-abu. Serta hijab bercorak lembut. Penampilanku masih mirip-mirip anak magang ketimbang reporter professional. Yah, tak mengapa kan?Aku mengendarai ojek online agar tak terkena macet, seperti biasanya. Karena jam-jam seperti ini rawan kemacetan. Akhirnya aku tiba di sebuah gedung tinggi bertingkat.Sungguh jauh beda dengan tempat kerjaku dahulu.Aku bertekad, kali ini harus berhasil dan sukses. Atau tidak muluk-muluk sih, aku ingin hari pertama kerja ini aku tak banyak menimbulkan masalah.Biasanya, seorang Anjani terkenal a
Aduh! Tadi kenapa aku harus salto seperti itu sih?Macam film laga saja, ini kan liputan berita olah raga, kalau nggak salah sih. Tapi, kata Martin ini liputan untuk acara live acara Aneh Tapi Langka. Beda bukan ya?Apa Bos Tissue bakal marah nanti?Begitu pikirku setelah Bang Napi memamerkan senyum seribu dollarnya, dan mengajakku untuk mewawancarai beberapa atlit dayung yang sedang berkerumun di sebuah sudut dekat panggung untuk penyematan hadiah.Aku menyeruak di antara kerumunan orang dan tergesa-gesa mencari narasumber untuk diwawancarai. Ini tentu saja memakan banyak waktu. Namun, aku harus tangguh, lagipula Bang Napi ada di sampingku. Jadi, tidak ada yang perlu aku takutkan, bukan?Saat aku selesai mewawancarai salah satu atlit dengan tinggi 180 cm dan begitu besar, sehingga aku sulit untuk menatap wajahnya yang tampak jauh di atasku—pandanganku tiba-tiba berkerlip seperti melihat hantu.Bukan hantu siang bolong, tapi hantu penunggu radio tempat aku bekerja dulu.Hem. Apakah ad
Tring!Jantungku terasa meledak begitu mendengar lift berhenti di lantai ke-30.Ini beneran kan? Bukan adegan di Fifty Shades of Grey?Aku memiringkan kepala, menggetoknya perlahan agar tidak berhalusinasi menjadi Anastasia Steele, yang sedang bersiap bertemu Mr. Grey.Halah.Ini mungkin efek badan yang terlalu lelah dan letih setelah hari yang demikian berat. Punggungku terasa kaku dan pegal, sementara kakiku sakit.Aku sekarang tentu saja tidak sedang memakai sepatu olah ragaku yang penuh dengan lumpur dan pasir. Setelah mengitari kota dan berlarian bersama kru dan Bang Napi berburu berita.Aku berjuang melewati pintu lift, dan segera saja menemukan ruang lobi yang begitu mewah, penuh kaca, berlantai granit, dan terasa begitu bersih. Berbeda sekali dengan ruang-ruang di bawah. Tempat berkumpulnya para kacung korporat sepertiku ini.Aku menahan senyum geli, menyadari bahwa aku sekarang pun ternyata telah menjadi salah satu kacung korporat di media terbesar di Surabaya ini. Aku tak men