Share

Keping 2

Enam bulan berlalu dengan cepat. Aku menyepi di sebuah dusun nan tenang, yang agak jauh dari hiruk pikuk metropolitan seperti Surabaya yang panas, sibuk, dan berdebu. 

 Kanigoro, hanya sebuah dusun sepi di pinggiran Pasuruan. Sawah masih membentang luas. Ibu-ibu masih banyak yang sekadar turun menjadi buruh tani. Matun, atau membantu saat panen. 

Jika pagi, aktivitas sudah dimulai sejak sebelum Subuh. Anak kecil dan bapak-bapak mengumandangkan pujian dari langgar atau mushola kecil terdekat. 

Suasana begitu riuh. Ramah namun terkadang juga sedikit mengganggu, itu karena aku sangat tidak suka jika privasiku terganggu. Di dusun, berita cepat sekali menyebar. Bisik-bisik pun akan mengular seperti api melalap rumput kering. 

"Lho, An. Katanya kamu cerai ya? Sayang banget, An. Namanya juga lelaki kadang khilaf." 

"An, sepertinya kamu kelamaan di desa, apa nggak kerja jadi penyiar lagi di Surabaya?"

"Kok bisa, Mas Argo yang ngganteng itu selingkuh ya, padahal orangnya kayak sopan pinter gitu." 

"Apa mungkin kamu yang kurang maksimal melayani Mas Argo yang ngganteng banget itu, An?"

"Nggak pengen rujuk An? Susah lo cari suami keren kayak Mas Argomu, itu." 

"Mungkin Anjani ini pingin suami yang sugeeh (kaya banget), iya tho An? Seperti Romlah yang dapat jodoh Ustaz Said, lelaki Arab yang kaya raya itu." 

Kaya raya dan berumur enampuluh tiga tahun. Koreksiku dalam hati.

Romlah yang malang. Tapi ia tampak bahagia. Romlah baru berusia duapuluh tiga dan dianggap perawan tua di dusunku ini. Ya, begitulah. 

Apalagi, aku yang menjanda di usia tigapuluhan. Mungkin mereka menganggapku fosil t-rex.  

Aku hanya tersenyum masam. Iya, cuma itu yang bisa kulakukan.

"Kadang yang kita dengar nggak perlu harus diomongkan, nggih Ibu-Ibu yang cantik," tukasku sesaat saat aku bertemu pasukan ghibah itu di warung sayur. 

"Ya, pantesan saja Mas Argo yang nggantengnya sundul langit itu ninggalin kamu, An. Lha wong kamu modelnya judes begini. Mana tahan kupingnya tiap hari, ya nggak Buk-Ibuk?" Yu Sumi melirik sengit ke arahku yang sedang mengangsur lembaran uang limapuluh ribu ke Ummi Maryam--pemilik warung. 

"Iya, Yu Sumi. Betul itu. Dari dulu kan Anjani ini pinter ngoceh. Kalau nggak begitu, mana bisa dia jadi penyiar. Penyiar yang nganggur ya sekarang, An?" Onah menatap wajahku dengan mata beloknya yang terkesan melotot setiap waktu. 

"Permisi nggih, saya banyak kerjaan," tukasku cepat. Lalu bersegera menjauh dari warung sayur neraka itu.  

Dasar tukang ghibah! Teriakku dalam hati memacu langkah menuju rumah. 

"Anjani? Makin ayu saja, sekarang, Neng," Pak Untung yang sedang menuntun kerbau raksasa di pematang sawah masih sempat-sempatnya menyapaku dengan bahasa seperti itu. 

Aku hanya menutup rapat mulutku. Aku baru memahami, kenapa Pak Untung bertubuh tambun itu terkesan begitu genit padaku. Juga beberapa laki-laki kadaluarsa di dusunku. Semua bermanis-manis muka.   

Padahal, sebelumnya mereka sama sekali tak akan mau menoleh padaku. Karena aku dianggap terlalu modern di kampung udik dan terpencil di ujung dunia ini. Terlalu keminter dan susah diatur. Beda dengan perempuan desa yang nerimo dan patuh.  

"Neng, An. Butuh tumpangan nggak?" Kini giliran Mang Agus, ojol depan rumahku yang sibuk dengan pekerjaannya di kecamatan terdekat.  

Aku menggeleng kuat.  

"Jauh loh, Neng An. Bisa bengkak kakinya entar," goda Mang Agus sekali lagi.  

Aku nyengir mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya. Bagaimana kalau Yu Sumi mendengar ini? Bisa kena serangan jantung perempuan bermulut tajam itu.  

"Yu Sumi masih di warung sayur, Mang. Bisa dijemput tuh katanya nunggu Mamang di sana," ucapku dusta. Sembari melangkah kuat meninggalkan jalanan berdebu. Kulihat Mang Agus menepuk jidatnya keras-keras.  

"Waduh!" Teriaknya.  

Aku meringis, dasar tua bangka kegenitan! 

Di depan rumah yang entah kenapa semakin terasa sepi. Ibuku sedang duduk dengan Bapak, menunggu kedatanganku. Apa Ibu sudah tak sabar menumis sayur Kembang Kates (bunga Pepaya) ini ya. Kok sepertinya ada yang janggal.  

"Nduk, duduklah dahulu," Bapak memberi isyarat setelah aku mencium tangan beliau. Agak was-was aku duduk dengan khidmat. 

"Nggih, Bapak," sahutku perlahan. Aku melirik Ibu yang terdiam seperti berpikir sangat keras.  

"Sudah setengah tahun, Jani di rumah saja, Nduk." Bapak memulai pembicaraan. Pipinya yang berkerut dalam tampak menua, semakin hari. Tubuh Bapak juga seperti kehilangan daging, apa Bapak merasa sedih punya anak yang gagal dalam pernikahan seperti aku?  

"Bapak nggak keberatan, Jani di rumah saja. Karena ini juga rumah Jani. Selain Masmu yang kerja di Jakarta. Bapak dan Ibu sayang sama Jani," Bapak berhenti sejenak.  

"Tapi Jani juga harus tetap hidup. Ndak apa-apa gagal sementara. Kelak Jani akan menemukan pengganti lain. Jani, bakatmu tidak bisa dikembangkan di dusun sepi dan berdebu seperti ini, Nduk."  

"Maafkan Jani, Pak, Bu. Jani hanya menyusahkan," racauku perlahan, sementara tanpa dibendung air mataku menetes satu-satu membasahi kerudung abu-abuku yang kusut dan lepek.  

Apa Bapak dan Ibu mengusirku dari rumah ini? Apa beliau ini malu memiliki anak gadis seorang janda sepertiku?  

"Kamu kudu (harus) move on, Nduk!" Ibu yang sedari tadi terdiam meremas tanganku, "itu kan yang dulu kamu bilang sama Marina, teman kecilmu yang dulu pernah menjanda?"  

Aku mengusap mataku yang tiba-tiba berembun. Tak bisa jelas kulihat wajah Bapak dan Ibuku. Sepertinya duniaku hancur oleh peristiwa laknat itu. Lalu aku terus menerus bersembunyi di dusun terpencil ini.  

Menghilang dari dunia. Duniaku dahulu yang riuh dan dinamis. Aku hanya bersembunyi begitu saja, hingga setengah tahun seperti sekejap mata.  

"Jani nggak sanggup kalau harus ke Surabaya lagi, Jani nggak pingin ketemu Mas Argo lagi, Bu." Aku terisak begitu keras hingga Ibu menepuk-nepuk tubuhku kemudian menarikku di pelukannya. 

"Argo itu masa lalu, Nduk. Kamu nggak perlu takut sama masa lalu. Hanya bagian dari episode hidup. Ndak perlu disesali, cukup dijadikan kenangan," Bapak menghembuskan napas dalam-dalam.  

Ah, Bapak. Bagaimana mungkin aku tidak mengingat laki-laki yang pernah bersamaku selama tujuh tahun? Berbagi duka dan selimut. Berbagi tawa dan tangis. Namun, dengan tega membelah hatiku hingga berkeping-keping.  

Hingga kini pun rasa nyeri masih menghantuiku demikian jelas. Aku merasa tak memiliki jiwa. Kosong melompong seperti rumah tua.  

"Jani, nggak kangen siaran lagi, Nduk?" Wajah Ibuku yang masih tampak ayu di usia lima puluh tujuh tersenyum menatapku dalam.  

Bunyi gemerisik angin meniup pohon-pohon randu yang berjajar di halaman masuk rumahku. Ada jalan khusus setapak yang agak panjang. Di kanan kiri tanaman perdu terawat rapi sebagai pagar hidup.  

Aku menghirup udara di sekitarku yang terasa menyesakkan. Kedua orang tuaku tak menginginkan aku berada di sini. Aku mencoba memahami jalan pikiran Bapak dan Ibuku.  

Aku tidak sakit hati. Aku cuma sedih. Menyandang predikat janda tanpa anak di usia yang tidak muda lagi memang menyulitkan. Aku merasa semakin simpati pada para perempuan tak beruntung di luar sana.  

Apakah aku hanya mengasihani kondisiku saat ini? Oh, aku tidak tahu. Aku tidak mengerti. Mungkin aku ini perempuan penuh dosa yang harus disucikan sedemikian rupa dengan ujian seperti ini.  

Ya. Aku memang banyak dosa. Pendosa menjijikkan yang suaminya harus tidur dengan orang lain.  

"Kangen, Bu. Tapi Jani juga nggak mungkin siaran di Pro Blue lagi. Bisa-bisa Jani ketemu selingkuhan Mas Argo, Bu."  

Bibir Bapak dan Ibu berdesis seperti mengucapkan kata-kata istighfar.  

"Kenapa harus terpenjara gara-gara Argo? Itu cuma alasan kamu ndak bisa move on, Nduk. Kamu susah melepas laki-laki itu dari ingatanmu. Kamu masih kepikiran terus. Masih nggak mau nerima kenyataan kalau Argo itu cuma masa lalumu," Ibuku seperti mengomel panjang.  

Ya. Mungkin begitu Bu. Keadaanku sekarang. Aku tidak bisa berdamai dengan siapapun, bahkan dengan hatiku ini.  

"Nggih, Bu. Maafin Jani," aku kembali tersedu sampai bahuku berguncang lagi. Ibu menarikku di pelukannya.  

"Bangun, Nduk. Hadapi kenyataan. Jangan sembunyi terus."  

"Ya, sudah. Sudah, mending Dhuha dulu sana, Nduk," Bapak akhirnya menutup dialog yang membuat posisiku serba salah itu.  

Aku berjalan menyusuri lorong rumah tua berarsitektur Joglo ini. Orang tuaku tidak kaya, hanya keluarga biasa. Dulu Bapak bekerja sebagai kepala madrasah menengah dan kini sudah pensiun. Harusnya, aku tidak merepotkan mereka dengan masalahku yang serba rumit dan ruwet.  

Harusnya, aku menjadi anak yang tahu diri dan mandiri seperti Kangmasku yang sekarang kerja di Jakarta. Saudaraku satu-satunya. 

OOO

Dulu, saat aku membaca novel ataupun menonton film tentang perjuangan perempuan single, rasanya tampak mudah dan indah.  

Julia Roberts dalam Erin Brockovich begitu mengesankan. Janda muda beranak tiga yang bisa membongkar skandal limbah. Sementara aku?  

Ah. Tak terkatakan dalam posisi ini. 

Aku merasa seluruh dunia menelanjangiku. Mengarahkan telunjuk padaku.  

Kini, ketika aku merasakannya sendiri. Rasa-rasanya aku tidak bisa menerima semua ini begitu saja terjadi.  

Kenapa harus aku? Kenapa rumah tanggaku hancur? Apa salahku? 

Begitu pikiranku hingga bulan mungkin tak berbentuk bulat lagi. Aku tertawa pahit. Menertawakan diri sendiri yang lemah dan tak kuat menatap kenyataan di depan mata. Aku mengambil kudapan di ujung nakas.  

Sekarang September, beratku 62 kg dengan tinggi 160 cm. Gendut dan gemuk. Single, ditinggal suami tercinta selingkuh. Tak punya pekerjaan. Menganggur menumpang di rumah orang tua yang hidup sederhana. 

Sungguh tak tahu diri.  

Aku mengunyah kue dan gorengan yang dibuat Ibuku. Membayangkan mungkin nasibku akan jadi perempuan tua, sendirian, lalu mati tanpa siapa-siapa. Sungguh mengerikan.  

Aku bergidik.  

Sesaat berlalu, hingga gawaiku yang saat ini sudah lama sekali tak berbunyi, tiba-tiba menyalak demikian keras. Ohya, aku sudah mengganti ringtonenya dengan suara kucing, menurut Bapak akan aneh jika orang dusun mendengar suara kuntilanak dari gawaiku. 

Kubuka dengan cepat. Sebait pesan mengambang di layarnya yang jernih. 

"Jani, bagaimana kabarmu? Apa kau butuh pekerjaan? Ini Argo. Sahabatmu. Mohon dibalas."  

Jantungku berdentam begitu keras. Sementara, tanganku gemetaran. Ya, Tuhan. Apa yang harus kulakukan? []

Bersambung, Dear. Tinggalkan jejak dan love ya. 🥰

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Halabeu News
mesti nyebelin banget yg diomongin cewek yg salah melulu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status