Bella benar-benar kembali ke rumahnya. Masih sulit baginya untuk menerima kenyataan yang baru saja dia ketahui. Bella menyesal telah melewati malam pengantin bersama orang yang ternyata tidak pernah mencintainya. Setidaknya itu yang ada di pikiran Bella saat ini. Dia membenci pernikahan settingan itu.
Apapun keadaan Raffi, Bella bisa menerima. Mengapa Raffi malah memberikan dia begitu saja pada kembarannya dengan alasan konyol. Bella tidak masalah meskipun Raffi penyakitan. Gadis itu memiliki perasaan yabg tulus. Lebih baik pernah memiliki, daripada harus berada dalam situasi aneh ini.
Bella ingin merawat Raffi sebagai seorang kekasih. Rasa yang ada untuk Raffa telah lenyap begitu saja. Menguap seiring terbukanya rahasia besar yang ditutupi oleh seluruh keluarga Dirgantara. Bella masih tidak percaya, bagaimana bisa Raffa menidurinya, padahal dia mungkin tidak memiliki perasaan apapun, walau secara hukum Raffi memang suami Bella.&nb
Menurut kalian, siapa yang akan dipilih Bella? Raffi atau Raffa? Kalian tim mana?
Pagi ini Bella dijemput Raffa untuk menjenguk Raffi ke rumah sakit. Wajahnya terlihat begitu ceria. Lelaki itu memakai pakaian dengan sangat rapi. Bella mengakui kalau hari ini Raffa terlihat sangat tampan.Semalam, setelah obrolan panjang itu Raffa memutuskan untuk kembali ke rumah keluarga Dirgantara. Dia memberi Bella kesempatan untuk memenangkan diri."Sudah siap?" tanya Raffa pada Bella diiringi senyum yang menawan."Sudah, Raf. Yuk." Bella berjalan ke arah mobil Raffa dan masuk. Lelaki itu mengikuti langkahnya, membukakan pintu mobil untuk Bella dan berlari kecil menuju ke sisi yang lain. Sekarang Raffa sudah berada di dalam mobil, tepat di samping Bella.Lagu Jaz yang berjudul Dari Mata mengiringi perjalanan mereka. Keduanya tampak menikmati lagu romantis tersebut.Sepanjang perjalanan Raffa memutar lagu itu. Bella merasa aneh, mengapa d
Karena berputar-putar setelah pulang dari rumah sakit, akhirnya mereka sampai di rumah Bella hampir tengah malam. Saat tiba di sana, tiba-tiba listrik padam. Bella memiliki pbobia gelap. Saat keadaan gelap dan dia sendirian biasanya dada wanita itu akan terasa sesak dan sulit bernapas."Raffa, aku phobia gelap. Aku tidak akan bisa tidur," keluhnya. Bella terlihat mulai panik."Bagaimana kalau aku menemani kamu tidur? Aku nggak akan ngapa-ngapain kamu, kok. Aku hanya ingin menenangkan kamu," kata Raffa meyakinkan Bella. Dia tidak punya pilihan.Bella berfikir dahulu hingga beberapa saat. Benar juga, Raffa suaminya. Memang ada kemungkinan dia akan mau melukai Bella? Walaupun terjadi sesuatu, bukankah memang dia berhak melakukannya?"Boleh, Raf. Ayo masuk." Bella menggandeng erat tangan Raffa.Tentu saja setelah memarkirkan mobil di garasi. Mereka berdua masuk ke kamar Bella d
Karena sudah memutuskan untuk tinggal bersama, Bella dan Raffa berniat belanja beberapa kebutuhan rumah, terutama bahan makanan. Stok di rumah Bella sudah menipis, terlebih mereka akan membutuhkan lebih banyak mulai sekarang."Ini kartu ATM buat untuk kamu. Kodenya 121314, kamu boleh pakai untuk belanja apapun sesukamu, Bella" Raffa menyodorkan kartu berwarna biru kepada istrinya."Mas, jangan berlebihan. Aku masih punya tabungan kok." Bella mencoba untuk menolak pemberian Raffa dengan halus."Ini kewajiban aku, loh. Aku ini suamimu yang harus memberimu nafkah. Jadi tolong di terima, ya." Raffa memaksa Bella untuk menerima pemberiannya."Baiklah, aku terima. Terimakasih, Mas." Bella memasukkan kartu itu ke dalam dompet. Raffa tersenyum sumringah. Dia tampak sangat bahagia wanita itu menghargai pemberiannya.Lalu lelaki itu menggandeng Bel
Sejak insiden antara Raffa, Bella, dan Raffi terungkap kemarin, Bella belum pernah lagi datang ke rumah keluarga Dirgantara. Terakhir Bella ke sana saat mengambil koper dan melihat isi kamar Raffi.Hari ini Bella dan Raffa mau berkunjung ke kediaman keluarga Dirgantara, yang tidak lain adalah rumah orang tua mereka. Bella dibantu Raffa memasak beberapa menu favorit keluarga. Sesampainya di sana, mama dan papa Raffa menyambut mereka dengan hangat. Sindi memeluk Bella erat."Aku fikir kamu masih marah gara-gara kejadian kemarin, Bell," ujar Sindi saat kami sama-sama menyiapkan makan siang di dapur."Aku sudah belajar menerima kenyataan, Sin. Lagipula Raffa selalu perhatian danbaik sama aku," katanya sambil menata piring di meja makan."Alhamdulillah, aku seneng banget dengernya, Bell. Kak Raffa memang baik. Dia orang yang bertanggung jawab dan tulus. Aku yakin dia bisa bahagiain kamu kok.
Suasana kantin kampus yang ramai tidak mengganggu Bella dan Sindi yang sedang menikmati makanan mereka. Selama makan, mereka membahas banyak hal. Walau mereka selalu bertemu hampir setiap hari, tetapi obrolan mereka tidak pernah mati.“Bella, aku mau jodohin kamu sama seseorang. Aku rasa kamu bakalan cocok banget sama dia. Soal wajah dan kekayaan, tidak perlu diragukan lagi. Aku pastikan dia sempurna.” Sindi tiba-tiba berbicara dengan nada serius. Dua manik matanya yang hitam kecoklatan fokus menatap sahabatnya, Bella."Apa-apaan kamu, Sin! Main jodoh-jodohin aja! Memangnya aku segitu nggak lakunya, ya? Kamu tau, kan? Aku masih bucin akut sama kak Raffi."Bella mengatakan itu dengan nada lumayan tinggi dan sedikit ketus. Dia mencoba mengklarifikasi pernyataan Sindi sahabatnya tentang rencana perjodohan antara dengan teman kakak sahabatnya tersebut."Sssst! Kurangi volume bicaramu, Bell. Coba kamu perhatikan, semua mata yg ada di ka
Perlahan matahari menuju ke arah barat untuk mengembara ke belahan dunia yang lain. Langit berwarna jingga tua berpadu dengan kuning cerah terhampar luas. Bella memandang keindahan semesta itu lewat jendela kamarnya yang menghadap ke arah barat.Hanya sendiri. Sebuah kesunyian yang awalnya begitu menakutkan, kini sudah membuat Bella terbiasa. Semenjak ayah dan ibunya meninggal yang disebabkan oleh kecelakaan tragis beberapa tahun lalu, kesepian itu terkadang membekukan hati gadis cantik itu.Terkadang Bella merasa iri pada Sindi sahabatnya. Dia masih memiliki orang tua yang lengkap ditambah lagi seorang kakak yang baik hati seperti Raffi. Biasanya, saat Bella merasa kesepian menerpa dengan begitu kejam, hanya mereka tempat dia berbagi.Dulu saat ayah dan ibu Bella masih ada, mereka selalu memanjakan gadis itu. Bella masih belum lupa, setiap pagi ibunya selalu memasak nasi goreng untuk mereka sarapan. Ayahnya
Floresta Cafe. pukul delapan malam kurang lima belas menit Bella sampai di lokasi. Dia melihat hampir seluruh tamu yang hadir menatap ke arahnya dengan tatapan penuh makna. Bella sedikit canggung. Saat pertama gadis itu memakai gaun merah dengan taburan gliter itu, Sindi bilang dia terlihat sangat cantik.Benar saja. Saat Bella melihat ke cermin, dia seperti bukan melihat dirinya. Wajar jika penampilannya mampu membius mereka yang hadir di kafe itu. Bella berusaha tenang. Jalan lurus ke arah meja nomor delapan. Dari kejauhan dia melihat seorang pria duduk sambil menatap layar ponsel. Rambut lelaki itu sedikit panjang seperti tokoh anime favorit Bella, dia juga memakai kacamata yang memberikan kesan dewasa. Bella pun gugup."Kamu sudah datang, silakan duduk," ujar lelaki itu lembut sambil berinisiatif menyiapkan kursi untuk Bella duduk.Bella tersanjung. Meskipun baru bertemu dia merasa diperlakukan dengan bai
Nyanyian burung menandakan hari akan segera dimulai. Bella menggeliat, meregangkan otot tubuhnya yang sedikit kaku. Kenangan semalam masih teringat jelas di dalam ingatannya. Dia mengecek jari manisnya, takut semua itu hanya mimpi. Bella tersenyum saat mendapati cincin berlian itu masih melingkar di jari manisnya.Semuanya terlalu manis untuk Bella lupakan. Sekarang Bella sudah didera rasa rindu pada Raffa. Bella baru sadar, semalam dia tidak meminta kontak lelaki itu. Bodoh! umpatnya dalam hati. Dia kemudian memutuskan untuk menelepon Sindi. Gadis itu harus menjelaskan semuanya pada Bella."Ada apa, Bell? Tumben pagi-pagi telpon aku."Suara Sindi sedikit serak di ujung sana. Sepertinya dia baru saja bangun tidur."Hari ini ke rumah aku dong, mau curhat nih. Jelasin ke aku, siapa Raffa sebenarnya," ucap Bella tanpa basa-basi."Oke, siap. Aku mandi dulu ya." Sindi langsung menutup telpon dari B