"Saya terima nikah dan kawinnya Nayla Rosita Dewi binti Mustafa Ahmad dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!"
"Sahhh...!"
Hancur. Remuk bagaikan sebuah kaleng bekas yang terkena ban mobil, mungkin adalah gambaran hati Saidan saat ini. Statusnya yang sudah menikah dengan Nayla tanpa ia kehendaki, tentu saja menyakitkan untuk seorang Julia Malika Kuncoro. Perjodohan yang telah digadang-gadang oleh kedua orang tua keduanya, kini berpindah posisi menjadi milik Hadi dan Nasha, adik-adik mereka.
Seharusnya, semua bisa di kendalikan saat ini. Saidan yakin menggunakan pengaman saat berhubungan dengan Nayla meski dalam keadaan mabuk sekalipun, namun Angga Pratama Putra dan Stella Syaqila tidak mendukungnya.
Stella beralasan suka tidak suka, Saidan sudah menodai Nayla, padahal ia bukanlah pria pertamanya. Angga pun m
"Hallo, selamat pagi Ibu Julia dengan Saidan ada yang bisa dibantu?""What? Ibu? Saya belum nikah, Mas. Jadi panggilnya jangan Ibu!" kesal Julia, "Panggil Julia aja. Ju.li.a. Julia Malika Kuncoro! Ngerti nggak?" tambah Julia mengeja namanya.Terdengar kekehan kecil dari lubang smartphone milik Julia dan tentu saja itu adalah suara dari petugas call center salah satu provider besar di Indonesia, bernama lengkap Saidan Pratama Putra tadi."Iya, Mbak Julia. Ada yang bisa kami bantu?"Nampak sekali lagi suara laki-laki itu mencoba untuk bersahabat dengan Julia, namun sayangnya si guru honorer kembali lagi melontarkan amukannya lagi."Ih, Mas ini ada-ada aja. Tadi 'kan udah gue kasih tahu jangan panggil Mbak! Memangnya aku ini udah setua itu? Ya udah deh, masa bodoh ah sama kamu, Mas!" umpat Julia, "Intinya aku mau minta tambahan extra quota dong. Soalnya quota di kartu aku habis nih," sebelum
“Mau kemana, Dan? Kok rapi banget malam ini?” tanya Stella Syaqila, ibu dari Saidan Pratama Putra.“Mama kepo aja deh. Emangnya Idan nggak boleh rapi kalau di rumah?” sahut Saidan, balik bertanya.Tentu saja Stella geregetan dengan sang putra, “Kamu tuh selalu begitu. Kalau Mama tanya, pasti balik tanya lagi. Mama ini tanya serius kali, Mas. Nggak lagi becanda soalnya Tante Tyas mau datang sama anak ceweknya ke sini,” lalu menjelaskan alasan mengapa ia menghampiri Saidan di kamar.Saidan pun terkejut dengan apa yang ibunya katakan, lalu ia mencoba mencari tahu apa maksud dari omongan ibunya barusan, “Emangnya Tante Tyas itu siapa, Ma? Terus apa hubungannya sama Idan? Itu ‘kan acara para perempuan. Jadi ya Mama sama Nasha aja yang temenin itu Tante Tyas ngobrol. Biar pas, kan? Ibu-ibu sama anak ceweknya ngumpul gitu deh,” sebab ia sudah memiliki janji untuk kopi darat dengan Julia Malika Kuncoro, gadis yang tak sengaja ia kenal saat
“Idan, kamu mau kemana? Kan Tante Tyas sama Julia mau ke sini. Kok malah pergi, sih?” tanya Stella, ketika melihat putranya turun dari lantai dua rumahnya.Helm di tangan kanan pria itu semakin membenarkan dugaan sang ibu, hingga mau tak mau ia pun segera melontarkan satu kebohongan yang sudah sejak tadi ada di isi kepalanya, “Nggak ke mana-mana, Ma. Idan cuma mau pergi beli rokok aja sebentar kok di Mang Badrun. Nggak lama kok. Tunggu sebentar ya, Ma?”Akan tetapi Stella bukanlah sosok ibu kolot yang mudah dibohongi oleh kedua anaknya, “Beli rokok di kiosnya Mang Badrun kok pakai helm segala? Kan dari sini deket. Kamu mau ke mana lagi memangnya? Tante Tyas jangan-jangan sudah di jalan lagi, Nak. Kamu nggak ada niatan kabur apa gimana kan?”“Ck, Mama ini. Idan cuma mau mampir ke Distro deket-deket gang rumah kita ini aja kok, Ma. Mau kepoin apa gitu kek yang kerenan dikit daripada ini. Mama nggak liat ini kemeja udah bulukan gini. M
Saidan kini tengah berada di kos-kosan Heru, teman seprofesinya. Sekitar dua jam lalu ia datang membawa beberapa bungkus kacang kulit dan juga bir kaleng dingin, karena pikirannya sedang kusut.Heru menerima kedatangan Saidan dengan senang hati, sebab ia juga sebenarnya sejak seminggu yang lalu memiliki modus untuk bertanya tentang Nasha Pratama Putra, adik kandung teman gilanya itu.Akan tetapi sepertinya Heru belum bisa melancarkan rencananya itu saat ini, karena Saidan ternyata datang membawa masalahnya juga, “Lo denger nggak apa yang gue bilang tadi? Dia menghina kerjaan kita, Bro! Dia bilang kerja jadi Customer Service di Provider gitu gajinya pasti nggak bakalan cukup buat ngebahagiain dia sama calon anak-anak kami nanti. Yang bener aja! Sialan!” Alhasil Heru Sudi Hutomo pun berusaha sebisa menjadi pendengar yang baik dengan memberinya semangat dan masukan panjang lebar, “Hahaha... Sabar, Bro. Lo yang anak orang
Matahari kembali bersinar seiring dengan perputaran bumi pada porosnya. Heru yang terkena sinar matahari dari celah ventilasi kamar kosnya pun akhirnya terbangun dari tidur lelapnya, kemudian kehebohan terjadi di sana, setelah ia selesai melihat ke arah jam dinding, “Astaga! Udah jam berapa in— Eh buset! Jam setengah tujuh! Ya ampun! Heh, Dan! Cepetan bangun. Kita bisa telat ngantor ini. Hadeh, semua gara-gara begadang nggak jelas sama lo ini kan. Saidan, bangunnn...!”“Aduh apaan, Ma? Idan masih ngan—”Heru membangunkan Saidan dengan maksud agar teman gilanya itu segera pulang ke rumahnya lalu tidak terlambat ke tempat kerja mereka, “Mama mama! Gue bukan Emak lo, Saidan Pratama Putra! Gue Heru Sudi Hutomo temen gila lo yang punya kosan iniii...! Lo buka mata dulu sekarang biar bisa liat tuh di dinding udah jam berapa? Udah setengah tujuh pagi, Dan! Kita kan dapat sh
“Udah belom, Dan? Lama banget, sih, lo mandinya? Kita bisa terlambat nih!” teriak Heru sembari memasang kancing seragam kerjanya.Saat ini jarum jam dinding sudah hampir mengarah ke angka tujuh. Padahal tepat pukul delapan adalah batas maksimum untuk masuk kerja, tanpa kata terlambat di kantor mereka.Hal tersebutlah yang membuat Heru sedikit terburu-buru dengan aktivitasnya, namun bagi Saidan, kehebohan itu terlalu berlebihan.Ia keluar dari dalam kamar mandi sembari merepeti Heru pula, "Sabar dikit napa, Her. Gue kan kudu nyiduk air dulu di kamar mandi lo pake gayung. Memang ada shower? Bikin kesel aja. Capek tahu!”Tentu saja setelahnya ocehan demi ocehan terjadi di sana dengan gaya bicaranya masing-masing.Sejak keduanya mendeklarasikan status sebagai teman, kejadian itu tak pernah berhenti mereka lakukan, “Gue ini orang miskin yang udah nggak punya orang tua la
Julia sedang mengajar Matematika di hadapan para murid Sekolah Dasar kelas 4A. Saat ini sang ibu guru cantik sementara menulis soal tentang KPK dan FPB, “Eh, maaf. Siapa ya?” Akan tetapi ingatannya penuh dengan nama Saidan dan juga bagaimana tutur kata pria itu, ketika mereka bertemu secara tidak sengaja tadi pagi.Secepat kilat Julia mempercepat laju tangannya di depan white board, namun dari kedua bibirnya, sejumlah gerutuan mengalir begitu saja di sana, “Sialan emang tuh laki! Bisa-bisanya dia pura-pura nggak kenal gue? Padahal kan kemarin sempat video call. Dasar! Awas aja dia ntar. Gue harus cepat-cepat blokir nomor hape, WA sama akun FB-nya sebelum terlambat nih. Soalnya feeling gue, kayaknya dia bakalan coba buat kepo deh tuh. Secara kan hari ini gue pake rok pensil sama kemeja. Rambut gue tadi sempat diurai juga sebelum dicepol kayak gini. Jadi pagi tadi kayaknya dia pasti terkesima dong sama penampilan gue. Ya nggak, sih
Saidan menggerutu sembari menatap ke layar ponselnya. Saat ini ia tengah berada di tempat makan yang tak jauh dari tempat kerjanya sendirian saja, namun tak lama kemudian bahunya ditepuk oleh seseorang dari belakang.Orang tersebut tak lain dan tak bukan adalah Heru Sudi Hutomo, sahabat gila Saidan Pratama Putra.Pria asal Jember itu datang bersama dengan sejumlah ledakannya di sana, “Gimana, Dan? Kok muka lo jelek gitu? Dilihatin si Noni terus tuh. Kayaknya dia naksir deh sama lo?”“Ck! Bisa diem nggak lo, Her? Cewek aja terus yang ada dalam pikiran lo. Dasar otak mesum! Gimana nasib adek gue kalo sampe punya suami kayak lo gini? Musibah!” Sehingga Saidan yang kesal akibat teleponnya tak digubris oleh Julia, pun dengan sinis membalas ejekan itu.Heru tak lantas menanggapi kata-kata itu dengan serius, karena sebagai seorang teman yang sudah hampir enam bulan bekerja bersama, ia sudah mulai paham bagaimana sifat dan