"Ada apa ini pagi-pagi sudah ribut-ribut?" Pak Hamid dan Mbok Sari ikut muncul dari pintu penghubung belakang rumah. Di belakang Pak Hamid ada bayangan Pak Sutris dan Bu Sri. Keduanya adalah orang tua Bagus yang juga tinggal di rumah ini. Di tangan Pak Hamid ada sebuah senter yang menyala terang. Alexa mengernyit. Apa-apaan ini? Mengapa semua penghuni rumah juga ikut keluar dari pintu penghubung yang sama?
"Ini, Kung. Ada maling yang mengendap-endap di--aduh!" Alexa mengaduh tertahan saat si Belanga ini benar-benar meremukkan tangannya.
"Kok maling sih? Ini Gala, Milah. Calon majikan kamu? Jenggala namanya." Pelototan Pak Hamid mengindikasikan satu hal. Bahwa ia sudah melakukan kesalahan. Eh Pak Hamid bilang apa tadi? Majikan?
Jadi si Belanga ini adalah Pak Gala yang kemarin Pak Hamid ceritakan. Kacau!"Ayo minta maaf, Milah. Kamu tidak sopan sudah menuduh orang sembarangan," seru Pak Hamid lagi.
"Lah, Milah bagaimana minta maafnya, Kung. Lihat nih, kedua tangan Milah aja ditelikung gini," adu Lexa kesal.
"Lagian kenapa juga si Belanga--eh Pak Gala ini pagi-pagi buta mengendap-endap di belakang rumah kita? Ya, Milah kira ma--aduh!" Alexa memaki. Gala kembali meremas tangannya setiap kali ia menyebut kata maling. Sialan!
"Saya tidak mengendap-endap. Bagus membukakan pintu untuk saya. Dan saya datang untuk memantau Bagus memerah susu!" sergah Gala galak, seraya melepaskan tangannya. Jawaban ketus Gala itu membuat Alexa ternganga.
"Me--memerah susu? Susu siapa yang akan kalian perah? Astaga!" Alexa merasa sangat ngeri mendengar kata-kata Gala. Ia refleks menyilangkan tangannya ke dada.
"Buang pikiran gila itu dari kepalamu, gadis kota! Memerah susu yang saya maksudkan adalah memerah susu sapi. Bukan susumu!"
Alhamdulillah W* Syukurillah.
Tawa tertahan terdengar dari arah belakangnya. Kurang ajar, Bagus menertawainya.
"Memangnya kamu tidak melihat ember-ember yang dibawa oleh Bagus itu." Gala menunjuk ember-ember yang bergelimpangan di tanah, karena dibuang sembarang oleh Bagus tadi.
"Ember-ember itu gunanya untuk menampung susu-susu sapi yang akan diperah. Kamu ini pikirannya melayang ke mana-mana!
"Ya mana gue tahu lo mau meres susu sapi. Gue kagak pernah ngelihat hal begituan sebelumnya. Gue minum susunya udah dalam bentuk kemasan!"
"Sudah... sudah... jangan diperpanjang lagi. Sebaiknya sekarang kita duduk dulu." Pak Hamid mendahului berjalan menuju teras. Diikuti oleh Mbok Sari dan Bagus. Sementara Alexa masih saling bertatap-tatapan sengit dengan Gala. Jika begini ini modelan bossnya, apa bisa ia bertahan dalam setahun?
"Saya tidak menyangka bahwa cucu Pak Hamid itu adalah perempuan bar bar sepertimu. Saya kira bahwa saya akan menemui gadis lugu yang tuturnya sopan dan sikapnya santun. Mengingat akung dan utimu yang sangat sopan tingkah dan lakunya."
"Sikap dan tingkah laku itu tidak diturunkan secara genetik. Jadi berhenti membanding-bandingkan gue dengan Akung dan Uti."
Gala tidak menyahuti kata-katanya lagi. Ia hanya menatapnya dingin dari sudut mata. Berikutnya ia telah menyusul langkah Mbok Sari dan Bagus. Alexa mau tidak mau mengekori langkah Gala walau hatinya sungguh kisruh. Baru hari pertama tinggal di kampung, masalah yang ia hadapi telah kacau seperti ini. Apalagi jika mengingat ia harus bekerja di bawah perintah Gala. Majikan yang sudah jelas-jelas tidak menyukainya, demikian pula sebaliknya. Setahun pasti akan terasa sepuluh tahun saat ia menjalaninya.
Dan akhirnya mereka semua berkumpul pada bale-bale panjang, dan juga kursi yang terbuat dari bambu yang disambung-sambung. Cuaca masih gelap dan berangin. Alexa bergidik. Subuh-subuh di perkampungan seperti ini, ternyata dinginnya luar biasa.
Pak Hamid dan Bagus telah lebih dulu duduk di bale-bale. Sementara Mbok Sari dan kedua orang tua Bagus sudah tidak terlihat. Sepertinya mereka semua telah masuk ke dalam rumah.
Alexa memandang sekitar. Tempat yang tersisa hanyalah bangku panjang bambu. Itu artinya dirinya dan Gala akan duduk bersama di sana. Ia ngeri apakah bangku bambu ini kuat menyangga berat badan mereka berdua. Mengingat perawakan Gala saja sudah sebesar ini. Sementara dirinya juga bisa dikategorikan berat. Struktur tubuhnya memang berbeda dengan gadis-gadis biasanya.
Gala yang lebih dulu menjatuhkan bokong di bangku. Diikuti dirinya yang duduk dengan takut-takut. Ia ngeri membayangkan kalau bokongnya sampai terjepit di antara bilah-bilah bambu.
"Nah, Nak Gala. Kebetulan sekali Nak Gala ke sini. Inilah Jamilah, cucu Bapak yang sudah Bapak ceritakan pada ayahmu. Jamilah akan tinggal di kampung ini , untuk menemani Bapak dan Ibu. Untuk itu Bapak ingin kamu mempekerjakan Milah di perkebunan, kalau kamu tidak keberatan." Pak Hamid dengan lancar memperkenalkannya pada Gala. Alexa angkat topi pada sempurnanya Pak Hamid ini berakting. Sedari tadi tutur katanya lancar jaya, tanpa keserimpet kata sedikitpun.
"Ayo, perkenalkan dirimu Milah. Ucapkan juga kata maaf karena kamu tadi telah salah menuduh Nak Gala." Selama berbicara Pak Hamid menatapnya dalam. Dalam tatapan itu tersirat kalu ia tidak ingin dibantah.
"Gue minta maaf," pungkasnya datar. Sungguh ia merasa seperti seorang anak SD yang tengah berseteru, dan dipaksa untuk berbaikan dengan teman sebangkunya yang nakal.
"Gunakan bahasa yang sopan, Milah. Gunakan kata saya sebagai penganti gue. Di Jakarta memang penyebutan kata gue itu sudah lumrah. Tetapi kalau di sini itu tidak sopan Milah. Ayo ulangi kalimat meminta maafnya," perintah Pak Hamid lagi.
Alexa meradang. Lihatlah gaya songong si Gala ini. Bukannya mengubah air muka menjadi lebih ramah, agar ia lebih rileks saat berbicara. Ini malah semakin ketat. Sekarang air muka Gala saingan dengan ketatnya kolor baru. Menegangkan. Selain itu si Gala ini juga tidak sopan. Karena terus mengotak-atik ponselnya saat ada orang yang ingin meminta maaf padanya. Padahal jarang-jarang ia bersedia meminta maaf pada orang lain. Apalagi sebenarnya ia juga tidak bersalah.
"Saya minta maaf."
"Hm,"
Eh sianying. Cuma hem doang?
"Kalau sudah saling memaafkan, kan lebih enak. Jadi bagaimana Nak Gala? Kapan Milah bisa mulai bekerja? Menurut Bagus, saat ini sedang musim panen cabe. Nak Gala pasti membutuhkan banyak tenaga untuk memetik cabe. Bukankah begitu, Nak?"
Alexa menggembungkan pipinya. Fixed, ia telah resmi menjadi buruh pemetik cabe sekarang.
"Kalau masalah kapan bekerja, saat ini juga dia bisa bekerja. Tapi bukan sebagai buruh pemetik cabe. Karena ini masih terlalu pagi. Nanti sekitar dua jam setengah lagi barulah waktu yang tepat untuk memanen. Karena cuaca sudah terang dan embun telah menghilang. Kalau masih berembun takutnya cabe akan
terkontaminasi oleh organisme pembusuk."Mendengar perkataan Gala, Alexa menarik napas lega. Lumayan, ia bisa menjauhi orang ini selama dua jam lamanya. Lebih baik ia meneruskan menyapu dedaunan, dan setelahnya kembali ke kamarnya. Ia bisa sakit kuning kalau terus-terus melihat wajah asem si Gala ini.
"Tapi..." Gala memotong kalimatnya.
Alexa menghentikan langkahnya. Roman-romannya bakalan ada kejadian yang tidak menyenangkannya lagi ini.
"Tapi kalau membantu saya memerah susu, tentu saja bisa. Rencananya tadi, hanya saya dan Bagus yang akan memerah. Namun dengan adanya Jamidun ini--"
"Jamilah! Lo jangan sekate-kate ngeganti nama orang ya?" Alexa berkacak pinggang. Nama Alexandra Delacroix Adams diganti menjadi Jamilah Binti Surip saja rasanya sudah menyesakkan dada. Ini diubah lagi menjadi Jamidun. Ginjalnya langsung ingin koprol saja rasanya.
"Milah, biasakan menyebut diri dengan kata saya kepada orang yang lebih tua," peringat keras Pak Hamid yang kedua kalinya ini, sontak membuatnya mengunci mulut. Hanya tatapannya saja yang membara.
"Saya tidak boleh mengganti namamu sembarangan. Tapi kalau kamu yang melakukannya boleh? Begitu?" Gala menaikkan alisnya. Sebenarnya ia dongkol sekali melihat kekeraskepalaan cucu Pak Surip ini. Ia sama sekali tidak menyangka, kalau Jamilah Binti Surip, yang dalam bayangannya adalah seorang gadis manis berambut panjang yang ayu, ternyata malah seperti ini wujudnya. Berwajah bule, berambut pendek dan bar bar luar biasa.
Mengenai wajah bulenya, ia tidak kaget. Karena Bagus tadi mengatakan bahwa ibu si Milah ini berasal dari Prancis. Yang membuatnya shock adalah sikap beraninya. Rasanya agak janggal kalau cucu dari seorang yang konon katanya, maaf, hanya seorang supir di Jakarta, mempunyai sikap percaya diri seperti ini. Jamilah terlalu berani untuk ukuran masyarakat golongan ekonomi lemah.
"Oh Milah mau Nak Gala ajak memerah susu toh? Silakan kalau begitu. Biar nanti Milah juga tahu, apa perbedaan sapi kecil dengan kambing."
Waduh, rencananya gagal!
Alexa hanya bisa memandangi kepergian Pak Hamid dengan pandangan nanar. Sebenarnya ia tidak masalah harus bekerja apa saja. Toh tujuannya dibuang ke desa ini adalah untuk menjalani hukuman. Hanya saja membayangkan dirinya harus memerah susu, selain takut ditendang sapi, ia juga merasa malu. Bayangkan, ia harus memegang-megang payudar* seekor sapi. Rasa-rasanya kok ia malu.
"Kenapa kamu bengong gadis kota? Tidak sanggup menjalani kehidupan keras di kampung ini? Kalau begitu untuk apa kamu ikut dengan akungmu tinggal di kampung ini? Sana, kembali saja ke ibukota!"
Ebuset ini orang mulutnya aktif bener ya?
"Siapa bilang gue kagak sanggup? Jangankan cuma meres susu. Meres lo pun gue jabanin. Paham lo!" Saat marah, ia lupa kalau harus menggunakan kata ganti saya.
"Kalau begitu tunggu apalagi? Ambil ember-ember itu dan ikuti saya dan Bagus ke kandang sapi!"
Setelah meneriakkan perintah, Gala berjalan ke arah pintu penghubung tadi. Alexa memandangi langkah sombongnya geram. Setelahnya ia meraih dua buah ember yang tadi dilempar sembarang oleh Bagus.
"Sudah Milah, jangan dipandangi terus Mas Galanya. Dikhawatirkan terlalu benci nanti malah jadi cinta lho."
Bagus yang sedari tadi menjadi pengamat yang budiman, iseng menggoda cucu galak Akung Hamid ini. Gadis-gadis di kampung ini rata-rata pemalu dan kemayu. Sementara si Milah ini tomboynya sampai ke pembuluh darahnya. Dengan rambut jagung pendek, mata coklat madu, serta kebaya kutu barunya, Milah terlihat seperti seorang artis bule yang tengah shooting di desa.
Jika dibandingkan dengan Indah, pacarnya, karakter keduanya bagai langit dan bumi. Indah, manis dan menenangkan. Indah memperlakukannya seperti hanya dirinyalah satu-satunya hal yang paling berarti di hidupnya. Indah itu wanita impian setiap laki-laki. Manis dan manut. Tidak seperti perempuan bar bar yang menatapnya dengan pandangan berapi-api begini. Tapi jujur, ada gelenyar aneh di pembuluh darahnya melihat sikap membangkang Jamilah ini. Ternyata perempuan yang tidak ngeh-ngeh saja, juga memiliki pesona magis sendiri. Ia merasa tertantang untuk menaklukkan api di kedua mata indahnya.
Bagus mengibaskan kepala. Membuang pikiran tidak-tidak yang sempat menyinggahi kepalanya. Tidak boleh! Ia tidak boleh terhanyut dalam pesona cucu Akung Hamid ini. Kemarin kedua orang tuanya sudah memperingatkannya secara langsung. Bahwa ia tidak boleh jatuh cinta pada Jamilah. Selain karena ia sudah memiliki Indah tentu saja, Jamilah itu terlarang baginya. Jujur, sebenarnya ia sedikit heran. Biasanya kedua orang tuanya tidak pernah mencampuri urusan pribadinya. Namun mengapa kali ini berbeda? Keduanya bahkan sampai berkali-kali memperingatinya, agar ia tidak lupa. Begitulah alasan kedua orang tuanya.
"Diem kagak lo? Kalo lo masih ribut aja, gue sumpelin ini ember ke mulut lo!" Alexa berbalik. Ia benar-benar butuh pelampiasan untuk meredakan emosinya sekarang.
"Masyaallah, Milah. Kamu ini benar-benar tidak ada manis-manisnya menjadi perempuan. Kalau kamu galak begini, siapa yang mau padamu? Kamu bisa nggak laku nanti, Milah." Bagus mengekor sembari menggeleng-gelengkan kepala. Alexa ini galaknya seperti singa.
Mendengar tuduhan seksis Bagus, Alexa membalikkan badan. Kalimat Bagus bukan hanya mencuil harga dirinya. Tapi juga harga diri semua perempuan di dunia. Bagus menjadikan wanita hanya sebagai komoditi alias barang dagangan. Pemikiran feodal ini, harus dimusnahkan!
"Eh lo denger baik-baik ya? Gue dan semua perempuan itu bukan barang dagangan. Bahwa kami harus bertingkah laku sesuai sesuai dengan keinginan si pemesan, agar kami dibeli dan terlepas dari predikat perawan tua, itu bukan zamannya lagi. Kami juga punya perasaan. Jadi kami juga berhak memilih pasangan yang sesuai dengan keinginan kami . Satu hal yang harus lo tahu. Kalo suatu saat gue nikah, itu karena gue yang memilih pasangan gue. Bukan hanya sekedar agar gue laku dan takut di cap sebagai perawan tua. Paham lo!"
Bagus termangu. Pemikiran Jamilah ini bukan pemikiran anak SMA yang putus sekolah. Karena sesungguhnya dibalik kata-kata ketusnya, Jamilah ini mampu merangkai kalimat hingga ia tidak kuasa untuk membantahnya. Jamilah ini cerdas!
Alexa memegangi dua ember yang sedianya untuk menampung susu sapi. Sementara Gala dan Bagus telah masuk ke dalam kandang sapi dan bersiap untuk memerah. Sungguh ia baru tahu kalau di belakang rumah Pak Hamid ini ada beberapa ekor sapi yang besar-besar. Hanya saja jumlahnya tidak banyak.Alexa mulai menghitung. Hanya enam ekor sapi di sana. Yang begini ini namanya peternak besar? Kalau sapinya cuma enam mana pantas menyandang nama peternak besar? Tukang sapi sih iya. Pak Hamid juga bilang kalau si Gala ini petani cabe merah dan bawah merah terbesar di negeri ini kan? Coba nanti ia lihat. Jangan-jangan kebunnya juga cuma sepetak dua petak juga. Mungkin pengertian besarnya ia dengan Pak Hamid beda."Eh gadis kota, ngapain kamu bengong saja di situ? Kamu ini niat bekerja atau tidak?" Teriakan Gala membuat Alexa mengkertakkan gerahamnya. Sialan emang si Gala ini. Pasti majikan galaknya ini mempunyai sifat pendendam. Buktinya baru dikatai sekali saja, ia sudah membalas dengan memberinya ber
Alexa merasa tubuhnya sudah searoma Sapi'i saat ia keluar dari kandang. Di tangan kanan dan kirinya, masing-masing memegang dua buah ember yang berisi susu sapi segar. Begitu juga dengan Gala dan Bagus. Saat ini cuaca sudah mulai terang. Dan Gala telah mengintruksikan agar dirinya bersiap-siap untuk memanen cabe. Namun ia meminta waktu lima menit untuk membersihkan diri. Ia takut para pemetik cabe lainnya akan pingsan saat berdekatan dengannya yang masih beraroma kandang Sapi'i."Ingat ya, saya memberimu waktu sepuluh menit. Kalau lewat dari waktu yang telah kita sepakati bersama, saya sendiri yang akan menyeretmu keluar dari kamar mandi. Paham, Jamil?"Wah ini orang ngajak ribut terus ya? Tadi memanggilnya dengan julukan Jamidun. Dan kini si Jamil. Tangannya gatal-gatal ingin memberi sedikit pelajaran pada Gala. Namun ia teringat kembali akan pesan Xander, ia mencoba bersabar. Daripada harus menjadi istri Brandon, lebih ia lebih memilih memanjangkan sabarnya. Sabar Lexa. Orang saba
Alexa memakai pakaian yang diberikan Gala dengan cepat. Selama berpakaian, ia bolak-balik mengintai dari bilik yang terbuat dari bambu. Setelah selesai berpakaian, Alexa merasa ia seperti orang-orangan sawah. Lengannya tak tampak karena lengan kemeja yang kepanjangan. Serta celana yang kepanjangan juga. Ia mengakalinya dengan menggulung lengannya berkali-kali. Setelahnya ia memasukkan kemejanya dalam joger pants. Agar pinggangnya sesuai, ia mengikat talinya kencang dalam simpul yang kuat. Celana yang kepanjangan, ia lipat beberapa kali, baru ia tarik ke atas. Lumayanlah. Setidaknya ia jadi lebih mudah bergerak dan terlihat seperti manusia normal."Sudah belum? Memakai pakaian saja kamu lelet sekali, apalagi kalau bekerja nanti. Saya tidak membutuhkan pekerja yang lamban!"Etdah, itu mulut pengen banget gue sumpel pake pupuk kandang!"Sudah selesai, Pak. Jangan marah-marah melulu jadi orang, Pak Gala. Nanti Bapak bisa terserang darah tinggi dan mati muda. Sayang 'kan, kalo Bapak mati a
Alexa kembali bersendawa setelah meneguk air mineral. Ah lega sekali. Rasanya dunia kembali terang setelah ia menghabiskan sebungkus nasi dan sebotol air mineral."Kamu punya hubungan apa dengan Pak Gala, Milah?" Alexa melirik seorang gadis ayu yang diperkenalkan Wiwid tadi sebagai Nenny. Di antara banyak teman-teman barunya, sebenarnya Nenny ini yang paling cantik. Wajahnya manis dan gerak-geriknya feminim sekali. Ia juga jarang berbicara. Namun sekalinya membuka mulut, kalimatnya ajaib juga."Memangnya kenapa, Nen?" Alexa balas bertanya. Ia memang tidak menyukai basa basi. Sebenarnya ia sudah bisa menebak ke arah mana Nenny akan menggiring topik pembicaraan. Namun ia sengaja pura-pura tidak tahu saja. Roman-romannya masalah cemburu ini."Nggak apa-apa sih, Milah. Aku-eh saya cuma mau bilang kalau--""Udah pakai aku saja." Alexa memotong kalimat Nenny."Gue juga sebenarnya ribet banget ngomong pake kata ganti saya... saya. Aneh banget rasanya. Berhubung kayaknya kita semua pada seumu
Waktu baru menunjukkan pukul 18. 30 WIB. Namun Alexa sudah merasa mengantuk. Ia baru saja pulang bekerja dari kebun. Setelah seharian bekerja, tubuhnya kini meminta jatah beristirahat. Seumur hidupnya baru beberapa hari inilah ia bekerja begitu keras bagai kuda. Dan kini ia lelah lahir batin.Setelah membersihkan diri, ia bermaksud beristirahat sejenak. Mungkin dengan berbaring sebentar rada capeknya akan hilang. Alexa memejamkan mata sembari meringis kesakitan. Tubuhnya serasa remek semua saat ia membaringkan diri di peraduan. Sudah tiga hari ini ia menjadi buruh pemetik cabe di perkebunan Gala. Tugasnya bekerja dimulai dari pukul tujuh pagi hingga pukul setengah enam sore. Bukan itu saja. Sehari setelah mengantarkannya bekerja dengan mobil pick up yang nyaris lepas pintunya, Gala memberinya alat transportasi sendiri. Berupa sebuah sepeda tua yang kerap ia lihat dalam film-film perjuangan tempo dulu. Bayangkan saja, sebelum ia berdiri seharian memetik cabe, kakinya sudah terlebih dul
"Ya udah Pak Gala temui saja dulu pacarnya. Saya ngambil parangnya sendiri saja." Mendapat kesempatan berkelit, Alexa bermaksud kabur. Ia membalikkan tubuh. Mengambil ancang-ancang untuk kabur. Namun secepat ia bergerak, secepat itu pula Gala menarik pergelangan tangannya."Kamu di sini saja, Midun."Susah amat mau kabur ya? Mana tangan gue dicengkram terus lagi, elahhh. "Lepasin tangan saya, Pak? Bapak nggak liat itu biji mata pacar Bapak sudah seperti akan menggelinding keluar?" Alexa berupaya menarik tangannya. Namun alih-alih melepas, Gala malah mempererat cengkramannya. Sialnya lagi, Gala mengubah pegangannya. Dari yang tadinya mencengkram pergelangan tangan, menjadi menggenggam jemari tangannya. Alexa mendelik kesal. Tapi delikannya hanya ditanggapi dengan suara dengkusan. Sialan!"Mas Gala sedang istirahat makan siang ya?" si gadis cantik menyapa ramah seraya mendekat. Saat si gadis tersenyum, dua lesung pipinya muncul. Kemayu dan lembut sekali pembawaannya. Apalagi saat ini s
"Durian yang mana dulu ya yang dibelah?" Alexa mengeluarkan lima buah durian dari dalam karung goni. Ia memilih-milih sejenak. Mana durian yang ia rasa paling bagus dan enak."Yang mana satu yang harus dibuka dulu ya?" Alexa berbicara sendiri. Ia bingung. Ia hanya pintar membelah buah durian. Tetapi tidak dalam hal memilih buah yang baik. Ia pernah berkali-kali salah memilih. Menurutnya bagus, namun sesampai di rumah malah busuk. Padahal saat membeli ia merasa duriannya sudah cukup wangi. Melihat Alexa ragu-ragu, Gala pun mendekat."Sini saya beritahu tips memilih durian yang baik dan benar. Agar lain kali, kamu piawai saat membeli buah durian." Gala kini ikut jongkok di samping Alexa. Ia kemudian meraih parang dari tangannya. Alexa melirik Gala sengit. Gaya Gala ini sudah menyerupai seorang tukang durian saja. Padahal aslinya mah, tukang cabe dan bawang. Tingkahnya saja yang selangit. Awas saja jika Gala salah memilih, dan membelah durian yang busuk. Akan ia bully setahun penuhlah na
"Masih belum mau pulang juga kamu? Punya istri kok sukanya kelayapan saja. Seharusnya sehabis pulang kerja kamu itu di rumah, Yanti. Mengurus suami." Alexa urung melangkah. Kemunculan seorang laki-laki yang marah-marah di samping Yanti menghadirkan satu dugaan. Laki-laki muda itu pasti suami Yanti. Sepertinya laki-laki sudah cukup lama di sini. Terlihat dari bahasa tubuhnya yang tidak sabaran seraya berkacak pinggang."Aku 'kan harus kerja lagi, Mas. Kalau tidak kita makan apa nantinya? Gaji Mas hanya cukup untuk membeli susu dan beras. Kita butuh makan, membayar listrik dan banyak hal lainnya, Mas," keluh Yanti sembari terus menyusuti air mata."Kerja... kerja terus. Tapi hasilnya tidak seberapa. Sementara tubuhmu makin hari makin kurus dan butek. Tidak ada menarik-menariknya sama sekali. Tidak seperti saat kamu gadis dulu. Coba contoh si Prapti. Usianya sama denganmu. Tapi kalian berdua seperti langit dan bumi. Prapti mulus dan harum aroma parfum. Sementara kamu burik dan berbau bum