Waktu baru menunjukkan pukul 18. 30 WIB. Namun Alexa sudah merasa mengantuk. Ia baru saja pulang bekerja dari kebun. Setelah seharian bekerja, tubuhnya kini meminta jatah beristirahat. Seumur hidupnya baru beberapa hari inilah ia bekerja begitu keras bagai kuda. Dan kini ia lelah lahir batin.Setelah membersihkan diri, ia bermaksud beristirahat sejenak. Mungkin dengan berbaring sebentar rada capeknya akan hilang. Alexa memejamkan mata sembari meringis kesakitan. Tubuhnya serasa remek semua saat ia membaringkan diri di peraduan. Sudah tiga hari ini ia menjadi buruh pemetik cabe di perkebunan Gala. Tugasnya bekerja dimulai dari pukul tujuh pagi hingga pukul setengah enam sore. Bukan itu saja. Sehari setelah mengantarkannya bekerja dengan mobil pick up yang nyaris lepas pintunya, Gala memberinya alat transportasi sendiri. Berupa sebuah sepeda tua yang kerap ia lihat dalam film-film perjuangan tempo dulu. Bayangkan saja, sebelum ia berdiri seharian memetik cabe, kakinya sudah terlebih dul
"Ya udah Pak Gala temui saja dulu pacarnya. Saya ngambil parangnya sendiri saja." Mendapat kesempatan berkelit, Alexa bermaksud kabur. Ia membalikkan tubuh. Mengambil ancang-ancang untuk kabur. Namun secepat ia bergerak, secepat itu pula Gala menarik pergelangan tangannya."Kamu di sini saja, Midun."Susah amat mau kabur ya? Mana tangan gue dicengkram terus lagi, elahhh. "Lepasin tangan saya, Pak? Bapak nggak liat itu biji mata pacar Bapak sudah seperti akan menggelinding keluar?" Alexa berupaya menarik tangannya. Namun alih-alih melepas, Gala malah mempererat cengkramannya. Sialnya lagi, Gala mengubah pegangannya. Dari yang tadinya mencengkram pergelangan tangan, menjadi menggenggam jemari tangannya. Alexa mendelik kesal. Tapi delikannya hanya ditanggapi dengan suara dengkusan. Sialan!"Mas Gala sedang istirahat makan siang ya?" si gadis cantik menyapa ramah seraya mendekat. Saat si gadis tersenyum, dua lesung pipinya muncul. Kemayu dan lembut sekali pembawaannya. Apalagi saat ini s
"Durian yang mana dulu ya yang dibelah?" Alexa mengeluarkan lima buah durian dari dalam karung goni. Ia memilih-milih sejenak. Mana durian yang ia rasa paling bagus dan enak."Yang mana satu yang harus dibuka dulu ya?" Alexa berbicara sendiri. Ia bingung. Ia hanya pintar membelah buah durian. Tetapi tidak dalam hal memilih buah yang baik. Ia pernah berkali-kali salah memilih. Menurutnya bagus, namun sesampai di rumah malah busuk. Padahal saat membeli ia merasa duriannya sudah cukup wangi. Melihat Alexa ragu-ragu, Gala pun mendekat."Sini saya beritahu tips memilih durian yang baik dan benar. Agar lain kali, kamu piawai saat membeli buah durian." Gala kini ikut jongkok di samping Alexa. Ia kemudian meraih parang dari tangannya. Alexa melirik Gala sengit. Gaya Gala ini sudah menyerupai seorang tukang durian saja. Padahal aslinya mah, tukang cabe dan bawang. Tingkahnya saja yang selangit. Awas saja jika Gala salah memilih, dan membelah durian yang busuk. Akan ia bully setahun penuhlah na
"Masih belum mau pulang juga kamu? Punya istri kok sukanya kelayapan saja. Seharusnya sehabis pulang kerja kamu itu di rumah, Yanti. Mengurus suami." Alexa urung melangkah. Kemunculan seorang laki-laki yang marah-marah di samping Yanti menghadirkan satu dugaan. Laki-laki muda itu pasti suami Yanti. Sepertinya laki-laki sudah cukup lama di sini. Terlihat dari bahasa tubuhnya yang tidak sabaran seraya berkacak pinggang."Aku 'kan harus kerja lagi, Mas. Kalau tidak kita makan apa nantinya? Gaji Mas hanya cukup untuk membeli susu dan beras. Kita butuh makan, membayar listrik dan banyak hal lainnya, Mas," keluh Yanti sembari terus menyusuti air mata."Kerja... kerja terus. Tapi hasilnya tidak seberapa. Sementara tubuhmu makin hari makin kurus dan butek. Tidak ada menarik-menariknya sama sekali. Tidak seperti saat kamu gadis dulu. Coba contoh si Prapti. Usianya sama denganmu. Tapi kalian berdua seperti langit dan bumi. Prapti mulus dan harum aroma parfum. Sementara kamu burik dan berbau bum
Alexa memperhatikan Yanti yang tidak bisa duduk tenang. Sedari tadi Yanti terus memandang pintu. Alexa tahu, Yanti menanti-nanti suami sialannya itu masuk. Begini amat orang kalau sudah bucin ya? Kenyataan dengan kebodohan sampai tidak bisa lagi mereka rasakan. Semoga saja ia tidak akan pernah mengalami kebucinan sampai tingkat nirwana seperti Yanti.Sementara itu, Yanti berkali-kali mengelus dada saat mendengar suara-suara perkelahian dari belakang rumah. Ia takut kalau Eko sampai kenapa-kenapa. Itu artinya biaya lagi bukan? Ke dokter karena patah tulang itu juga butuh biaya. Gala itu walau terlihat dingin, sesungguhnya berdarah panas. Eko dan Gala itu adalah teman kecil. Begitu juga dengan dirinya. Tetapi ia tidak begitu akrab dengan Gala dan Eko. Karena rentang usia mereka yang terlalu jauh. Ia masih anak-anak ketika Gala dan Eko dewasa muda. Mereka juga sama-sama miskin di waktu lalu. Hingga tahun-tahun berlalu dan Gala sukses menjadi pengusaha besar. Olehnya mereka bertiga tahu
"Hallo... wah Mama rupanya yang menelepon. Ada apa, Ma?" bisik Alexa lirih di ponsel. Bukan apa-apa. Selain ponsel pinjaman, suasana di rumah ini juga sangat sepi. Walaupun saat ini ia sudah berjalan hingga ke teras, tetap saja ia takut kalau pembicaraannya dengan mamamya didengar oleh Gala. Kalau sudah seperti itu, bukan hanya dirinya yang akan menerima double hukuman. Tetapi mamanya juga. Papanya kalau sudah memberi hukuman tidak pernah pandang bulu."Ada berita gawat, Lex. Makanya Mama memberanikan diri meneleponmu. Keadaan sekarang sudah siaga satu. Brandon Sanjaya serius mau menikahimu."Huapah? Brandon serius menikahinya? Onde mande... bagaimanalah ini!"Ya tapi, itu kan keinginannya, Ma. Kalau Lexa nggak mau 'kan Brandon nggak bisa maksa juga. Kecuali--""Nah kecualimu itu yang benar. Papamu terlanjur menerima tantangan Pak Hardiman."Celaka dua belas!"Apa? Papa mulai main terima tantang-tantangan lagi?" Alexa rasanya ingin menangis sambil kayang, membayangkan kalau papanya sa
"Non Lexa ke sekolah naik apa?"Pintu kamar Pak Hamid terbuka. Pak Hamid masih mengenakan sarung saat menyusulnya duduk di kursi kayu. Pak Hamid pasti mendengar suara gerubugannya saat bersiap-siap ke sekolah.Alexa yang tengah berusaha menjejalkan jari-jari kakinya ke dalam sepatu, menoleh. Pak Hamid menghampirinya sekarang."Lexa naik sepeda ontel seperti biasa saja, Pak." Setelah memaksakan jari jemari kakinya menekuk dalam sepatu yang kesempitan, Alexa berdiri dengan gagah. Ia tidak boleh banyak mengeluh sekarang. Misinya kali ini menyangkut masa depannya. Untuk itu rintangan seperti apapun, akan ia jalani. "Lokasi sekolah itu lumayan jauh, Non. Hampir dua kali lipat jaraknya dari perkebunan. Bapak takut kalau nanti Non Lexa kecapean. Bapak tadi sudah minta tolong Bagus untuk mengantar Non dengan motor saja ya?" Alexa menggeleng cepat. "Tidak usah, Pak. Jangan mengganggu Bagus, eh Mas Bagus. Lexa tidak enak dengan Indah nantinya."Sudah semua kostum yang dipakainya adalah barang
"Sudah sampai, Midun. Kamu mau interview, atau masih betah duduk di boncengan saya?" Gala menoleh ke belakang. Menegur Jamilah masih duduk bengong di jok motornya. Padahal mereka telah sampai di sekolah."Hah, sudah sampai ya?" Alexa buru-buru meloncat turun dari motor. Sedari di boncengan Gala tadi, pikirannya memang terus mengembara. Ia memikirkan berbagai strategi dalam menghadapi Brandon, apabila kemungkinan terburuk sampai terjadi. "Kamu ini tidak ada halus-halusnya jadi perempuan. Memakai rok tapi kelakuan seperti tarzan." Gala mengejek Alexa. Alexa tidak menyahuti ejekan Gala. Saat ini ia sedang banyak pikiran. Kalimat provokasi tah* kucing begini sebaiknya ia abaikan saja. Ia sedang malas ribut. Namun sebelum berjalan ke arah gedung sekolah, Alexa sempat memberi tatapan peringatan, bahwa ia akan membalas Gala nanti. "Punya mulut kok ya demen banget ngeselin orang. Tunggu aja sampe gue berhasil. Bakalan gue sumpel pake sepatu mulut besar lo itu." Sambil jalan Alexa ngedumel.