Share

Jiwa Di Dalam Kehampaan Yang Pasrah

Memulai kehidupan baru katanya, itu maksud yang sama sekali tidak dimengerti Zeion. Mereka hanya berjalan dari kediaman Edmon tanpa tujuan yang jelas, setidaknya untuk Zeion sendiri.

Ini terlalu berat untuk anak berumur 10 tahu berjalan tanpa berhenti sejauh ribuan meter, mereka sama sekali belum berhenti. Hanya malam yang kebetulan menjadi waktu yang singkat untuk istirahat.

Tiba di sebuah kota, tampak orang-orang di sana ramai, namun ada juga yang melihat Zeion dengan heran. Bagaimana tidak heran, pakaian yang digunakan Zeion masih sangat lusuh, ini tidak berbeda dari seorang budak yang biasa dijual.

Budak hanya makhluk rendahan yang tidak punya arti, di dunia ini mereka diperlakukan kasar dan tidak punya harga diri.

Pria berhidung mancung ini melirik ke arah Zeion yang matanya terlihat lelah. “Hm... apa kau lapar?”

Zeion melirik, dia begitu waspada untuk memberikan jawaban.

Gruu...

Tapi, perutnya yang mengambil satu jawaban, yaitu kepastian kalau Zeion sedang lapar.

Tertawa kecil dia melihat sikap bocah ini yang dirasanya sangat menggelitik, tidak beberapa lama, mereka menemukan sebuah kedai makanan yang terdapat di pinggir jalan.

Beberapa makanan terhidang di depan mata, benda bulat yang ditusuk di satu kayu tipis, lumuran benda berwarna cokelat ini menambah rasa nikmat.

Lahap Zeion memakannya, di sini bisa disimpulkan oleh pria itu kalau Zeion tidak mendapatkan makanan yang layak. Hampir dirinya melihat orang gila yang belum makan selama 1 tahun.

Dia bersedekap sembari memajang senyuman, memperhatikan terus menerus Zeion. Sama sekali makanan yang dipesannya belum disentuh. Dan, mata Zeion tertuju kepada makanan itu, padahal dia sudah menghabiskan banyak makanan.

Matanya begitu fokus seperti pemburu yang mengincar mangsa.

“Apa kau mau makanan ini?” tanya pria tersebut.

Zeion sontak mengarahkan pandangan matanya lalu bertanya, “Apa boleh aku memakannya?”

“Tentu saja, kau boleh memakan makanan ini! Aku juga tidak terlalu lapar, jadi aku rasa makanan ini akan jauh lebih baik jika diberikan kepadamu!”

Piring yang di atasnya ada makanan disodorkan secara ramah, tanpa banyak membuang waktu lagi, Zeion memakan makanan itu dengan lahapnya.

Entah kenapa dia merasa senang melihat bocah ini makan dengan lahapnya, meski itu terkesan menjijikkan, namun ada kebahagiaan tersendiri.

Setelah menghabiskan makanan, wajah Zeion tampak tidak senang. Dia menunduk dengan bibir yang menurun, raut wajah yang penuh dengan keputusasaan.

“Kenapa? Apa makanan tadi tidak enak?”

Bergegas kepala Zeion menggeleng, dia tidak ingin membuat pria itu menganggapnya tidak tahu terima kasih. “Bukan, tapi kenapa Anda baik kepadaku? Aku bahkan sudah tidak diinginkan lagi oleh orang tuaku!”

Dagunya langsung dielus-elus secara lembut, pertanyaan yang cukup ambigu. Dia ingin sekali membahas topik lain, namun suasananya tidak menentu, di sini terlalu banyak hal yang tidak dapat diungkapkan.

“Aku bukan baik kepadamu!” jawabnya secara instan menyebabkan Zeion menjadi bingung.

“Lalu kenapa?”

“Bisa dibilang kalau aku di sini hanya menjalankan tugas saja! Apa kau tahu kalau dirimu sebenarnya sudah dijual oleh keluargamu sendiri!”

Napas Zeion menjadi sesak, jantungnya berdetak tidak menentu. Tidak paham dia kenapa hal ini harus terjadi, sebegitu teganya kedua orang tuanya melakukan hal ini.

“Mereka menganggap kalau kau ini sebagai anak pembawa malapetaka, dan di sini kau harus memahami bahwa dirimu sudah tidak punya lagi wewenang untuk bebas! Kau sama seperti budak untuk beberapa orang, namun beruntung kalau yang membeli dirimu bukanlah orang jahat! Dia adalah tuanku, dan dia pasti akan memperlakukan dirimu sebagai alat yang berguna...”

Itu terdengar kejam, namun entah kenapa Zeion merasa bersyukur untuk tahu akan ada orang yang mau menerima keberadaannya sebagai makhluk hidup, meski itu hanya sekedar alat saja.

Zeion terdiam, wajahnya hanya menunduk dengan aura penuh rasa kecewa. Pria itu terus memperhatikan ekspresi bocah ini, ingin tahu bagaimana sikap bocah yang menyadari kenyataan kalau di dunia ini kejam.

“Begitu ya, aku menjadi paham! Ternyata diriku ini hanya sebagai alat saja!”

“Ya, maka dari itu, aku ingin kau berguna! Jangan buat tuanku nanti kecewa...” Pria ini pun menutup percakapan dengan seringai.

Setelah membayar makanan, mereka melanjutkan perjalanan ini. 

Wilayah yang dilalui kali ini berbeda dari sebelumnya, mereka telah tiba di sebuah lembah yang penuh dengan kabut yang menutup jalan. Hanya langkah kaki yang terdengar di keheningan, menyeramkan, namun pria di depan Zeion tidak terlihat panik.

Kaki mereka terus menyusuri jalan yang semakin pudar, perlahan ketukan langkah kaki mereka terhenti.

Zeion lebih tepatnya hanya meniru apa yang ada di depan matanya, ketika pria itu berhenti, tentu dia berhenti.

Tapi, terlalu mendadak hingga dia bertanya-tanya kenapa ini dilakukan, mata pria itu masih tetap lurus hingga Zeion penasaran dan menampakkan wajahnya dari balik tubuhnya.

Ternyata di depan mereka berdiri seseorang dengan pakaian yang dibalut kain hingga hanya memunculkan kedua bola matanya, pakaian yang mirip seperti ninja, namun dengan tubuh besar.

“Siapa kau ini?” tanya pria berhidung mancung.

“Hehehehe... aku lihat kalau kalian berdua ini sangat berani melewati wilayah ini!”

“Ya, memangnya kenapa? Di sini tidak ada hewan buas dan monster jahat, kenapa ada makhluk aneh seperti dirimu yang mendadak muncul?” Dia bertanya, tapi nadanya terdengar mengejek.

“Mereka tidak muncul karena keberadaanku, di sini mereka semua takut kalau aku bunuh!”

“Hooh... terdengar menarik, aku pikir di sini saatnya waktu yang pas!”

Maksud dari ucapannya membingungkan atmosfer, keheningan membawa ke dalam senyapnya suasanya.

“Apa yang kau katakan itu tadi?” tanya pria berbadan besar dengan lantangnya.

“Ya, maksudku di sini kau harus menghadapi dia!” Tangannya membentang di hadapan bocah 10 tahun yang bingung dengan ini.

Zeion merinding ketika dirinya yang harus menjadi tokoh utama dalam peristiwa ini.

“Kau bilang bocah ini akan menjadi lawanku? Haahahaha...” Melengking suaranya, dia tertawa dengan puas hingga kabut di sana mulai bergerak menjauh.

“Jangan remehkan dia!” timpal pria itu yang menyelinginya dengan senyuman dingin. “Kau sendiri mungkin akan dengan mudah binasa! Zeion, kau harus kalahkan pria ini! Buat dia menyadari kalau meremehkan dirimu adalah malapetaka...”

Setelah berkata, pria itu mulai menjaga jarak, membiarkan Zeion dan sosok misterius ini bertarung.

Tapi, itu mungkin kesalahan yang haru Zeion terima, dia hanya bocah bodoh yang tidak paham apa yang sebenarnya terjadi di sini, kaki dan tangannya tidak berhenti bergetar.

Menghadapi pria normal saja mungkin dia tidak akan menang, apalagi menghadapi sosok dengan tubuh sebesar ini, tubuh seperti gorila yang hidup.

“Bagaimana ini? Apa aku bisa menang menghadapinya?” tanya Zeion dalam hatinya.

“Bocah, kau akan aku bunuh...” Pria berbadan besar ini mendadak melepaskan serangannya, dari balik punggungnya sebilah pedang raksasa muncul. Dan, mempersempit jarak dengan gerakan yang kemudian siap untuk menebas tubuh Zeion.

“Aku akan mati...”

__To Be Continued__

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status