"Euis, piring di belakang sudah numpuk, tuh!" ucap nenekku pada ibu, yang tak lain tak bukan adalah mertuanya.
"Iya, Bu. Euis cuci sebentar lagi." Seraya mengukir senyum ibuku menjawab. "Kok sebentar lagi? Nanti kalau ada tamu yang datang lagi mau makan pakai apa?" sahut nenek terdengar kesal, padahal beliau tahu sendiri ibuku sedang sibuk membungkus makanan, itu pun atas perintahnya. "Biar Imas saja yang cuci piring, Nek." Aku menimpali. "Ya sudah, cepetan! Tuh, udah ada tamu lagi di depan!" sungutnya, kemudian kembali pergi ke ruang depan. "Biar Ibu saja, Mas." Ibu menahan lenganku untuk tidak beranjak. "Nggak apa-apa, Bu. Ibu selesaikan saja dulu pekerjaan ini." "Tapi cucian piringnya banyak, Imas. Sudah, biar Ibu saja." Aku menggeleng, lantas melepas pegangan Ibu dengan lembut. "Sudah, Bu. Nggak apa-apa." Aku mengulas senyum, sementara Ibu hanya terlihat pasrah. Tanpa menunggu lama, aku pun berjalan ke arah belakang, tepatnya keluar dapur, menyambangi tempat khusus cuci piring yang areanya cukup luas. Sejenak aku tertegun sambil menelan ludah melihat betapa banyaknya piring kotor di beberapa baskom berukuran besar. Mendadak hatiku sedih, selama ini Ibu selalu menjadi tukang cuci piring di rumah mertuanya sendiri jika ada sebuah acara. Ya, seperti sekarang ini. Nenek tengah melangsungkan acara empat puluh hari meninggalnya kakek. Kenalan almarhum banyak, keluarga kakek juga cukup terpandang, makanya banyak sekali tamu yang datang. Setelah menghela napas panjang, aku mulai menggulung baju bagian lengan, lalu duduk di sebuah jojodog alias bangku pendek berbahan kayu. Aku pun mulai menyalakan keran dan membasahi piring satu persatu. Entah kenapa hatiku kembali teriris, mengingat Ibu selalu diperlakukan laiknya pembantu oleh mertuanya sendiri, hanya karena kami orang tidak punya mungkin. Iya, dari ketiga anak nenek, hanya bapak yang hidupnya pas-pasan. Berbeda dengan kakak serta adiknya yang bisa dibilang kaya raya. Sering kali kami disepelekan, diperintah ini itu sesuka hati, tapi anehnya bapak dan ibu tak pernah melawan, terkesan pasrah serta ikhlas menjalani semua ini. "Setidaknya kita bisa nyumbang tenaga kalau nggak bisa ngasih harta, Mas." Itu yang pernah Ibu katakan padaku saat dulu pernah protes kenapa Ibu selalu mau dijadikan tukang cuci piring di rumah nenek. Sambil mengusap air mata berkali-kali, aku membersihkan piring yang rata-rata penuh dengan kotoran minyak. Dalam hati aku bertekad, suatu saat nanti angkat mengangkat derajat ibu dan bapak, agar mereka tak dipandang rendah lagi. Terpenting, tak menjadi si tukang cuci piring di rumah orang tuanya sendiri. *** "Imas, sudah selesai belum?" Suara Ibu terdengar dari luar. Bergegas aku meraih knop pintu, kulihat Ibu sudah berpakaian rapi seraya menenteng kantung kresek berisi pisang. "Sudah, Bu. Ayo. Bapak mana?" tanyaku. "Sudah duluan, Mas. Katanya mau bantu Uwamu buka buah kelapa." Aku membulatkan mulut seraya mengangguk-angguk mendengar jawaban Ibu. Hari ini rumah Nenek ramai lagi, dikarenakan akan ada acara lamaran antara Teh Neneng, yang tak lain anak sulung Uwa dengan anak Bu Marsita. Rumah kami memang berdekatan, dan setiap acara selalu digelar di rumah Nenek karena tempatnya lebih luas. Hanya membutuhkan beberapa langkah untuk sampai di kediaman nenek, rupanya di dalam sana sudah banyak orang-orang, termasuk para tetangga yang ingin menyaksikan. "Duh, deg-degan, nih." Teh Neneng berujar, wanita yang usianya hanya terpaut satu tahun denganku itu nampak cantik dengan balutan pakaian berbahan brokat. Tak lama, terdengar beberapa suara kendaraan yang mendekat ke arah rumah Nenek. Ada sekitar enam motor memenuhi halaman rumah yang luas ini, lalu terkahir sebuah mobil berwarna hitam datang dan berhenti di ujung halaman dekat hamparan bunga melati kesayangan Nenek. Suasana semakin terasa ramai, apa lagi saat pemilik mobil berwarna hitam itu turun. Dia adalah Kang Azzam, putra dari Pak Suryana dan Bu Marsita, keluarga terpandang di kampung sebelah. Dulu kami satu sekolah, hanya saja dia satu angkatan dengan Teh Neneng. "Makin deg-degan aku, Sri." Teh Neneng berkata pada Sri, anak Bibi tepatnya. "Mau Imas ambilkan minum, Teh?" tawarku. "Teu kudu. (Nggak usah)." Teh Neneng menjawab ketus, aku hanya mengangguk kecil. Teh Neneng memang lebih dekat dengan Sri dan sepupu lain ketimbang aku, entah kenapa sedari kecil dulu, dia seolah menyimpan rasa tak suka padaku. Namun aku tak ambil pusing, tak ingin badan kurus kering hanya karena memikirkan sesuatu hal yang tidak penting. Suasana masih terasa begitu ramai, para orang tua kini tengah berbincang, sedangkan aku dan Ibu duduk di barisan belakang, tepat di hadapan sebuah lemari hias. "Iya, kedatangan kami ke sini memang hendak melamar Nak Neneng, putri sulung Bapak Muslihin." Pak Suryana berujar setelah ustaz selesai membaca tahlil dan beberapa doa. "Loh, kok Neneng?" ucap Kang Azzam, membuat semua orang menatap padanya, termasuk aku yang tadi terkantuk-kantuk ini. "Kenapa, Zam?" tanya Pak Suryana. "Bukan, Pak. Azzam ke sini bukan mau melamar Neneng, tapi mau melamar Imas, Pak!" katanya lagi membuat semua orang tercengang, termasuk aku sendiri."Imas? Imas siapa, Azzam?" kata Pak Suryana membuat beberapa orang menolehku, termasuk Ibu. "Ya Imas putrinya Pak Muslihin, Pak. Bukan Neneng." Kang Azzam menjawab dengan ekspresi wajah yang tak bisa kujelaskan. "Jangan ngawur kamu, Zam. Pak Muslihin itu cuma punya satu putri, yaitu Nyai Neneng. Anak bungsunya Hasbi, masih kelas satu MTs. Benar begitu bukan, Pak?" tandasnya seraya menatap Wa Muslihin, membuat semua orang saling berbisik hingga keadaan terasa riuh kembali. "Betul, Pak." "Tuh, dengar!" ucap Pak Suryana cepat. "Tapi ...," ucap Uwa lagi membuat semua menoleh padanya. "Memang, ada nama Imas di sini. Dia anak adik saya." Seraya melirikku Wa Muslihin berujar, otomatis semua mata tertuju padaku yang masih duduk di paling ujung ini. "Maaf, bukannya Imas itu anak Bapak, ya? Dulu sewaktu sekolah, saya sering lihat Imas diantar sama Bapak." Kang Azzam bersuara lagi. Sejenak aku berpikir, sejak kapan dia melihatku sering diantar Wa Emus? Sejak kapan dia tahu namaku? Sunggu
“Seharusnya kemarin kamu tidak menampar Neneng, Mas.” Sembari menuangkan teh hangat pada gelas di hadapanku Ibu berujar.“Tapi dia sudah keterlaluan, Bu. Nggak rela Imas kalau dia ngehina orang tua Imas,” kataku seraya menarik gelas, sisa-sisa amarah itu masih terasa di dalam hati ini.“Iya, Neneng memang sudah keterlaluan.” Bapak menyahut seraya mengunyah singkong rebus yang masih hangat.“Tapi bagaimana kalau nanti Kang Muslihin nggak ngajak kamu kerja lagi, Kang? Akang tahu sendiri ‘kan, bagaimana sikap Teh Muniroh? Dia pasti akan tambah benci karena kejadian ini.” “Ya mau bagaimana lagi, Is? Tidak apa-apa jika Kang Emus berhenti ngajak Akang kerja, masih banyak pekerjaan lain di luar sana,” jawab Bapak terdengar begitu enteng.Bapak memang salah satu pekerja di tempat grosir milik Wa Emus, kakak lelaki Bapak itu sebenarnya memiliki sikap yang baik, hanya saja dia memiliki istri dengan perangai buruk menurutku. Tak jarang Wa Muniroh menghasut suaminya itu agar mengeluarkan Bapak d
“Tidak mungkin, Wa. Tiga hari lalu Imas baru saja menerima lamaran Kang Azzam,” ucapku mencoba mengeluarkan suara.“Jangan ngarang kamu, Imas. Orang semalam Azzam dan orang tuanya datang ke sini nentuin tanggal pernikahan dengan Neneng,” jawab Wa Muniroh membuatku semakin tak mengerti.Semalam, katanya? Tapi semalam Kang Azzam masih mengirimiku pesan, bahkan dia berkata akan membelikanku ponsel baru. Tapi, sedari Subuh tadi memang dia tak memberiku kabar. Ada apa sebenarnya? Kenapa semuanya jadi seperti ini.“Imas nggak ngarang, Teh. Tiga hari lalu Azzam memang ke rumah dan meminta jawaban Imas perihal lamaran waktu itu.” Ibu menimpali dengan suara gemetar, sepertinya Ibu juga sama terkejutnya denganku.“Lagi pada ngomongin apa ini?” tanya Nenek yang tiba-tiba datang.“Ini, Bu. Euis sama Imas nggak percaya kalau Neneng sama Azzam bakal menikah, malah bilang tiga hari lalu katanya Azzam ke rumah mereka buat minta jawaban Imas.” Mendengar perkataan Wa Muniroh, Nenek terkekeh cukup lama.
“Imas, tolong simpan kado-kado ini di kamar Neneng, ya?” Sejenak aku tertegun mendengar perintah Wa Muniroh.“Malah bengong! Ayo simpan ke sana, Imas!” “Tapi kenapa harus sama Imas, Wa? Kenapa nggak sama Uwa saja?” tanyaku langsung, merasa aneh saja dengan perintahnya.“Ih, teu sopan kamu teh, Imas! Disuruh sama orang tua malah nyuruh balik!” ucapnya nyaring.“Justru Imas merasa tidak sopan kalau masuk ke kamar pengantin, Wa.”“Ya bilang permisi saja, atuh. Lagi pula ini masih sore, Neneng sama Azzam belum tidur, pintu kamarnya saja masih sedikit kebuka,” jawabnya membuatku menoleh pada daun pintu yang atasnya terdapat hiasan bunga khas kamar pengantin baru.“Ayo, Imas! Uwa masih banyak tamu di depan, takut keburu pulang!” katanya membuatku memalingkan pandangan dari pintu kamar.Belum sempat aku menjawab, Wa Muniroh menyodorkan beberapa bungkus kado padaku, refleks aku menengadahkan kedua tangan untuk menahan.Wa Muniroh pun kembali pergi ke luar rumah, dari balik kaca jendela yang
Belum sempat aku menjawab, Nenek sudah mengambil gulungan kertas yang berada di genggamanku.“Ini dia uang yang aku cari-cari,” ucapnya setelah bend aitu berpindah tangan.“Kamu nemuin di mana?” tanya Nenek.“Dari bantal ini, Nek.” Seraya menunjuk benda empuk itu aku menjawab.“Tadi kamu mau buka, ya? Ngapain?” tanyanya lagi seolah mengintimidasi.“Enggak, Nek. Imas hanya penasaran, soalnya bentuknya aneh.” Aku menjawab lagi dengan jujur.“Aneh bagaimana? Jangan bilang kamu mau ambil uang ini, ya?”“Ya Allah, Nenek bicara apa, atuh? Imas kira itu bukan uang, makanya Imas mau buka. Takutnya ada yang jahil atau apa sama Nenek, habis bentukannya mirip benda milik orang-orang pintar,”“Orang pintar bagaimana maksud kamu, Imas?” “Iya, mirip orang-orang pintar di televisi yang suka main dukun atau punya ajian. Pasti mereka suka punya benda semacam ini.”“Sepertinya kamu terlalu banyak nonton sinetron, Imas. Sudah, lebih baik kamu selesaikan pekerjaanmu!” titahnya dengan tegas, kemudian ber
Suara ketukan pintu tak membuatku ingin beranjak dari kasur berbahan kapas randu ini. Perkataan Kang Azzam dan Teh Neneng masih terus terngiang di telingaku, tajamnya kalimat yang keluar dari mulut mereka terasa merobek hatiku satu-satunya.“Imas?” Suara Bapak terdengar begitu dekat, seharusnya aku mengunci pintu kamar setelah mengambil air wudu untuk salat Magrib tadi.“Jam segini tidur. Sudah salat Isya, kamu?” Sekarang aku bisa menebak kalau Bapak tengah berdiri di samping dipan.“Kata Ibu kamu belum makan.” Mendengar kalimat terakhirnya, sesak di dadaku kembali timbul.Perasaanku benar-benar kacau, mengingat sesuatu yang selalu kami andalkan setiap bulannya hilang begitu saja. Walau hanya sekarung beras, tapi itu sungguh berarti bagi kami semua. Bapak mau pun Ibu tak memiliki sawah seperti kakak dan adiknya, sehingga selama ini kami merasa begitu terbantu dengan adanya bantuan sosial dari pemerintah berupa sembako, terutama makanan pokok.Namun sekarang? Kami benar-benar kehilang
“Mau ke mana, Bu?” tanyaku saat melihat Ibu berjalan menuju pintu.“Ini, mau mengembalikan rantang milik Mih Enur. Sekalian ngasih singkong.”“Oh. Rantang bekas makanan itu, ya? Biar Imas saja kalau begitu,” ucapku sembari bangkit dari duduk.“Jangan, Mas. Kamu baru pulang, lebih baik kamu makan sana, Ibu sudah buat telur dadar.”“Tidak apa, Bu. Imas belum lapar,” kataku seraya meraih rantang dan singkong mentah dari tangan Ibu.“Benar tidak apa-apa?” tanya Ibu lagi.“Iya, Bu. Lebih baik Ibu di rumah saja, sebentar lagi ‘kan Ilham pulang sekolah diniyah. Nanti suka nyariin kalau Ibu nggak ada.”“Ya sudah, atuh. Terima kasih ya, Sayang.” Ibu mengusap kepalaku yang masih terbalut kerudung berwarna biru tua.Walau sebenarnya aku masih merasa capek, tapi aku lebih tidak tega jika melihat Ibu lelah. Lagi pula, rumah Mih Enur tidak terlalu jauh, aku masih bisa berjalan kaki untuk sampai ke tempat tinggalnya.“Eh, Imas. Masuk, Neng.” Dengan senyuman rumah, wanita yang tengah menyapu halaman
Selepas Magrib, aku diajak Bapak pergi ke rumah Bu Ayu. Katanya ada pekerjaan lain namun akan lebih baik dilakukan oleh perempuan.“Loh, kirain yang ke sini Bu Euis, Pak.” Bu Ayu berujar saat aku sudah berada di dalam dapur mewah miliknya. Dengan cepat aku menyalami wanita yang sangat anggun itu.“Istri saya sedang buat adonan gorengan untuk jualan besok pagi, Bu. Akhirnya saya ajak anak saya saja. Tidak apa-apa ‘kan, Bu?”“Tidak apa-apa, Pak Mis. Tidak apa-apa. Tapi, saya takutnya Imas kecapekan, dia ‘kan baru pulang kerja tadi sore,” katanya seraya menatapku dan Bapak bergantian, senyumannya yang ramah tak pernah berhenti tersungging.“Tidak, Bu. Imas tidak capek, kok. Alhamdulillah,” jawabku sesopan mungkin.“Jadi merepotkan begini ya, saya. Kalau bukan karena Abidzar, saya tidak akan meminta bantuan Imas atau Bu Euis. Tadi sewaktu pulang kerja, Abidzar tiba-tiba bawa udang, katanya mau dimasakin udang asam manis, tapi saya nggak bisa buatnya.” Bu Ayu terkekeh di ujung kalimat, aku