Selepas Magrib, aku diajak Bapak pergi ke rumah Bu Ayu. Katanya ada pekerjaan lain namun akan lebih baik dilakukan oleh perempuan.“Loh, kirain yang ke sini Bu Euis, Pak.” Bu Ayu berujar saat aku sudah berada di dalam dapur mewah miliknya. Dengan cepat aku menyalami wanita yang sangat anggun itu.“Istri saya sedang buat adonan gorengan untuk jualan besok pagi, Bu. Akhirnya saya ajak anak saya saja. Tidak apa-apa ‘kan, Bu?”“Tidak apa-apa, Pak Mis. Tidak apa-apa. Tapi, saya takutnya Imas kecapekan, dia ‘kan baru pulang kerja tadi sore,” katanya seraya menatapku dan Bapak bergantian, senyumannya yang ramah tak pernah berhenti tersungging.“Tidak, Bu. Imas tidak capek, kok. Alhamdulillah,” jawabku sesopan mungkin.“Jadi merepotkan begini ya, saya. Kalau bukan karena Abidzar, saya tidak akan meminta bantuan Imas atau Bu Euis. Tadi sewaktu pulang kerja, Abidzar tiba-tiba bawa udang, katanya mau dimasakin udang asam manis, tapi saya nggak bisa buatnya.” Bu Ayu terkekeh di ujung kalimat, aku
Entah sudah berapa lama aku tidak memainkan ponsel karena tidak memiliki kuota internet, dan hari ini Bu Ayu dengan baiknya memberikan sebuah voucher, katanya imbalan untukku karena sudah mau mengantar Syifa sekolah.Padahal aku melakukannya dengan tulus, yang terpenting aku tidak kehilangan pekerjaan saja. Namun aku sendiri tak bisa menampik rasa bahagia saat menerima hadiah berupa voucher kuota internet yang nominalnya begitu besar, selama hidup aku tak pernah membeli kuota sebesar ini.Beberapa notifikasi masuk, paling banyak adalah dari platform kepenulisan, karena aku memang suka membaca juga iseng menulis cerita berbentuk online jika memiliki kuota. “Siapa, sih?” gumamku seorang diri saat beberapa kali notifikasi masuk dari aplikasi hijau yang digandrungi banyak manusia.Aku tidak memiliki banyak teman, makanya aku jarang membuka aplikasi tersebut. Paling-paling hanya mengecek grup alumni dan selalu setia menjadi silent reader. Tapi notifikasi yang terus menerus membanjiri pon
Sembari menatap langit-langit kamar yang terbuat dari anyaman bambu, aku tak berhenti memikirkan perkataan Bu Ayu tadi pagi.Apa wanita baik itu tengah bercanda? Kenapa dia menyebutku sebagai calon dari pendamping Pak Abidzar? Tidak mungkin sosok terpandang yang nyaris sempurna seperti anak lelakinya itu bersanding dengan wanita sepertiku.Sungguh, aku tak bisa berhenti memikirkannya. Aku sendiri belum sempat bertemu kembali dengan Bu Ayu karena sepulang dari sekolah Syifa, aku langsung ke tempat fotocopy Bu Yuni untuk bekerja.“Kak Imas, mau pizza, tidak?” Lamunanku langsung buyar tatkala suara Ilham masuk ke dalam telinga.“Pizza apa, Ham?” tanyaku sambil bangkit.Anak lelaki itu tak menjawab, dia malah masuk ke kamar dan menarik tanganku dengan segera, lalu membawa diri ini berjalan melewati ruangan tamu sekaligus ruang televisi tanpa sekat.Setelah berada di dapur, Ilham melepas tanganku, dia langsung duduk di dekat Bapak dan Ibu yang sibuk menata makanan dari dalam kardus.“Ayo,
Rasanya seperti mimpi, sebuah undangan cantik berwarna hijau sage berada di genggaman tangan ini. Senyumku terukir bersamaan dengan air mata yang beberapa kali menetes membasahi pipi. Perasaanku semakin campur aduk, tatkala melihat namaku terpampang dengan nyata di sampul kertas indah ini.“Ini undangannya kenapa bagus pisan, ya, Imas. Kamu yang pilih?” tanya Ibu sembari memutar-mutar undangan.“Iya, Bu. Waktu itu Bu Ayu kasih beberapa pilihan, semuanya bagus-bagus. Imas pilih yang ini karena terlihat paling sederhana di antara yang lain.”“Yang begini, paling sederhana?” Ibu menatapku seperti tak percaya, aku mengangguk.“Ini bahkan tiga kali lipat bagusnya dari undangan pernikahan Tetehmu waktu itu,” tandasnya lagi dengan mata kembali memandang selebaran undangan.“Jangan membandingkan begitu, Bu.” Aku mengingatkan.“Iya, Imas. Bukan niat Ibu mau membandingkan, tapi nggak menyangka saja, kalau anak Ibu bakalan punya suami dari keluarga yang … aduh, Gusti.” Ibu tak melanjutkan perkat
Untuk kali pertama, aku melihat seorang lelaki gagah itu menginjakkan kakinya ke atas lantai rumahku yang terbuat dari anyaman bambu. Tak bisa kubendung perasaan berdebar yang menguasai kalbu, rasanya masih tak percaya jika detik ini aku sudah resmi menyandang gelar sebagai seorang istri.Dari sudut mata, aku bisa melihat Pak Abidzar tengah kebingungan. Mungkin dia ragu harus bersikap bagaimana, atau mendudukkan tubuhnya di mana. Sementara di kamarku ini, tak ada kursi atau benda lain yang bisa disinggahi selain ranjang usang ini.“Silakan duduk, Pak.” Aku mempersilakan seraya beranjak dari ranjang.“Tidak apa-apa, terima kasih.” Dia menyahut, membuatku semakin merasa kikuk.“Duduk saja, Pak. Saya mau ke depan dulu, Bapak istirahat saja.” Aku mencoba meyakinkannya, berharap dia bisa menyingkirkan rasa risi atau sungkan yang tengah melanda.Pak Abidzar tak bersuara, tapi kini melangkah mendekati ranjang yang penuh dengan taburan bunga.“Saya keluar dulu ya, Pak. Mau saya ambilkan minum
Azzam POV Tak bisa aku menahan senyuman bahagia tatkala berbalas pesan dengan Imas, wanita yang sudah lama kukagumi.Beberapa tahun lalu, tepatnya sejak aku menjadi panitia MOS untuk anak-anak yang baru masuk ke Madrasah Aliyah, aku melihat Imas memakai topi berwarna biru tua, terbuat dari bola plastik yang dibelah, dimana itu semua adalah sebuah syarat bagi para calon siswa-siswi sekolah kami.Parasnya begitu menawan hati, matanya bulat menyejukkan, hidungnya tinggi, kulitnya kuning langsat, perawakannya tinggi namun tidak berlebihan. Namun, saat itu aku tak bisa mengetahui namanya karena name tag yang dia pakai terbalik.Sayangnya, saat Masa Orientasi Siswa berlanjut, aku hanya bisa hadir dua kali saja karena terserang demam berdarah dan diharuskan dirawat serta istirahat total. Lantas kembali masuk setelah masa pembelajaran di sekolah aktif kembali, dan tentu masa-masa MOS sudah berakhir.Sekilas memang aku melihat seorang Imas, tapi bayang-bayangnya selalui hadir di dalam mimpiku
Terhenyak hati ini saat mendapati Imas berada di tempat kerjaku. Mau apa dia? Apa mungkin berita perihal pernikahanku dengan Neneng sudah terdengar olehnya?Ternyata benar, tanpa basa-basi, dia menanyakan kebenaran hal itu padaku. Jujur saja, aku merasa iba, tapi mau bagaimana lagi? Perasaanku pada Neneng kian menggebu setiap harinya, bahkan munculnya Imas di hadapanku sekarang ini, membuatku tambah yakin, jika aku memang sudah jatuh cinta pada Neneng.Entah kenapa aku baru sadar, jika Imas tak secantik yang kukira. Pagi ini dia kelihatan kusam, tak menyenangkan seperti biasanya. Jauh sekali dengan Neneng di malam hari itu yang auranya sungguh menawan hati,Kecantikan Imas ibarat gunung yang menjulang tinggi. Indah bila dipandang dari kejauhan, namun tak seindah yang dibayangkan jika dilihat dari jarak dekat. Sementara selama ini, aku selalu melihat Imas dari jarak jauh.Berbeda dengan Neneng, wajahnya kalem tapi menggemaskan, lebih tepatnya tidak membosankan. Apa lagi tahi lalat di a
“Alhamdulillah, Kang …,” Suara Neneng masuk ke dalam telinga ini, namun aku memilih diam, rasa pening yang mendera membuatku enggan berkata apa pun.“Ayo, Kang. Minum dulu.”“Argh,” ucapku refleks saat hendak mendudukkan tubuh, dengan sigap Neneng membantu sampai akhirnya aku bisa bersandar pada bantal di belakang.“Bagaimana? Sudah enakan?” tanya Neneng saat aku sudah selesai meneguk air putih pemberiannya. Lekas aku mengangguk walau singkat.“Mana yang sakit, Kang?” Neneng bertanya seraya memegangi lenganku, tatapan lekatnya menyiratkan kekhawatiran yang dalam.“Nggak, sudah mendingan sekarang.” Aku menjawab sambil tersenyum.“Tapi apa yang sakit, Kang? Kepala? Perut? Atau apa? Akang sampai pingsan tadi,” katanya lagi, sekarang matanya terlihat berembun.“Iya, perut.”“Pantas saja tadi dokter bilang kalau asam lambung Akang naik,” sahutnya.“Dokter?”“Iya, barusan ada dokter yang meriksa keadaan Akang. Tadinya mau dibawa ke puskesmas, tapi ternyata Bapak sudah panggil dokter, makany