“Jangan banyak alasan, Om, dengan seolah-olah menjadi orang yang paling tersakiti.” Aku membuang muka memandang hamparan sawah yang mulai menguning.“Kalian sama-sama pengecut!” gumamku.“Kalian?” Om Bahri berbalik memandangku.Aku melemparkan sebuah foto usang berlaminating tebal kepada Om Bahri. Wajahnya seketika menegang dan tangannya gemetar tatkala ia mengambil dan memperhatikan foto itu dengan saksama. Dalam foto tersebut terlihat sepasang remaja berseragam putih abu tengah tersenyum dengan tangan yang bergandengan. Mata sang lelaki melirik pada wanita di sampingnya yang terlihat malu-malu.“Ya, kalian, asal anda tahu, masalah terbesar dalam keluargaku adalah mama tak pernah bisa melupakan cinta pertamanya. Bertahun-tahun menjalani rumah tangga, selama itu pula nama Bahri selalu saja terucap saat mama dan bapak bertengkar.”Mata Om Bahri membulat, wajah tembamnya yang biasanya terlihat garang, kini terlihat menciut. Ia berjalan perlahan menghampiriku yang tengah menatapnya tajam
Om Bahri terdiam sambil memeluk buku harian milik almarhum mama, sesekali ia menyeka matanya yang terlihat memerah. Walaupun tak sampai jatuh, tapi aku tahu lelaki paruh baya berwajah garang di hadapanku tengah menangis.“Apa anda menyesal?” tanyaku membuka suara.Om Bahri hanya bergeming, ia kembali membuka buku tersebut dan membacanya sekali lagi. Hingga aku melihat ia membuka halaman terakhir. “Aku sangat menyesal telah mencintaimu begitu dalam. Setelah dua puluh lima tahun sejak kita bertemu, akhirnya aku memutuskan menyerah. Mulai hari ini akan kuhabiskan sisa hidupku untuk mencintai suamiku, manusia paling tulus yang pernah kutemui.” Aku membacakan sebait tulisan di buku harian mama halaman terakhir. Om Bahri memandangku dengan tatapan lembut. Dilihat dari garis wajahnya, ia mungkin umurnya setara dengan Bapak atau mungkin lebih tua. Di usianya yang menjelang senja, Om Bahri seharusnya tengah berbahagia dengan keluarganya. Melihat anak-anaknya menikah dan bermain dengan cucu-c
ANAK 50 JUTA“Stop, Mas! Dia bukan anakmu! Ayah anak ini sudah mati lima tahun yang lalu.” Kurebut erat Miko---anak lelakiku dari laki-laki yang akhir-akhir ini datang dan mengaku sebagai ayahnya.“Jangan bohong kamu, Anita! Dia bahkan sangat mirip denganku,” ucap Mas Rafi.“Dasar tak tau malu! Bukankah dulu statusmu sudah ditukar dengan uang 50 juta?” tegasku.“Lupakan masa lalu, Anita! Anak ini butuh seorang ayah.”“Tidak! Lebih baik kamu pulang, Mas! Jangan pernah ganggu kami lagi.”Kutinggalkan Mas Rafi yang masih berdiri di halaman rumah. Aku tak mau Miko semakin penasaran dengan sosok yang beberapa hari ini selalu mendatanginya.Setelah sekian lama menghilang, entah mengapa lelaki yang paling aku benci di dunia ini hadir kembali. Bak menabur garam pada luka yang belum kering, kedatangan Mas Rafi mau tak mau membuka kenangan pahit enam tahun yang lalu. Awal mula kehancuran hidupku.“Tadi itu siapa, Mbak?” tanya Ari---adikku.“Mas Rafi,” jawabku.“Jangan biarkan dia menemui Miko,
Pagi ini udara terasa begitu sejuk. Suasana khas pedesaan di hari minggu seperti sekarang ini membuat jalan sedikit sepi. Tak banyak kendaraan berlalu lalang. Terlihat beberapa orang sedang berolahraga ringan atau hanya berjalan-jalan untuk menikmati hari libur. Aku duduk terdiam di sebuah bangku di tepi lapangan desa. Kuperhatikan anak-anak yang sedang berlari kejar-kejaran. Aku melambaikan tangan pada seorang anak berbaju kuning, berkulit bersih dan rambut sedikit ikal di antara mereka. Di hanya membalas dengan senyuman dengan tangan membentuk hati. Ya dia Miko anak lima puluh jutaku.Aku benci dengan senyuman Miko yang selalu mengingatkanku pada Mas Rafi. Mengapa wajah mereka begitu mirip? Mata, hidung dan bibirnya tak ada beda sama sekali. “Eh, Anita lagi ngajak Miko jalan-jalan, ya?” sapa Bu Yati yang tiba-tiba datang bersama beberapa Ibu-ibu lainnya.“Eh, Iya, Bu!” jawabku sopan.“Kenapa Bapaknya enggak ikut, bukannya kemarin Bapaknya udah datang?” ucap Bu Yati.“Bapak siapa
"Ma, apa Ayah hidup lagi? Kok bisa ngirim banyak mainan," tanya Miko sambil asyik memainkan robot barunya. Aku terus saja sibuk dengan ponsel di tangan, pura-pura tak mendengar pertanyaan Miko. Anak seusia Miko memang sudah mulai tahu sebuah keluarga seharusnya terdiri dari Ayah, Ibu dan anak. Namun selama ini Ayahnya tak pernah hadir. Hanya Ari atau Rendi yang terkadang ia anggap sebagai ayah.Sejak awal memang aku sudah mengatakan jika Ayahnya telah meninggal namun setelah Mas Rafi beberapa kali datang dan sering mengiriminya mainan, Miko mulai bertanya lagi tentang keberadaan ayahnya.Sudah sering kali aku mengembalikan bahkan menolak kiriman-kiriman dari Mas Rafi. Tapi malah ia mengirimkannya kembali lewat sekolahnya. "Nak, besok kalo dapat hadiah lagi, Miko tolak, ya! Itu mainan dari orang jahat. Mama takut nanti Miko di culik," ucapku lembut pada Miko."Kalo yang nerima Bu Guru pasti bukan orang jahat, Ma!" jawabnya polos."Kan Bu Guru enggak kenal sama orang yang ngirim hadia
Kutinggalkan piring kotor yang baru dicuci separuh saat mendengar suara ketukan pintu. Aku bergegas keluar untuk membukakan pintu.“Sebentar,” teriakku saat suara ketukan terdengar semakin keras.“Aku mau ketemu Miko,” ucap Mas Rafi sesaat setelah pintu kubuka.“Miko enggak di rumah.” Kuhalangi Mas Rafi yang hendak masuk ke dalam rumah.“Ayah datang, Nak! Ini Ayah bawa mainan lagi,” teriaknya sambil mengedarkan pandangan ke segala penjuru rumah.“Miko enggak ada, Mas!” ucapku geram.Kudorong Mas Rafi dan segera kututup pintu. Aku mencoba untuk tidak bersuara terlalu keras karena takut Miko yang sedang tidur terbangun. Aku juga tidak ingin memancing kedatangan tetangga. “Kalo begitu aku tunggu di sini sampai Miko pulang!” Mas Rafi meletakan dua plastik besar di meja lalu duduk di kursi teras.“Aku kan udah bilang, jangan temui kami lagi.”“Semakin kamu melarang, aku akan semakin sering datang ke sini. Aku bisa saja menculik Miko, tapi aku enggak mau terkesan jahat di mata Miko,” anca
Sesampainya di rumah, segera aku masuk dan berlari ke kamar. Kubaringkan Miko yang sudah tertidur di atas ranjang, kututup pintu dan jendela lalu menguncinya.Setelah memastikan semuanya aman. Aku menjatuhkan tubuh di balik pintu. Kudongakkan kepala berusaha menahan air mata yang sedari tadi jatuh. “Ya Tuhan...!” gumamku pelanBeberapa kali kutarik nafas panjang lalu menghembuskannya kasar berharap bisa sedikit menenangkan hatiku, tapi semua itu gagal. Kututup mulutku agar tidak ada yang mendengar tangisanku.Akhirnya kulepaskan semua beban di dalam dada yang sedari tadi tertahan.Sejenak terlintas pertanyaan yang tadi aku dengar. “Anita, apa dia cucuku?” “Iya, Bu! Dia Miko cucu Ibu,” jawabku.“Maafkan kesalahan Ibu, Anita!” ucapnya tulus.“Aku sudah memaafkan semua kesalahan Ibu.”“Bolehkah aku memeluk Miko?” tanyanya ragu.“Tentu saja, Bu!” jawabku sambil menurunkan Miko dari gendonganku. “Sini, sayang! Ini nenek.” Ibu merentangkan tangannya.Miko perlahan berjalan ke arah Ibu.
Seperti biasa setiap pagi aku akan menyiapkan keperluan Miko dan mengantarnya sekolah terlebih dulu sebelum berangkat kerja. Sebagai Ibu tunggal aku harus bekerja keras untuk memenuhi segala keperluan Miko. Walaupun kadang aku merasa sangat lelah, tapi aku harus bertahan. Kadang aku merasa iri setiap aku melihat teman-temanku yang telah menikah. Mereka mempunyai suami yang bisa menafkahi sekaligus menjadi teman untuk berkeluh kesah.“Mbak, apa Mas Rafi masih sering ke sini?” tanya Ari sambil mencomot gorengan yang baru saja kuangkat.“Enggak, Ri! Udah jarang sekarang,” jawabku.Kebetulan hari ini Ari libur kerja jadi kami bisa sarapan bersama. Bekerja di sebuah pusat perbelanjaan membuat Ari jarang mendapatkan jatah libur.“Duduk, Mbak! Aku mau ngomong sebentar.”“Mau ngomong apa?” “Sebelumnya aku minta maaf. Apa Mbak Nita masih mengharapkan Mas Rafi?” tanya Ari serius.“Kenapa kamu tanya begitu?”“Jangan pernah berpikir untuk kembali, Mbak! Aku enggak mau Mbak kecewa seperti dulu