“Apa aku masih punya kesempatan, Nit?” tanya Rendi yang saat ini tengah mengunjungi rumahku.
“Aku sudah bilang jangan tanyakan itu lagi,” bentakku.“Tapi sampai kapan, Nit?”“Entahlah, Ren!”Entah mengapa Rendi tiba-tiba berbicara serius seperti itu. Padahal ia mengaku datang ke sini hanya untuk menemui Miko. Tapi Miko malah di ajak teman-temannya main bola di halaman.Aku dan Rendi adalah sahabat sejak kecil. Hampir setiap hari kami bersekolah dan bermain bersama tentu saja dengan teman-teman yang lain. Tak ada yang spesial di antara kami selain hubungan pertemanan pada umumnya.Setelah lulus SMA, Rendi memutuskan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi di kota sebelah. Mulai saat itu hubungan kami semakin renggang. Hanya sesekali bertegur sapa lewat media sosial dan bertemu hanya ia libur atau saat hari raya.Rendi kembali ke rumah setelah ayahnya meninggal. Ia memutuskan untuk bekerja di sekitar sini agar bisa menemani Ibunya. Mulai saat itu kami mulai sering bertemu. Saat itu aku sedang hamil besar.Berbeda dengan beberapa temanku yang seolah menjauh setelah tahu kasus yang menimpaku saat itu. Rendi malah menunjukkan sikap peduli padaku. Awalnya kami hanya berhubungan lewat ponsel. Walaupun sangat jarang aku tanggapi, ia tetap saja mengirimiku pesan agar aku semangat menjalani hidup.Seiring berjalannya waktu, Rendi mulai berani menemuiku secara langsung. Kami semakin sering bertemu saat Miko mulai latihan berjalan, saat itu keadaanku sudah mulai stabil. Aku sudah mau mengajak Miko jika keluar rumah dan mulai berani berinteraksi dengan tetangga sekitar.Pada satu waktu Rendi mengutarakan niatnya untuk melamarku. Namun langsung kutolak karena takut Rendi tidak akan mau menerima Miko. Namun perkiraanku salah, semakin kesini malah Rendi semakin dekat dengan Miko. Ia bahkan berperan layaknya ayah untuk Miko.Hingga Rendi sudah beberapa kali melamarku namun tetap saja kutolak. Bayangan kelam masa lalu selalu membuatku takut untuk memulai suatu hubungan serius. Aku pernah bicara pada Rendi kalo aku memutuskan untuk tidak menikah. Aku akan menutup hatiku dari siapa pun dan hanya fokus pada Miko. “Jangan pernah mengharapkanku, Ren! Carilah wanita baik-baik untuk menjadi pendampingmu. Aku yakin di luar sana pasti banyak wanita menginginkanmu,” lirihku.“Apa perhatianku selama ini kurang untuk meyakinkan bahwa aku hanya serius sama kamu? Apa aku belum layak menjadi ayah buat Miko?”“Bukan seperti itu, Ren! Banyak hal yang harus di pikirkan dalam membangun sebuah keluarga,” Jelasku.“Walaupun aku enggak sebanding dengan Rafi, tapi aku akan berusaha membahagiakan kamu dan Miko.”“Jangan pernah menyebut nama itu lagi, Ren! Perkataanmu sudah jelas menandakan bahwa masa lalu yang buruk akan selalu melekat padaku. Yang pasti akan menjadi masalah suatu saat nanti.”“Maaf, Nit!” ucapnya sambil berlalu pergi.“Maaf, Ren! Kamu terlalu baik untuk aku yang kotor,” batinku.**"Ayah...!" teriak Miko."Berhenti, Miko!" Aku berusaha memegangi Miko yang hendak berlari mengejar seseorang.Ia menunjuk seorang lelaki yang sedang berjalan bersama seorang wanita di sebuah toko pakaian. Aku dan Miko sedang mengunjungi pusat perbelanjaan untuk membeli keperluan Miko."Itu bukan Ayah, Nak!" "Dia Ayah Miko, Ma! Dia yang sering datang kerumah kan, Ma? Dia juga pernah kasih Miko mainan di sekolah.""Mungkin Miko salah liat, Kita beli ayam krispi, yuk?" Kuseret Miko agar berhenti mengejar orang itu.Aku tahu Miko pasti melihat Mas Rafi tadi. Miko memang masih mengira Mas Rafi itu ayahnya. Selain karena sering datang dan selalu mengaku sebagai ayahnya. Ia juga banyak mendengar dari beberapa tetangga yang memberi tahu kalo Mas Rafi adalah ayahnya.Aku berjalan cepat agar Mas Rafi tidak melihat kami karena akan menjadi masalah jika ia tahu kami juga sedang berada di sini."Miko...!" Berteriak lagi saat tau Miko melepaskan tanganku dan kembali mengejar Mas Rafi.Suasana yang cukup ramai membuatku sulit untuk mengejar Miko."Ayah...!""Hay, sayang! Kamu cari siapa?" sapa wanita itu pada Miko.Segera aku mendekat dan menggendong Miko."Maaf, Bu! Dia mengira Bapak ini Ayahnya," ucapku sopan."Oh, iya enggak apa-apa. Kamu namanya siapa, Nak?" tanyanya sembari mengelus rambut Miko."Miko, Tante!" jawab Miko .Mataku beralih melirik lelaki di sebelahnya. Ternyata benar itu Mas Rafi, dan ini pasti istrinya. Kuperhatikan wanita itu yang masih saja bertanya pada Miko. Cantik dan terlihat berkelas, tapi sayang nasibnya buruk karena mempunyai suami seperti Mas Rafi. Kembali kualihkan pandangan ke arah Mas Rafi yang terlihat pura-pura sibuk. Seperti dugaanku, pasti dia pura-pura tak mengenal aku dan Miko di depan istrinya.Dasat manusia picik! Pasti istrinya tidak tahu kalo sekarang Mas Rafi sering mengunjungi aku dan Miko. Aku juga yakin kalo dia tak tahu kalo Miko adalah anak Mas Rafi"Memangnya ayahnya Miko dimana, Nak?" tanya wanita itu pada Miko."Ayah Miko sudah meninggal, Bu!" jawabku.Mas Rafi yang sedari tadi menunduk langsung menoleh ke arahku, wajahnya mengekspresikan rasa tidak terima dengan jawabku. "Maaf, Bu! Saya tidak bermaksud...” “Engga apa-apa, Bu! Kalo begitu kami permisi dulu,” pamitku sambil berjalan meninggalkan Mas Rafi dan istrinya.“Tunggu, Bu! Bolehkah saya mengajak Miko untuk makan bersama? Dengan Ibu juga maksudnya,” ajaknya.“Tidak usah repot-repot, Bu! Kami harus segera pulang,” tolakku.“Kita juga harus segera pulang, sayang! Aku ada pertemuan satu jam lagi,” sahut Mas Rafi.Aku memutar bola mata malas mendengar perkataan Mas Rafi. Katanya enggak cinta tapi panggilannya ‘sayang’. Dasar buaya!“Kalo gitu, Mas pulang dulu aja. Aku mau makan sama Miko dulu. Miko mau makan sama tante, kan?” “Mau, Tante!” jawab Miko bersemangat. “Makan ayam krispi ya, Tante!” imbuhnya.“Boleh...” “Miko, Omnya lagi sibuk. Miko makan sama mama aja, ya!” Aku mencoba memberi pengertian pada Miko.“Cuma suami saya yang sibuk, Bu! Kalo saya lagi enggak ada acara. Oh iya kita belum kenalan. Saya Silvi dan ini suami saya Rafi,” ucapnya sambil mengulurkan tangan memperkenalkan diri.“Saya Anita, Bu!” Aku membalas uluran tangan Bu Silvi, kemudian mengulurkan tangan ke arah Mas Rafi. Untuk sesaat pandangan mata kami bertemu. Wajahnya menyiratkan kekesalan padaku. “Rafi,” ucapnya, menjabat tanganku singkat.Entah kebetulan atau memang takdir yang mengatur pertemuan ini. Yang jelas ini akan menjadi langkah pertama untuk melakukan semua rencanaku. Saat ini kami tengah duduk di sebuah restoran cepat saji. Akhirnya Mas Rafi juga ikut bersama kami. Mungkin saja dia takut aku bicara macam-macam jika dibiarkan bersama istrinya.Sembari menunggu makanan yang di pesan, aku dan istri Mas Rafi mengobrol ringan sembari bercanda dengan Miko. Silvi ternyata orangnya sangat supel sehingga kami cepat akrab. Dia juga melarangku memanggil ‘Bu’ karena usia kami memang tak terpaut jauh. Mas Rafi yang duduk tepat di depanku hanya diam sambil memainkan ponsel.“Makan es krimnya pelan-pelan, Nak!” ucapku pada Miko sambil mengelap lelehan es krim di pipinya. Aku sengaja memesankan Miko es krim terlebih dulu aga ia tidak berbicara macam-macam tentang Rafi.“Miko, foto sama tante, yuk!” ajak Silvi pada Miko.Miko mendekat, lalu mereka berfoto dengan beberapa pose. “Mas, liat deh! Kalo di perhatikan Miko mirip kamu waktu kecil,” ucap Silvi sambil menunjukkan ponselnya.Aku yang sedang menikmati minumanku seketika terbatuk mendengar pengakuan Silvi. Aku memandang mereka berdua sembari menahan nafas menunggu jawaban Mas Rafi.Bisa gagal rencanaku bila semua terbongkar secepat ini.“Mirip dari mananya? Orang beda gini, kok!” kata Mas Rafi cuek lalu kembali sibuk dengan ponselnya. “Jelas beda dong, Tante! Miko kan item beda sama Omnya!” candaku. Aku mencoba ikut berbicara agar Silvi tidak terlalu memperhatikan kemiripan Miko dan Mas Rafi. Sembari makan, kami berbicara banyak hal. Silvi juga menanyakan tentang kehidupanku sepeninggal ayah Miko. Akhirnya aku sedikit bercerita, tentu saja tidak termasuk Mas Rafi di dalamnya. Sebenarnya aku hanya ingin memberi sedikit pelajaran untuk Mas Rafi. Biar dia tahu rasanya tak di anggap.“Terima kasih atas semuanya, Mbak! Kami pulang dulu.” Aku berpamitan setelah selesai makan. “Bilang terima kasih sama tante, Nak!” perintahku pada Miko. "Terima kasih, Tante! Miko pulang dulu," ucap Miko sambil mencium tangan Mbak Silvi. Mbak Silvi menyejajarkan tubuhnya dengan Miko lalu memeluk Miko. Aku terharu melihat perlakuan Mbak Silvi, pasti dia sangat merindukan seorang anak dalam hidupnya. Tadi ia bercerita sangat menyukai anak
[Selamat malam, apa benar ini nomornya Mbak Anita, Mamanya Miko. Ini Silvi, Mbak.]Aku kaget saat membaca sebuah pesan yang baru saja masuk. Dari mana Mbak Silvi tahu nomor ponselku? Apa dia juga ikut bersekongkol dengan Mas Rafi dan Bu Fitri? Kalo iya, berarti aku yang tertipu kemarin.[Benar, Mbak! Ini Mamanya Miko. Mbak kok bisa tau nomorku?]Balasku dengan ragu-ragu. Aku penasaran apa tujuan Mbak Silvi menghubungiku.[Kemarin aku ke tempat kerja Mbak Anita, tapi Mbak sudah pulang, makanya aku minta nomor Mbak sama temennya.]Aku lega membaca balasan yang Mbak Silvi kirim. Semoga saja semua itu benar. Aku memang sempat memberi tahu tempat kerjaku kemarin saat kami bertemu.[Mbak, bolehkan aku ketemu Miko lagi?]Sebuah pesan dari Mbak Silvi masuk lagi[Tentu saja, Mbak boleh]Akhirnya kami janji akan bertemu besok minggu di sebuah taman kota. Aku juga memintanya untuk tak mengajak Mas Rafi dengan alasan agar Miko tidak salah paham lagi. Dan Mbak Silvi pun menyetujuinya.Sebenarnya
“Eh, Nita! Jadi orang penting sekarang kamu, ya! Tiap hari ada yang nyariin, bermobil pula,” kata Bu Yati yang tiba-tiba datang ke rumah.Aku yang sedang sibuk menjemur pakaian hanya melirik sekilas tak berniat menanggapi. Pasti Bu Yati akan mengataiku macam-macam seperti biasanya. Dia memang seperti CCTV yang selalu memata-mataiku. Tidak ada satu pun kejadian di rumahku yang tidak diketahui Bu Yati. Dan itu sudah terjadi sejak aku hamil Miko dulu. Sampai sekarang dia masih saja setia dengan pekerjaan itu. Padahal kalo dipikir-pikir semua itu enggak ada untungnya buat dia. “Heh, ditanyain malah diem aja,” bentak Bu Yati yang sadar aku tak menanggapinya.“Oh, Bu Yati tanya, ya! Emm... memangnya kenapa kalo banyak yang nyariin, Bu? Yang penting bukan buat nagih utang,” jawabku tanpa menoleh.“Udah kasih aja si Miko sama mereka. Toh nanti kamu bakal di kasih duit banyak. Jangan ngimpi lagi dapet bapaknya Miko, nanti di buang lagi baru tau rasa.”“Nanti kalo aku banyak duit, Bu Yati kepa
“Langsung saja, Mas! Enggak usah basa-basi,” jawabku sambil menyeruput sedikit minuman di depanku.Walaupun terpaksa sore ini aku memenuhi undangan Mas Rafi untuk bertemu. Aku tak mau Mas Rafi bertindak macam-macam apalagi sampai menculik Miko. “Silvi sudah mengetahui semuanya, bahkan sudah sejak lama,” kata Mas Rafi pelan.“Aku sudah tau soal itu. Aku rasa dia bukan wanita bodoh yang enggak mau tahu masa lalu suaminya.”“Dia memintaku menjauhimu dan Miko”“Harusnya kalian memang jauh-jauh dari kami.” “Aku enggak mau melakukan kesalahan yang kedua. Aku tak akan melepas kamu dan Miko lagi.”Mas Rafi berusaha meraih tanganku, tapi dengan cepat aku melepasnya.“Kalo begitu kamu sudah punya rencana apa, Mas?" tanyaku.“Belum tahu, yang jelas mulai sekarang aku akan berusaha untuk bisa bersama kamu dan Miko.” “Kamu yakin sudah mempunyai keberanian untuk menentang keluargamu dan istrimu?”“Pasti," jawabnya mantap.“Kalo begitu nikahi aku secara resmi. Kamu tahu syarat pernikahan kedua s
“Terima uang 50 juta ini. Kalian tidak bisa menikah.”Bak disambar petir, tubuhku seketika kaku mendengar perkataan wanita yang sekarang duduk di hadapanku yang tak lain adalah Ibunya Mas Rafi. Nafasku terasa begitu sesak hingga mulutku terasa kaku dan tak bisa mengeluarkan kata. Sejenak aku hanya terdiam. Apa dia bilang? Tak ada pernikahan? Otakku mulai mencerna kata-kata yang baru saja di dengar. Perlahan mataku mulai mengembun.“Ma...maksudnya bagaimana ya, Bu?” Dengan bibir bergetar aku memberanikan diri bertanya. Kuarahkan pandangan ke arah Mas Rafi yang duduk di sebelah Ibunya, berharap mendapatkan penjelasan, namun saat pandangan mata kami bertemu, ia malah menunduk. Bukankah kami di sini berencana membicarakan pernikahanku dengan Mas Rafi. Tapi mengapa malah berubah? Apa ini bagian dari prank yang Mas Rafi buat untuk mengerjaiku? Ah, banyak pertanyaan-pertanyaan tak jelas yang memenuhi otakku saat ini.“Rafi tidak bisa menikahimu.”“La...lalu bagaimana dengan anak ini?” tany
Perkenalanku dengan Mas Rafi dimulai saat motornya tak sengaja menyerempet motorku di depan kampus. Aku yang notabene dikenal sebagai mahasiswi urakan saat itu, tentu saja langsung marah-marah tak terima dan meminta ganti rugi. Karena kerusakan motor cukup parah, aku dan Mas Rafi jadi sering bertemu untuk membicarakan masalah itu. Walaupun Mas Rafi sempat menawarkan untuk mengganti motorku dengan yang baru, tapi aku menolak karena motor itu adalah motor peninggalan Ibu yang menurutku memiliki nilai sejarah yang tak bisa digantikan.“Heh, cewe aneh! Gara-gara ngurusin motor bututmu ini, aku diputusin pacarku,” kata Mas Rafi sambil menendang motor yang baru keluar dari bengkel ini.“Itu bukan urusanku ya, Mas!” jawabku cuek.“Jelas itu urusan kamu dong! Aku dituduh selingkuh gara-gara sering ketemu dan di telepon kamu.”“Kan aku telepon buat tanya motor, bukan ngerayu kamu. Palingan pacar kamu yang udah bosen sama kamu, jadi bikin alesan enggak jelas kayak gitu.”Memang sebulan ini aku
“Sopirmu udah nungguin tuh!” ucap Devi teman satu kosku.“Aku duluan, ya! Aku Pamit pada semua teman yang sedang berjalan bersamaku.“cie ... cie ... nempel teroos!” ledek Devi yang disambut oleh siulan beberapa temanku.Aku segera menghampiri Mas Rafi yang sudah bersiap di atas motor. Setelah memakai helm yang di berikan Mas Rafi, aku langsung naik dan melingkarkan tanganku ke pinggang Mas Rafi.“Siap?” tanya Mas Rafi sambil menghidupkan motornya.“Iya.”Mas Rafi segera melajukan motornya perlahan. Seperti biasa Mas Rafi akan mengajak makan sebelum mengantarkanku pulang ke tempat kos. Ramai suasana jalan khas sore hari membuat motor berjalan sedikit pelan. Aku mengeratkan pelukan dan meletakkan kepalaku di bahu Mas Rafi menikmati udara sore yang begitu dingin karena cuaca sedikit mendung. Walaupun hatiku sedikit ragu setelah bertemu keluarga Mas Rafi, pada nyatanya hubungan kami tetap berjalan seperti biasa. Bahkan saat ini kami sudah tak segan lagi mengumbar kemesraan di depan umum
“Dasar pelakor, bisa-bisanya kamu minta di nikahi Mas Rafi!” Aku menjauhkan ponsel dari telinga saat mendengar suara keras Mbak Silvi di seberang sana. Dari nada bicaranya dia pasti dalam keadaan sangat marah.“Mau gimana lagi, Mbak! Orang Mas Rafi ngejar-ngejar aku terus. Aku jadi kasihan dong,” jawabku dengan nada sombong.“Kan aku udah bilang sama kamu kemarin, jauhi Mas Rafi. Bilang aja kamu pengen apa, pasti aku kasih kok.”“Tapi aku pengennya menikah sama Mas Rafi, Mbak! Lagian kan Mbak enggak bisa kasih anak, kalo enggak nikah sama aku bisa saja dia nikah sama yang lain.”“Gila kamu, ya!” “Aku waras, Mbak! Kan aku masih baik sama Mbak, jadi Cuma minta jadi istri kedua bukan istri satu-satunya.” Aku segera mengakhiri panggilan dan kembali melempar ponselku ke atas ranjang.Aku harus mulai terbiasa dengan keadaan seperti ini jika nanti aku benar-benar menikah dengan Mas Rafi. Aku sadar tidak ada wanita yang benar-benar ikhlas jika suaminya menikah lagi. Tapi mau bagaimana lagi,