Aku Bukan Menantu ImpianPart 46. Cobaan belum berakhir.Sebulan semenjak pulang dari rumah sakit, kondisi Fara kian membaik. Meski begitu, Andi tak mengijinkan Fara melakukan hal hal yang tak terlalu penting. Meski di bilang berlebihan Andi tak perduli. Baginya keselamatan istri dan calon bayinya, adalah segalanya.Mengingat hampir seluruh tabungannya habis untuk biaya rumah sakit kemarin, Andi merasa harus mencari jalan keluar.Enam bulan lagi, Fara akan melahirkan. Itu artinya masih ada enam bulan lagi untuk mengumpulkan uang.Masih ada waktu, bisiknya.Tapi Fara menyadari kegelisahan yang di rasakan suaminya. Ia tau tabungan suaminya hampir tak tersisa untuk biaya rumah sakit kemarin. Belum lagi, Fara harus kontrol kehamilan setiap bulan. Susu hamil dan vitamin yang harganya juga tak murah, harus harus di beli.Fara merasa, harus membantu kesulitan yang di rasakan suaminya.Siang dan malam Fara berdoa agar ia menemukan jalan keluar untuk keluar dari masalah keuangan. Tiba-tiba pon
Aku Bukan Menantu ImpianPart 47. Bukan sakit biasa.Bang Rajak menangkap tubuh Andi sebelum tubuh itu menyentuh lantai."Istighfar, Mas," bisik bang Rajak.Terdengar Andi mengucap istighfar beberapa kali.Bang Rajak menuntunnya duduk di bangku panjang yang tersedia. Bang Rajak juga memberikan sebotol air minerali. Setelah meminumnya beberapa teguk. Andi nampak lebih tenang. "Maafkan saya, ya Mas," suara bang Rajak lirih penuh khawatir."Kenapa Abang yang harus minta maaf?" tanya Andi."Tadi Mbak Fara minta saya, mengantarkan ke desa Pandansar, kerumah orangtuanya. Sebenarnya saya mau telfon mas Andi, saya ingin minta persetujuan. Tapi mbak Fara melarang. Katanya dia cuma sebentar, saya terpaksa mengantarkan. Di lampu merah, ketika motor saya berhenti tiba-tiba ada mobil menabrak kami dari belakang. Rupanya mobil itu mengalami rem blong, dan sekarang sudah di kantor polisi. sekarang sudah ada di kantor polisi, kami terpental dan maafkan saya ,Mas. Rupanya mbak Fara keguguran,"" Su
Aku Bukan Menantu ImpianPart 48. DilemaUrusan dikantor polisi sudah selesai. Pemobil yang menabrak Fara sudah minta maaf dan bertanggung jawab atas semua biaya pengobatan Fara dan bang Rajak. Andi tak menuntut di jalur hukum karena ia tau kecelakaan itu tak ada yang menginginkan.Telah seminggu lamanya, Andi mengantarkan Fara kerumah orangtuanya. Tak sekalipun Andi menjenguk istrinya, apalagi menelfonnya.Dengan tak menghubungi Fara di harap ia akan lebih tenang. Nyatanya tidak. Ia sendiri telah memaafkan penabrak istrinya. Tapi kenapa berat untuk memaafkan Fara. Kenyataannya Fara yang sakit. Fara yang terluka, tapi justru dia yang di salahkan. Apalagi, ibunya begitu menginginkan ia dan Fara berpisah. Pasti Fara akan lebih terluka lagi bila mendengar ucapan Ibunya."Istrimu itu, tipe pembangkang. Jadi untuk apa di teruskan." komentar ibunya. "Lebih baik akhiri semua di sini,"Andi menatap tajam sang ibu. Walau sangat marah pada Fara, ia tak ingin mendengar ucapan buruk tentangnya.
Aku Bukan Menantu ImpianPart 49. KeriduanRidwan dan Yani kedua orang tua Fara, tak ingin terlalu ikut campur akan urusan rumah tangga anaknya. Walaupun mereka agak menyesali Andi yang tak jua menjenguk istrinya, padahal ia tau, Fara sedang tidak baik-baik saja. Fara baru keluar rumah sakit, karena keguguran. kedua orangtua Fara tak menyangka Andi menantunya yang selama ini sangat di banggakan, tega berbuat begitu. Bahkan beberapa kali, Fara minta untuk di antar kerumah suaminya. Tapi mereka menolak, dengan alasan menunggu sampai Fara sembuh."Kak Fara nggak akan pulang selain di jemput suaminya," tekan Novi. "Ya,,, tapi jangan terlalu keras pada kakakmu." uap Yani pada anaknya."Kia punya harga diri, Ma. Ketika Kak Andi yang mengantar kemari pantang bagi kita untuk mengantarkan kak Fara pulang kesana. Kak Fara itu berharga bagi kita. Bukan barang murah yang di lempar kesana kemari," nampak Fara begitu emosi.Ketiga orang itu, begitu prihatin akan keadaan Fara yang sudah beberapa
AKU BUKAN MENANTU IMPIANPart 1. Mertua dan iparku.Walau tinggal berjauhan, aku masih sering mendengar keluh kesah ibu mertuaku. Kami merantau ke Jakarta, sedang mertua tinggal dikampung halaman. Ia selalu berkabar pada suamiku tentang tingkah polah anak perempuannya atau biasa kusebut adik ipar. Anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan di antara empat saudara. Setetelah menikah dan punya seorang anak, dan masih tinggal di rumah orangtua. "Suaminya itu malas banget. Kerjaannya main burung melulu. Nggak mikir cari uang, nggak mikir cari makan buat anak istri. Boro-boro ngasih uang buat orang tua, buat diri sendiri juga nggak mampu,"curhatnya pada suamiku via telfon."Makan darimana dia Bu kalo ngga kerja?" tanya mas Ridwan."Ya dari ibulah. Laki pemalas gitu kok di belain terus!"cerocos ibu mertua."Padahal udah ibu suruh pisah aja. Mumpung anak baru satu."Ya begitulah. Setiap hari kudengar keluhannya. Tak pernah ada kabar indah dari bibir wanita itu, walau hanya sekata. Bukankah y
Aku Bukan Menantu ImpianPart 2.Mertua ku ternyata matre.Akhirnya, di sini lah, di kampung halaman suamiku, di rumah ibu mertuaku.Aku dan kedua anakku di boyong suami ke kampungnya. Bermodal sedikit uang yang masih tersisa, kami ingin membangun kehidupan yang mungkin lebih layak.Mulanya, ibu mertua begitu antusias menerima kedatangan kami. Mungkin karena selama ini hidup seorang diri di rumahnya yang luas itu. Mungkin juga karena tak mampu menahan rasa sepi di kehidupannya yang memang telah senja.Banyak senyum dan tawa kita lalui. Aku sedikit mampu melupakan rasa keterpurukan ku. Aku bersyukur mempunyai mertua seperti dia."Kerasan tinggal di sini Mba?" tanya Mira tetangga depan rumah."Kerasan lah Mir, mau ngapain lagi," jawabku."Mertua Mba Yani ini kan aduhai," timpalnya sambil melirik Dewi, saudara sepupu Mas Ridwan.Keduanya tersenyum kecut, sambil menoleh ke arahku."Emang kenapa sih?" aku sedikit penasaran dengan ucapan mereka, ditambah raut wajah aneh mereka."Nanti Mba Ya
Aku Bukan Menantu Impianpart 3. Perdamaian yang hanya berjalan tiga bulan."Fara, kamu bawa uang tiga ribu aja ya," ucapku pagi itu ketika mereka akan berangkat sekolah." Ini tinggal dua ribu untuk adik mu."Fara tidak menjawab, hanya saja mukanya masam dan ditekuk."Iya dah, Fara pergi, Assalamualaikum," pamitnya."Waalaikumsalam," jawabku.Fara berangkat sekolah di antar Mas Ridwan, dengan motor butut, harta peninggalan kami yang tersisa.Sementara si bontot sekolah dengan jalan kaki setelah aku beri uang jajan dua ribu rupiah, sekolahnya dekat.Aku pandangi kepergiannya. Lima ribu rupiah memberi kehidupan dan cerita tersendiri dalam hidup baru kami. Aku masih ingat sisa uang 15 ribu yang di pegang Ibu. Mungkin ibu sudah tak mengingatnya lagi.****Beberapa hari, aku berpikir keras. Aku tidak tega melihat anak anakku. Untuk mendapatkan uang jajan ke sekolah pun sangat sulit. Hingga aku berpikir untuk membuka kembali usaha salonku yang kebetulan alat alatnya masih lengkap. Aku ingi
Aku Bukan Menantu ImpianPart 4.Awal Corona.Suamiku mendapat pekerjaan merupakan kabar yang menggembirakan bagiku. Setidaknya ada sedikit harapan untuk membayar utang bank tiap bulannya, juga untuk ongkos sekolah kedua anakku, dan untuk kami makan sehari hari.Beberapa bulan kemudian memang mas Ridwan kerja di kandang ayam seperti yang telah di katakan padaku. Sementara aku masih tetap menekuni usahaku buka salon potong rambut.Usaha kecil kecilan.Kadang ada langganan datang satu atau dua orang.Tapi kadang tak satupun yang datang. Bahkan sampai berhari-hari.Tak apalah.Namanya juga baru buka usaha, apalagi di tempat yang baru juga.Cobaan belum selesai. Wabah Corona datang menimpa seluruh penjuru dunia. Usaha kandang ayam di mana suami ku bekerja tutup. Katanya untuk sementara waktu saja. Karena ayam hasil panen tak bisa terjual ke luar daerah, akibat PPKM. Akhirnya merugi. Hasil panen di jual dengan harga yang sangat murah untuk menutupi biaya operasional. Itupun tidak tertutup sem