"Ridho, kita mau ke mana?" tanya Nindi sambil menatap Ridho yang sedang fokus menyetir.Ridho menoleh pada Mamanya sekilas seraya tersenyum."Kita akan pulang, Ma," jawab Ridho dengan suara lembut."Akhirnya kita mau pulang," ucap Mamanya dengan senyum lebar, mirip seperti anak kecil yang akan diajak ke tempat rekreasi.Ridho terdiam melihat ekspresi Mama angkatnya itu. Hatinya tiba-tiba kembali bimbang. Apa dia benar-benar harus melakukan hal ini?Lamunannya buyar ketika gawainya berdering. Dia mengambil headset dan memasangnya di telinga."Bagaimana? Kau sudah bersama dia?" terdengar suara Merly dari seberang telepon.Ridho tak langsung menjawab. Dia melirik ke arah Mamanya yang matanya antusias memperhatikan jalan."Iya, sekarang aku bersamanya," jawabnya kemudian dengan suara berat."Bagus, bawa dia ke tempat yang sudah aku tunjukkan.""Baik," jawab Ridho lirih.Merly menutup teleponnya seraya tersenyum miring, lalu menghubungi lagi seseorang. Rencananya kali ini harus berjalan mu
Suara sirine mobil ambulans memenuhi pelataran rumah sakit. Para petugas menurunkan Ara yang terbaring tak sadarkan diri di atas tandu, lalu secepatnya melarikannya ke ruang IGD.Nindi dan Ridho berlari mengikuti para petugas itu sampai benar-benar masuk ke dalam ruangan berpintu kaca besar itu. Mereka dengan cemas menunggu di luar ruangan.Dokter Lutfi berlari dengan gugup menuju ke arah ruangan itu."Dokter, tolong selamatkan putriku Dokter!" ucap Nindi begitu melihat Dokter Lutfi.Dokter Lutfi mengangguk, lalu lalu bergegas memasuki ruang IGD."Mama ingat tentang Ara?" tanya Ridho sambil menatap heran pada Mamanya."Gadis itu selalu bicara padaku, menceritakan tentang masa kecilnya, dan dia mengaku sebagai putriku," ucap Nindi sambil membalas tatapan Ridho. "Apa benar dia putriku, Ridho?"Ridho mengangguk cepat. Nindi seketika membulatkan mata."Jadi, Hermawan sudah mengambil bayiku?" tanyanya dengan nada suara bergetar.Ridho mengangguk lagi."Ingatan Mama sudah kembali?" tanya Ri
"Lancang kamu, Evelin! Berani sekali kamu membela mereka dan melawan orang tuamu sendiri!" ucap Merly murka."Sudahlah, Ma, Pa, kalian menyerahlah," ucap Evelin memohon. "Semua ini bukan milik kita. Kita harus mengembalikannya pada yang berhak, lalu mempertanggung jawabkan apa yang sudah kita lakukan!""Diam kamu, Evelin!" bentak Mamanya itu."Dengar, semuanya! Mereka semua hanya pendusta! Mereka bersekongkol! Mereka bicara tanpa bukti!" ucapnya dengan penuh emosi."Kami punya buktinya!"Semua orang menoleh. Dokter Lutfi masuk sambil mendorong Ara yang duduk di atas kursi roda. Ara memperlihatkan dokumen di tangannya pada semua orang. Wajah Hermawan dan Merly seketika memucat."Perusahaan ini milik orang ayah saya, Hasanudin!" ucap Ara lantang. "Mereka dengan sengaja ingin menghabisi nyawa saya sebagai pewaris tunggal perusahaan ini!"Para tamu undangan tampak begitu terkejut, hingga suasana sedikit gaduh."Dokter Lutfi! Rupanya kamu berkhianat! Anda lupa, jika kulaporkan perbuatanmu
"Katakan padaku dengan jujur, Ara. Apa kamu mencintai Lutfi?"Ara hanya menelan saliva, tak mampu menjawab."Jawab, Ara. Jawabanmu sangat berarti bagiku," ucap Dokter Maya lagi."Aku tidak mau jadi perusak hubungan kalian, Dokter," jawab Ara lirih."Itu artinya kau benar-benar mencintainya."Ara diam tak menjawab. Dia hanya bisa menunduk. Dokter Maya memegang kedua tangan Ara dengan kedua tangannya."Dengarkan aku, Ara," ucapnya. "Kalian saling mencintai, jadi jangan biarkan dia pergi."Ara mengangkat wajahnya, lalu menatap Dokter Maya heran."Kenapa Dokter bicara seperti itu?" tanyanya."Lutfi setuju untuk menikahiku karena ingin menolongmu," ucap Dokter Maya lagi. "Orang tuanya mau membantunya untuk hal itu."Mata Ara membulat karena terkejut, tapi sesaat kemudian dia membuang napas lega."Syukurlah, ternyata dugaanku salah," ucap Ara tak bisa menahan air mata."Ara ... ?""Kupikir dia menderita karena terlalu banyak menolongku. Aku takut dia ingin pergi dariku karena tidak mau lagi
Aku perlahan membuka mata ketika mencium bau bensin yang menyengat. Kupegang kepalaku terasa seperti baru saja dihantam oleh martil. Bisa kurasakan darah merembes dari balik jilbab yang kupakai. Seketika aku ingat baru saja mobilku kehilangan kendali dan terjatuh ke dalam jurang.Aku mengangkat tubuhku yang terasa amat nyeri. Kulihat Wati, rekan kantorku, tak sadarkan diri dengan darah mengalir dari kepala dan hidungnya."Wati! Wati!" aku menggoncang tubuhnya yang sudah tidak bergerak.Bau bensin semakin menyengat. Kalau aku tidak segera keluar, mobil ini bisa meledak. Aku menarik tubuhku keluar dari kaca depan mobil yang pecah, tanpa mempedulikan kulit tubuhku yang robek karena tergores pecahan. Aku harus hidup, itu yang pertama kali kupikirkan.Dengan susah payah akhirnya aku berhasil menyeret tubuhku keluar dari mobil. Tapi sudah terlambat. Percikan api terlihat dari sudut mobil yang ringsek itu, dan menyembur tepat ke wajahku.Aku menjerit kesakitan karena merasakan mukaku terbaka
Beberapa hari sudah berlalu sejak Dokter Lutfi menyelamatkanku dari kecelakaan maut itu. Meskipun aku tidak menceritakan semuanya, tapi kelihatannya dia benar-benar tulus ingin menolongku.Tubuhku berangsur pulih, kecuali beberapa luka bakar yang memang parah, terutama di wajahku. Rasa sakit yang menjalar ini sungguh tak sebanding dengan rasa sakit hati yang kurasakan, saat dikhianati pada malam pernikahan.Sementara itu, berita di televisi menyiarkan tepat tujuh hari meninggalnya Tiara Hermawan, yang sebenarnya adalah Wati yang mereka kuburkan atas namaku.Kulihat Mas Ridho memasang wajah sedih di depan kamera, lalu berkata, "Aku benar-benar tak menyangka akan kehilangan dia secepat ini."Apa kau benar-benar merasa kehilangan, Mas? Atau itu cuma acting saja, untuk menyembunyikan kebusukanmu?Bagaimanapun, aku harus pulang. Aku harus kembali ke tempat orang tuaku, sebelum mereka benar-benar menyerahkan semua harta mereka pada Mas Ridho."Bagaimana? Kau sudah siap berangkat ke kota bes
Evelin Hermawan. Ya, gadis cantik itu memakai nama keluargaku. Dia adalah sepupuku, yang yatim sejak kecil karena ayahnya meninggal. Orang tuaku mengangkatnya sebagai putri mereka karena aku tidak punya saudara.Dia orang yang paling keras menangis saat berada di pemakaman. Mungkinkah dia tega mengkhianatiku? Mungkinkah dia sama dengan Mas Ridho yang hanya beracting di depan kamera saja?Aku melihat dia bergelayut manja di lengan Mas Ridho, dan berjalan memasuki restoran tanpa menyadari aku memperhatikan mereka. Hatiku sakit, tapi aku berusaha menahannya.Dokter Lutfi menepuk pundakku, menyadarkanku dari lamunan. Sepertinya dia tahu apa yang kulihat. Wajah Mas Ridho sering muncul di televisi dan sosial media sejak berita tentang kematianku. Semua orang pasti mengenalnya. Mungkin itu sebabnya dia memilih restoran yang ada di ujung kota ini untuk makan bersama Evelin."Kau mau masuk?" tanyanya khawatir.Aku tersenyum getir, lalu mengangguk. Kami berjalan beriringan memasuki restoran itu
Aku perlahan membuka mataku, saat Dokter sudah selesai membuka perban di wajahku. Ragu-ragu kuangangkat cermin yang dari tadi kupegang.Mataku membulat, wajahku yang jauh berbeda dari sebelumnya. Mungkin orang akan berkata jauh lebih cantik dari Ara yang semua orang kenal. Tapi bagiku, wajah ini terasa sangat asing."Bagaimana?" tanya Dokter Lutfi sambil memperhatikanku.Aku menelan ludah, lalu menatapnya seraya tersenyum tipis."Mulai hari ini aku akan membiasakan diri dengan wajah ini," ucapku.Dokter Lutfi tampak membuang napas lega."Baguslah," ucapnya."Bagaimana keadaan Mamaku, Dokter?" tanyaku padanya."Syukurlah beliau hanya menderita stroke ringan, mungkin hari ini bisa pulang," jawab Dokter Lutfi.Aku terdiam dan berpikir. Aku harus bisa pergi ke rumah untuk menyelamatkan semua aset pribadiku. Tapi bagaimana caranya?"Apa rencanamu sekarang?" tanya Dokter Lutfi, membuyarkan lamunanku."Entahlah, aku masih memikirkannya," jawabku pelan.Dokter Lutfi membuang napas."Baiklah,