Sumpah Al-Qur'an (26)"Dek!" Panggilan Tacik membuatku terperanjat."Eh, biasa aja. Kenapa gitu?" tanya Tacik keheranan. Keningnya mengkerut.Aku salah tingkah dibuatnya. Kata 'nikah' tadi seolah terus menggema di telinga, suara-suara asing seakan saling bersahutan menyebut kata nikah. Aku malu dan juga gugup."Nikah?" Aku mengulang perkatannya. Tacik mengangguk masih dengan raut wajah bingung. "Kamu masih muda. Tacik aja yang sudah tua baru setahun lalu nikah, setelah menjanda sekitar sembilan bulan," terang Tacik, membuatku lagi-lagi membelalakkan mata. Kenyataan yang baru kuketahui. Mbak Tatik tak pernah bercerita sebelumnya mengenai keluarga Tacik ini.Aku berdehem pelan untuk sekadar menghilangkan rasa gugup. Entah kenapa, mendengar kata nikah membuatku salah tingkah. Sebelumnya, sama sekali tak pernah terpikirkan olehku masalah pernikahan. Yang ada dalam benak hanya bagaimana membesarkan anak-anak dengan baik, sesuai permintaan terakhir Mas Rahmat."Maaf, Tacik baru menikah?" t
Sumpah Al-Qur'an (27)Bu Ayu menunduk. Wajahnya tampak sayu. "Kakinya, kakinya kecocok paku, yang bengkak itu kena paku," sahut Bu Ayu lemah. Suaranya bergetar. Aku membelalakkan mata demi mendengar perkataannya."Hah?" Ibu-ibu yang lain menyahuti dengan serempak. Mulutnya membulat. Aku meneguk ludah membayangkan paku yang tertusuk di kaki Pak Bahul. Pastilah teramat nyeri. Sudah berminggu-minggu Pak Bahul hanya terkapar lemah, tak dapat berjalan.Aku memindai sekitar, Bu Ayu sendirian. Entah ke mana Adi dan adiknya. Bu Ayu terduduk di kursi panjang, matanya tampak mengembun. Ia terlihat begitu kalut.Ibu-ibu yang lain pun seketika terdiam, tak lagi banyak bertanya sebab tak ingin Bu Ayu semakin sedih. Ingin rasanya menjenguk ke dalam, tetapi perawat melarang. Katanya waktu kunjungan sudah habis.Bu Hamza dan yang lain terlihat saling berbisik. Menit kemudian, mereka bangkit serentak lalu pamit pada Bu Ayu. Aku termangu, bayangan Mas Rahmat waktu sakit kembali berputar dalam ingatan.
Sumpah Al-Qur'an (28)"As, jawab! Malah bengong aja! Ayolah, aku tahu kamu bod*h, tapi jangan tunjukkan kebod*hanmu itu di saat seperti ini. Cepat jawab pertanyaanku!" paksa Bu Ramlah dengan mata melotot.Kalimatnya tadi menghunus jantung. Sepele memang, tetapi menyakitkan. Bu Ramlah terang-tetangan menghinaku dengan sebutan bod*h.Aku memejamkan mata, lalu menarik napas dalam-dalam, setelahnya nengembuskan dengan kasar. Aku tidak boleh diam. Sabar bukan berarti harus diam saja ketika dihina. Aku manusia, memiliki harga diri. Walau aku sendiri tak yakin akan keutuhan harga diriku, setelah berbulan-bulan hanya diam ketika dihina dan diperlakukan dengan sedemikian buruk."Berhenti menyebut saya bod*h, Bu! Saya akan jelaskan bila Ibu bertanya dengan baik. Bukan seperti ini caranya!" bantahku datar. Sama sekali tak meninggikan nada bicara.Mata Bu Ramlah melotot mendengar perlawananku. Ia menatapku lekat, aku tak mau kalah menatapnya penuh menantang. Ucapan Budhe kembali berdengung di tel
Sumpah Al-Qur'an (29)PoV ; Bu Ayu***Aarrgh!Erangan di arah dapur membuatku yang tengah asik menonton film langganan di televisi terperanjat. Aku lekas beranjak menuju dapur, mengingat suamiku yang tak bisa berjalan normal itu di sana. Ia kubiarkan mengesot dengan kaki membujur untuk ke kamar mandi. Langkahku terhenti melihat Mas Bahul dalam posisi tengkurap. Kakinya bergetar seiring erangannya yang kian memilukan. Aku kelimpungan, Adi kubiarkan bekerja setelah beberapa hari hanya diam di rumah untuk menjaga ayahnya itu. Sulungku itu bekerja di kota. Cukup jauh. Ia tak bisa sewaktu-waktu pulang untuk meninggalkan pekerjaannya. "Argghh ... A-ayu!" erang Mas Bahul tak henti. Suaranya seolah tertahan di kerongkongan, membuatku kian panik. Aku sendiri tidak cukup kuat untuk memapah tubuh kekar Mas Bahul. Biasanya dibantu Bahri, adiknya. Pertengkaranku dengan si Ramlah istrinya membuat kami berjarak. Aku sendiri tak sudi untuk meminta maaf. Dia sendiri yang tiba-tiba marah hanya kare
Sumpah Al-Qur'an (30)Hari menjelang sore. Setelah shalat Ashar, aku membeli dua nasi bungkus untukku dan Nisa. Aku menatap sedih pada anak cantikku itu. Bahkan sekolahnya tak sempat kuizinkan. Aku merutuki semua tetangga dan kerabat jauh yang sama sekali tidak peduli. Tidak ada yang menjenguk atau sekadar bertanya mengenai perkembangan Mas Bahul. Aku membatin dalam hati. Jika kelak mereka ada di posisiku, aku tak akan pernah membantu walau hanya sekecil biji sawi. Tak sudi!Ponsel berdering saat hendak menyuap nasi. Nama Adi muncul di layar ponsel. Lekas kujawab dan memburunya dengan pertanyaan."Kamu di mana, Le?""Jadi pulang, kan?" tanyaku menggebu."Aku di rumah, Bu. Sepi. Ibu di mana? Apa yang terjadi?" Ia melempar tanya. Aku dapat menangkap suaranya yang bergetar panik."Le, kamu ke rumah sakit sekarang, ya. Rumah sakit pusat Sahabat. Tetap hati-hati di jalan.""Memangnya ada apa, Bu? Tolong jelaskan!" Suara Adi meninggi. Aku tahu ia begitu karena panik. "Yang penting kamu se
Sumpah Al-Qur'an (31)PoV ; Bu Ayu"Bu ... hasil tes darah menunjukkan kadar gula pasien tinggi. Dugaan sementara, pasien terindikasi diabetes. Kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut lagi," terang dokter serius. Ia menyerahkan selembar kertas hasil lab yang sudah dua hari lalu dijanjikannya.Aku berdecak kesal sembari mengambil kertas yang ia sodorkan. "Duhh, Dok! Suami saya itu bukan type orang yang suka minum manis. Tiap hari dia minum teh tawar atau kopi pahit. Nggak mungkin diabetes. Dia juga nggak gemuk, turunannya semua sehat. Nggak usah mengada-ada, deh!" sahutku setelah membaca sekilas hasil lab. Lalu menghentakkannya dengan kasar di meja. "Hasil lab tidak bisa direkayasa, Bu! Berapa kali saya bilang, kami sudah bersumpah atas nama Al Qur'an untuk menjalani profesi dengan amanah!" balasnya tegas. Wajahnya tampak tak senang mendengar ucapanku.Aku membuang muka kesal. Benar juga ucapannya. Anehnya, bagaimana mungkin Mas Bahul diabetes, dia saja tidak suka apapun yang ma
Sumpah Al-Qur'an (32)PoV ; Bu Ayu."Lee ... Adi!" seruku saat Adi masuk. Wajahnya tampak letih. "Gagal lagi, Bu!" ujarnya lemah, lalu terdengar ia menghela napas kasar. Sejak kepulangan Mas Bahul empat hari lalu, kami mencoba mencari pengobatan alternatif, dukun, atau orang pintar sekali pun dengan bertanya pada orang terpercaya, atau mencari di internet. Namun, tak ada yang pas di hati Adi sampai detik ini. Bahkan hingga luka Mas Bahul kini digerogoti ulat.Aku bergidik ngeri mengingatnya. Sungguh apa yang kulakukan dengan menyingkap selimutnya itu adalah kebodohan yang hakiki. "Le, bukan, bukan itu! Kamu tahu luka Ayah? Suaraku terdengar bergetar takut. Aku masih shock berat. Baru kali ini kulihat luka yang sampai digerogoti ulat."Tahulah, Bu. Kan, emang aku yang merawat luka Ayah," timpalnya. Aku merasa tersindir mendengarnya. "Le, lukanya berulat!" tukasku. Kesal mendengar ucapannya yang seolah menyindir.Raut muka Adi yang tadinya lesu, kini tampak terperangah."Kemarin mal
Sumpah Al-Qur'an (33)PoV ; Bu Ayu"Air apa yang Mbah Amun percikkan itu? Kenapa ayahnya anak-anak hanya diam, Mbah?!" tanyaku lagi. Kali ini dengan suara lirih. "Ibu tenang dulu, ya. Suami Ibu hanya kelelahan karena teriak-teriak dari tadi. Tapi-""Tapi apa, Mbah?" potongku segera. "Saya menyerah, Bu. Dari yang saya lihat, Pak Bahul ini memang terindikasi diabetes. Bukan penyakit aneh seperti yang Ibu curigai," papar Mbah Amun.Aku menatapnya lekat tak percaya. Dukun macam apa dia? "Nggak usah labil deh, Mbah! Dulu Mbah bilang kesapan, sekarang ganti lagi. Mbah ini sebenernya bisa atau enggak, sih?" tuduhku tak segan. Wajah tua Mbah Amun nampak kesal mendengar perkataanku. Beginilah aku, tidak suka dipermainkan. Apalagi dibodoh-bodohi. Tak peduli lawanku tua atau muda, bahkan gubernur sekalipun kalau memang curang aku tak segan untuk mengumpatnya."Sosok yang gelatungan di kaki Pak Bahul sudah tak terlihat lagi. Saya sudah lama menduduki profesi ini, Bu! Sejak dulu ratusan pasien