Sumpah Al-Qur'an (29)PoV ; Bu Ayu***Aarrgh!Erangan di arah dapur membuatku yang tengah asik menonton film langganan di televisi terperanjat. Aku lekas beranjak menuju dapur, mengingat suamiku yang tak bisa berjalan normal itu di sana. Ia kubiarkan mengesot dengan kaki membujur untuk ke kamar mandi. Langkahku terhenti melihat Mas Bahul dalam posisi tengkurap. Kakinya bergetar seiring erangannya yang kian memilukan. Aku kelimpungan, Adi kubiarkan bekerja setelah beberapa hari hanya diam di rumah untuk menjaga ayahnya itu. Sulungku itu bekerja di kota. Cukup jauh. Ia tak bisa sewaktu-waktu pulang untuk meninggalkan pekerjaannya. "Argghh ... A-ayu!" erang Mas Bahul tak henti. Suaranya seolah tertahan di kerongkongan, membuatku kian panik. Aku sendiri tidak cukup kuat untuk memapah tubuh kekar Mas Bahul. Biasanya dibantu Bahri, adiknya. Pertengkaranku dengan si Ramlah istrinya membuat kami berjarak. Aku sendiri tak sudi untuk meminta maaf. Dia sendiri yang tiba-tiba marah hanya kare
Sumpah Al-Qur'an (30)Hari menjelang sore. Setelah shalat Ashar, aku membeli dua nasi bungkus untukku dan Nisa. Aku menatap sedih pada anak cantikku itu. Bahkan sekolahnya tak sempat kuizinkan. Aku merutuki semua tetangga dan kerabat jauh yang sama sekali tidak peduli. Tidak ada yang menjenguk atau sekadar bertanya mengenai perkembangan Mas Bahul. Aku membatin dalam hati. Jika kelak mereka ada di posisiku, aku tak akan pernah membantu walau hanya sekecil biji sawi. Tak sudi!Ponsel berdering saat hendak menyuap nasi. Nama Adi muncul di layar ponsel. Lekas kujawab dan memburunya dengan pertanyaan."Kamu di mana, Le?""Jadi pulang, kan?" tanyaku menggebu."Aku di rumah, Bu. Sepi. Ibu di mana? Apa yang terjadi?" Ia melempar tanya. Aku dapat menangkap suaranya yang bergetar panik."Le, kamu ke rumah sakit sekarang, ya. Rumah sakit pusat Sahabat. Tetap hati-hati di jalan.""Memangnya ada apa, Bu? Tolong jelaskan!" Suara Adi meninggi. Aku tahu ia begitu karena panik. "Yang penting kamu se
Sumpah Al-Qur'an (31)PoV ; Bu Ayu"Bu ... hasil tes darah menunjukkan kadar gula pasien tinggi. Dugaan sementara, pasien terindikasi diabetes. Kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut lagi," terang dokter serius. Ia menyerahkan selembar kertas hasil lab yang sudah dua hari lalu dijanjikannya.Aku berdecak kesal sembari mengambil kertas yang ia sodorkan. "Duhh, Dok! Suami saya itu bukan type orang yang suka minum manis. Tiap hari dia minum teh tawar atau kopi pahit. Nggak mungkin diabetes. Dia juga nggak gemuk, turunannya semua sehat. Nggak usah mengada-ada, deh!" sahutku setelah membaca sekilas hasil lab. Lalu menghentakkannya dengan kasar di meja. "Hasil lab tidak bisa direkayasa, Bu! Berapa kali saya bilang, kami sudah bersumpah atas nama Al Qur'an untuk menjalani profesi dengan amanah!" balasnya tegas. Wajahnya tampak tak senang mendengar ucapanku.Aku membuang muka kesal. Benar juga ucapannya. Anehnya, bagaimana mungkin Mas Bahul diabetes, dia saja tidak suka apapun yang ma
Sumpah Al-Qur'an (32)PoV ; Bu Ayu."Lee ... Adi!" seruku saat Adi masuk. Wajahnya tampak letih. "Gagal lagi, Bu!" ujarnya lemah, lalu terdengar ia menghela napas kasar. Sejak kepulangan Mas Bahul empat hari lalu, kami mencoba mencari pengobatan alternatif, dukun, atau orang pintar sekali pun dengan bertanya pada orang terpercaya, atau mencari di internet. Namun, tak ada yang pas di hati Adi sampai detik ini. Bahkan hingga luka Mas Bahul kini digerogoti ulat.Aku bergidik ngeri mengingatnya. Sungguh apa yang kulakukan dengan menyingkap selimutnya itu adalah kebodohan yang hakiki. "Le, bukan, bukan itu! Kamu tahu luka Ayah? Suaraku terdengar bergetar takut. Aku masih shock berat. Baru kali ini kulihat luka yang sampai digerogoti ulat."Tahulah, Bu. Kan, emang aku yang merawat luka Ayah," timpalnya. Aku merasa tersindir mendengarnya. "Le, lukanya berulat!" tukasku. Kesal mendengar ucapannya yang seolah menyindir.Raut muka Adi yang tadinya lesu, kini tampak terperangah."Kemarin mal
Sumpah Al-Qur'an (33)PoV ; Bu Ayu"Air apa yang Mbah Amun percikkan itu? Kenapa ayahnya anak-anak hanya diam, Mbah?!" tanyaku lagi. Kali ini dengan suara lirih. "Ibu tenang dulu, ya. Suami Ibu hanya kelelahan karena teriak-teriak dari tadi. Tapi-""Tapi apa, Mbah?" potongku segera. "Saya menyerah, Bu. Dari yang saya lihat, Pak Bahul ini memang terindikasi diabetes. Bukan penyakit aneh seperti yang Ibu curigai," papar Mbah Amun.Aku menatapnya lekat tak percaya. Dukun macam apa dia? "Nggak usah labil deh, Mbah! Dulu Mbah bilang kesapan, sekarang ganti lagi. Mbah ini sebenernya bisa atau enggak, sih?" tuduhku tak segan. Wajah tua Mbah Amun nampak kesal mendengar perkataanku. Beginilah aku, tidak suka dipermainkan. Apalagi dibodoh-bodohi. Tak peduli lawanku tua atau muda, bahkan gubernur sekalipun kalau memang curang aku tak segan untuk mengumpatnya."Sosok yang gelatungan di kaki Pak Bahul sudah tak terlihat lagi. Saya sudah lama menduduki profesi ini, Bu! Sejak dulu ratusan pasien
Sumpah Al-Qur'an (34)"Dia wanita. Di bagian maaf, p4y*d4ranya. Saat saya bertanya mengenai musababnya, sang suami tampak menutupi. Lalu sang anak dengan menangis bercerita tanpa saya paksa. Wallahua'lam, ceritanya itu membuat saya sangat tertampar dan lebih hati-hati untuk berperilaku," jawab lelaki itu. Aku makin penasaran ke mana arah pembicaraannya ini. Aku mendengkus kesal, ah pasti lagi-lagi ini pengobatan gadungan! Yang bertele-tele dan pada akhirnya berkata tidak sanggup."Maksudnya bagaimana, Pak? Apa hubungannya dengan ayah saya?" Adi kembali bertanya dengan sedikit memaksa."Ini aib, Le. Saya tidak bisa ceritakan apa pun mengenai orang-orang yang sudah berobat kemari," jawabnya lagi, membuatku begitu kesal."Le! Adi ... pasang selimut di kaki Ayah, Ibu mau masuk!" teriakku dengan mengetuk pintu, menyela pembicaraan mereka. Orang tang disebut kiyai itu terlalu bertele-tele, kesabaranku sudah habis menunggu penjelasannya tentang maksud yang ia ucapkan."Sudah, Bu!" sahut Ad
Sumpah Al-Qur'an (35)"Memangnya Kiyai itu tahu dari mana ayahmu punya kesalahan? Kenapa tiba-tiba bertanya tentang itu?" tanyaku penasaran. Apa iya sehebat itukah orang yang dijuluki kiyai tersebut, hingga bisa menerawang masa lalu seseorang."Dari pengalaman dua pasiennya, Bu!" sahut Adi pelan. Bahkan seperti bergumam. Nampaknya, ia masih shock dengan apa yang kukatakan.Aku mulai bergidik ngeri kala Adi menceritakan tentang dua pasien kiyai itu dengan kasus yang sama. Terlebih saat mendengar kondisi pasien wanita, yang katanya bagian dadanya membusuk. Walau ada rasa kesal karena kiyai tersebut tidak menceritakan detail tentang kasus dua orang pasiennya itu, tapi tetap saja yang ia ceritakan cukup jelas."Le ... lalu apa yang harus kita lakukan? Apa yang Kiyai itu sarankan, cepat katakan!" paksaku ketakutan. Bibirku terasa gemetar."Sudah, Bu. Ayah sudah didoakan. Dan, saat ditanya Kiyai, ayah juga berkata dengan jujur. Aku juga tahu, ada satu kebohongan yang belum Ibu ceritakan pa
Sumpah Al-Qur'an (36)Aku segera beranjak dari sofa saat pintu utama dibuka. Adi muncul di baliknya. Raut wajahnya nampak beda, tak lagi tegang dan gusar seperti sebelumnya. Sekarang terlihat jauh lebih tenang dan berseri. Seperti ada binar lega yang terpancar dari wajahnya."Halah, sudah Ibu tebak. Pasti kedatangan kamu ditertawakan sama Asti yang licik itu!" Gerutuku seraya melangkah ke arahnya.Adi menggelengkan kepalanya pelan. "Ibu salah!" sanggahnya. "Justru Bu Asti menyambutku dengan baik. Bahkan aku bisa melihat ketulusannya saat mendoakan Ayah. Dan takjubnya, Bu Asti sama sekali tidaklah dendam terhadap keluarga kita, Bu!" papar Adi tersenyum samar. Senyumannya itu seolah mengejekku."Halah itu mah topeng!" balasku tak mau kalah."Terserah Ibu. Yang jelas sekarang aku lega. Dan aku minta sama Ibu, setelah ini tolong jangan pernah ganggu siapa pun. Siapa pun! Bukan hanya keluar-""Sudah kubilang jangan pernah sok jago dengan menasehatiku! Aku ini ibumu, lebih tahu mana yang ba