AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Kamu yakin, Rin. Kalau Mbak Jum sebenarnya sudah mengetahui hubungan Mas Ridwan dan Indri dari awal?""Entahlah, Feb. Tapi aku merasa ada yang aneh dengan sikap Mbak Jum. Kemarin aku mengintai dia saat menerima telepon dari seseorang. Mbak Jum sampai harus ngumpet di belakang untuk bicara dengan penelepon tersebut. Apa yang dia ucapkan juga menjadi tanda tanya untukku."Aku dan Feby terdiam sejenak dengan saling menatap."Rin, kamu pasang CCTV aja di setiap sudut rumah. Biar kamu bisa memantau gerak-gerik Mbak Jum di rumah. Apalagi Arza 'kan diasuh Mbak Jum. Biar kamu bisa memantau Arza sekalian."Ide yang bagus, kenapa aku tidak kepikiran hal itu. Feby memang selalu cepat dalam mencari solusi. Kudekati Feby dan memeluknya begitu erat. Sahabat yang selalu memberi semangat saat diri ini rapuh."Arin, lepasiin ...! Sakit tahu. Lagian kita dilihatin banyak orang di cafe ini."Seketika langsung kulepaskan pelukanku dari Feby. "Terus. Bagaimana perceraian
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU Hari ini adalah awal mencari jawaban atas kecurigaanku terhadap Mbak Jum. Ide dari Feby untuk memasang CCTV sudah sukses. Sekarang aku akan lebih mudah memantau gerak-gerik Mbak Jum di rumah ini.Oh ya, aku sampai lupa kalau harus memberi laporan pada Feby. Segera kuambil ponsel untuk mengirim pesan padanya.[Sukses, Feb.][Oke.][Udah selesai belanjanya?][Aku udah selesai dari tadi, Rin. Belum ada laporan dari kamu, makanya aku ajak Mbak Jum muter-muter. Biar dia pusing. Ha ha ha ....]Dasar Feby, masih sempet-sempetnya bercanda. Sembari menunggu mereka pulang, aku menelepon salah satu karyawan kepercayaan di butik dan toko batik. Aku ingin mengontrol keadaan di sana karena hari ini aku tidak datang.Tin tin tin ....Terdengar suara klakson mobil. Itu pasti mereka. Aku pun segera keluar."Bu Arin, maaf belanjanya lama. Tadi sama Mbak Feby diajak muter-muter dulu," jelas Mbak Jum."Kamu tuh ya, Feb. Kebiasaan. Kalau udah belanja lupa waktu," ucapku
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Ayah dan Ibu lebih percaya dengan omongannya Mas Ridwan daripada Arin? Arin yang telah dikhianati Mas Ridwan. Dia menjalin hubungan dengan Indri, keponakan Mbak Jum. Dan mereka juga sudah menikah siri," jelasku dengan napas yang tersengal-sengal."Indri? Kamu salah, Rin. Mereka hanya teman, tidak lebih. Bukannya Indri karyawan kalian? Kenapa kamu berpikir sejauh itu?" jawab ibu masih tetap tidak percaya dengan penjelasanku. Sebenarnya apa yang telah Mas Ridwan dan Indri katakan pada orang tuaku? Sampai-sampai Ayah dan Ibu begitu percaya dengan mereka."Salah? Arin melihat dengan mata kepala Arin sendiri. Semua karyawan toko saksinya. Arin juga punya saksi kalau mereka sudah menikah siri. Tapi kalau Ayah dan Ibu memang tidak percaya dengan Arin, tidak apa-apa," jawabku langsung berlalu meninggalkan Ayah dan Ibu ke kamar dengan mengajak Arza.Ku'dudukkan Arza di atas kasur dan kuputarkan film kartun favorit dia. Langsung kuhempaskam tubuh ini di samping
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU Kuparkirkan mobil dan tetap berada di dalam. Kini mataku terarah pada dua orang yang sedang bergandengan mesra hendak masuk ke dalam toko. Mas Ridwan dan Indri. Aku tidak ingin Arza melihat papanya bersama perempuan lain. Arza memang masih kecil, tapi dia tidak boleh melihat kelakuan papanya yang memalukan seperti itu. Akan kubimbing dan kudidik Arza tumbuh menjadi anak yang baik. "Mama, ayo ulun, ayo!" Dengan ucapan polosnya, Arza mengajakku turun dari mobil."Iya, Nak, sebentar ya!" jawabku dengan melihat ke depan menunggu Mas Ridwan dan Indri benar-benar masuk."Ayo Arza, kita turun!" ajakku setelah melihat Mas Ridwan dan Indri masuk ke toko."Pagi, Bu," sapa beberapa karyawan dengan mengulas senyum."Pagi."Aku melihat renovasi toko sudah hampir selesai. Memang tidak butuh waktu lama, karena hanya merenovasi bagian tengah. Pembatas antara tokoku dengan toko Mas Ridwan."Din. Tolong kamu temani Arza sebentar!" pintaku dengan mendekatkan Arza pada
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Mas Ridwann ...," teriakku dengan menggedor pintu rumah kontrakan Indri.Klek Sosok perempuan yang tak asing bagiku keluar dari balik pintu.Mbak Jum? Ternyata sekarang dia tinggal dengan Mas Ridwan dan Indri? Heh ... tiga pengkhianat kumpul jadi satu. Tapi bukan itu yang menjadi urusanku saat ini."Mas Ridwan mana?" tanyaku langsung menyelonong masuk ke dalam."Arin, sabar!" panggil Feby dengan menarik tasku. "Sabar? Kamu memintaku untuk sabar, Feb? Mas Ridwan tiba-tiba mengambil Arza dari rumah Ibu." Feby pun kena sasaran atas kemarahanku pada Mas Ridwan."Ada apa ini?" tanya Mas Ridwan yang keluar dari balik gorden."Arza mana? Kenapa kamu bawa Arza dari rumah Ibu? Keterlaluan.""Arin ... Arin. Kamu tuh bisa ngga sih, ngga usah marah-marah! Arza itu anakku juga. Terus, apa salah kalau seorang Ayah mengajak anaknya sendiri?""Tergantung. Ayah seperti apa dulu? Aku ke sini bukan untuk bicara panjang lebar denganmu. Sekarang, Arza, mana?"Kesabarank
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU Setelah pulang dari rumah Dina, aku ingin ke tempat Ayah dan Ibu. Sedangkan Arza memang sengaja tidak kuajak. Alhamdulillah, dua hari tinggal di butik, Arza terlihat nyaman dan langsung akrab dengan karyawan di sana. Aku pun tidak khawatir saat meninggalkan Arza bersama mereka.Aku meminta salah satu karyawan di butik untuk fokus menjaga Arza selama kutinggal. Sambil mencari pengganti Mbak Jum.-----"Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." terdengar jawaban salam dari Ibu. Raut wajah Ibu terlihat begitu kesal. Sepertinya Ibu masih marah denganku."Ayah mana, Bu?" Ibu tidak menjawab pertanyaan dariku, bahkan menatap pun enggan. "Ibu masih marah?" tanyaku lagi. "Arin ke sini untuk memberitahu Ayah dan Ibu, kalau sekarang Arin dan Arza tinggal di butik."Seketika Ibu langsung menatapku tajam."Kamu keluar dari rumah itu?""Iya, Bu. Arin memang mengosongkan rumah tersebut, karena Arin ingin membuktikan kalau tuduhan Mas Ridwan itu salah besar."Hahh ... t
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKUAku berusaha untuk tetap tenang saat duduk di kursi sidang yang seumur hidup tak pernah kubayangkan sedikitpun.Pandanganku terus menatap ke depan dan tak ingin menoleh ke samping. Di mana ada Mas Ridwan yang duduk di sebelahku.Ketika sidang sudah dibuka oleh Hakim Ketua, perasaan deg-deg'an begitu terasa. Meskipun memang sudah mantap untuk bercerai dengan Mas Ridwan, tapi persidangan ini membuat perasaanku tiba-tiba begitu pilu. "Saudara Ridwan Setiawan, apakah anda tidak mempertimbangkan kembali keinginan anda untuk bercerai dengan saudari Arin Prameswati?"Sebuah pertanyaan dari Hakim Ketua yang ditujukan pada Mas Ridwan. Meskipun pandangan ke depan, tapi aku tahu kalau Mas Ridwan menoleh ke arahku sebelum akhirnya menjawab pertanyaan dari Hakim Ketua."Tidak Bapak Hakim, saya tetap pada pendirian saya untuk bercerai."Jawaban yang membuat perasaanku berkecamuk. Tapi memang inilah yang harus aku hadapi. Karena sudah menjadi pilihan."Lalu, bagaima
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Bu Arin akan datang atau mewakilkan saya dalam sidang ikrar talak besok?" tanya Pak Herman pengacaraku."Apa saya harus datang, Pak Herman?""Alangkah lebih baiknya kalau Bu Arin datang dalam sidang ikrar talak. Karena sudah mendapat surat panggilan dari pengadilan. Kalaupun ingin diwakilkan juga tidak apa-apa.""Ya sudah, saya akan datang.""Baik, Bu. Besok kita bertemu di pengadilan."----------Setelah beberapa kali melewati sidang. Hari ini memasuki sidang ikrar talak. Kali ini aku akan hadir dalam sidang tersebut. Setelah bebarapa kali sidang sebelumnya, aku lebih memilih tidak hadir karena sudah memberi kuasa penuh pada Pak Herman, pengacaraku.Dari awal, sidang perceraianku dengan Mas Ridwan memang berjalan lancar. Mungkin karena aku dan Mas Ridwan sama-sama menginginkan proses perceraian ini segera selesai. Meskipun dari pihak pengadilan selalu memberi kesempatan pada kami untuk memperbaiki rumah tangga dan rujuk kembali.Hemh ... kuhembuskan n