Tidak sabar rasanya hati ini ingin segera berjumpa dengan ketiga buah hati. Tepat pukul tiga dini hari, mobil beristirahat di sebuah tempat peristirahatan.
Sopir dan sebagian penumpang turun utuk makan dan beristirahat. Aku pun turun dan memilih berjalan-jalan sekitar tempat peristirahatan.
Sekedar mencari angin segar setelah berjam-jam di dalam mobil. Suasana masih gelap, hanya penerangan lampu yang menerangi sebagian jalan. Aku mengusap layar gawai untuk memberitahukan kepulanganku subuh ini.
Akhirnya, setelah satu jam di tempat istirahat. Mobil kembali melaju, membelah jalanan yang mulai lengang seperti hati ini yang terasa sepi.
Jauh di dalam lubuk hati, ada rasa malu untuk pulang. Harapan yang jauh dari kenyatan, bukannya menambah pendapatan, aku malah menambah beban hutang.
Setelah lima jam perjalanan. Akhirnya, aku sampai tepat di depan pintu rumah Ibu dengan membawa kegagalan.
Aku mengetuk pi
Suasana hening, semua orang sibuk dengan isi pikirannya masing-masing."Lalu, Fadil mau apa ke sini?" imbuh Ibu terlihat penasaran."Mas Fadil meminta rujuk lagi," jawabku ragu.Seisi rumah terlihat kaget dan bingung. Mereka saling berpandangan satu sama lain, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari mulutku."Kamu sendiri bagaimana? mau balik lagi sama Fadil?" tanya Ibu seraya menatapku lekat.Aku terdiam, memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi nanti. Keluarga memang selalu mendukung di saat suka dan duka. Mereka akan selalu ada.Namun, dengan beban tiga orang anak yang masih kecil. Apa mereka sanggup dan rela menanggung semua biaya hidup anak-anak? Mungkin, jika hanya untuk makan saja, orang tuaku masih sanggup, tapi kebutuhan mereka di masa yang akan datang, akan jauh lebih banyak.Bagaimana dengan saudara-saudara yang lain? Apa mereka setuju dan tidak keberatan j
Apa ini Ya Rabb? Sikapnya mulai berubah lagi. Apa ini pertarungan sebenarnya untuk memenangkan hatinya kembali?Aku masih termenung memandanginya hingga tidak terlihat lagi. Lelaki itu seolah tidak rela meninggalkan kota terkutuk itu. Ia belum rela berpisah dengan Melati.Jika ini caranya, aku hanya akan bertahan sampai dia mengatakan talak untuk ketiga kalinya. Di situlah akhir dari perjuanganku untuk memperbaiki semuanya dan mempertahankan dirinya.Namun, jika ia terlanjur menjatuhkan talak kembali. Aku ikhlas.***Sehari setelah kepergian Fadil. Ibu mengajakku kembai menemui ustaz untuk mengobati Fadil. Antara ragu dan takut. Namun, perubahan sikap Fadil yang seratus delapan puluh derajat membuatku yakin, bahwa ada kekuatan lain yang mempengaruhinya.Sebuah kekuatan hitam yang membutakan Fadil. Menjauhkannya dari Rabb-Nya. Entah apapun itu, alam ghaib memang benar-benar ada.Satu hal yang pasti,
Sabtu pagi aku pergi ke pasar untuk membeli beberapa bahan makanan dan and1 sisir pisang kesukaan Mas Fadil.Hari itu anak-anak tampak riang menunggu kepulangan ayahnya. Hampir dua minggu Mas Fadil tidak pulang ke rumah dengan alasan sibuk mengejar target."Mah, hari ini Ayah pulang kan?"tanya Kia dengan mata berbinar." Insya Allah, doain aja biar cepet pulang," jawab ku ragu."Mah, ini ada surat dari sekolah. Mamah kan belum bayar uang sekolah Kakak tiga bulan," ucap si sulung seraya menyodorkan selembar kertas berwarna putih.Aku memegang secarik kertas itu dengan tatapan nanar. Dunia seolah berbalik, dahulu jangankan menunggak uang sekolah, kami bahkan mampu membayar satu tahun di awal.Lupakah Mas Fadhil dengan kewajibannya terhadap anak-anak? Inikah perlakuan adil yang ia janjikan? Aku segera mengusap layar gawai untuk menghubungi Mas Fadil.[ Ayah lagi di mana? Kapan pulang anak-a
Aku terbangun saat terdengar kumandang azan subuh. Kemudian segera mengambil air wudhu dan shalat di rumah.Fadil masih terlelap di atas tempat tidur. Entah sampai kapan lelaki itu akan lari dari kewajibannya kepada Allah.Di dalam sujudku, tidak hentinya diri ini mendoakan Mas Fadil agar kembali ke jalan dan agar rumah tangga ini kembali baik-baik saja.Aku berusaha bersikap senormal mungkin dan melupakan kejadian semalam. Menyiapkan sarapan dan memasakkannya air panas untuk mandi.Ayam jantan telah berkokok sedari subuh. Akan tetapi, lelaki itu masih lelap dalam buaian mimpi. Selang beberapa menit, akhirnya Fadil terbangun dan terlihat sedang mencari-cari sesuatu.Lelaki itu menggapai gawai yang ada di atas nakas, kemudian melakukan sebuah panggilan vidio dengan seseorang.Aku nengintip
Seperti biasanya, selama Mas Fadil di Cintabumi. Ia tidak memberi kabar sedikit pun. Seolah lupa bahwa kami juga selalu menantikan kepulangannya.Aku menelpon Adi untuk membicarakan kemungkinan Mas Fadil dipindah tugaskan dari kota terkutuk itu.[Aku yang akan ngomong langsung ke atasannya, biar dia dipindahin] ucap Adi dari balik gawai.[Usahakan pindahin ke tempat yang jauh, kalau bisa sekalian aja ke luar pulau. Biar nggak bisa ketemu lagi sama si Pelakor, biar ilmu pelet si Pelakor hilang di lautan] sahutku berapi-api.Kami pun saling berbalas pesan untuk membahas kemungkinan Mas Fadil dipindahkan. Adi memiliki jabatan setingkat lebih tinggi dari Fadil. Mudah bagi adik laki-lakiku itu untuk membuat Fadil pindah, bahkan untuk menghancurkan karirnya sekali pun.Mungkin, inilah cara terakhirku untuk menjauhkannya dari Melati. Segala cara telah kutem
Kepindahan Mas Fadil ke kotaku, tidak serta merta membuatnya meninggalkan Melati. Lelaki itu rela pulang pergi Bandung cintabumi dan sering bolos di hari kerja hanya untuk menemui perempuan murahan itu."Aku akan cari kontrakan," ucap Mas Fadil sebelum ia berangkat bekerja."Kenapa? Bukannya lebih baik pulang pergi dari sini saja, kan tidak terlalu jauh?" tanyaku seraya menelisik ke dalam manik cokelatnya."Tidak apa-apa. Melati tidak suka kalau aku tinggal di sini sama kamu. Mungkin aku akan bawa dia ke kontrakan," jawab lelaki tak berperasaan itu datar.Aku pun terdiam membisu, sepertinya sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan dengan laki-laki yang telah dibutakan cinta itu.Otak ini berfikir keras, bagaimana cara memisahkan pasangan haram itu. Tidak ada waktu lagi untuk meratap dan larut dalam kesedihan. Aku harus bangkit dan memenangkan pert
Malam semakin larut, tapi, tidak ada tanda-tanda Mas Fadil akan pulang. Padahal hari ini adalah gilirannya untuk pulang ke rumah. Dia sudah berjanji sebelumnya, bahwa akan berlaku adil.Namun, janjinya hanyalah tinggal janji. Tujuh hari dalam seminggu, tidak satu hari pun Mas Fadil menyempatkan diri untuk pulang ke rumah. Ia asyik bersama Melati di kontrakan barunya yang di Bandung.Aku mengintip di balik jendela beberapa kali. Entah kenapa malam itu hatiku gelisah, anak-anak sudah tertidur lelap sedari tadi. Akan tetapi, mata ini tidak hendak terpejam jua.Suara ketukan pintu membuatku terperanjat dan bergegas beranjak dari tempat tidur. Aku berjalan cepat menuju pintu depan, bersiap menyambut kekasih hati yang akan datang.Tanpa menunggu lama, segera membukakan pintu karena yakin Mas Fadil ada di balik daun pintu itu. Hati ini rasanya sudah tidak sabar untuk bersua dengannya. Walau pun lelaki itu kerap sekali menyakit
Hari berganti hari. Minggu berlalu, bulan pun cepat berlalu. Hampir tiga bulan Mas Fadil tidak memberikan kabar. Untunglah ia masih ingat untuk memberikan uang jajan kepada ketiga anaknya.Namun, tentu saja itu tidak cukup untuk menghidupi kami berempat. Aku harus mencari tambahan kesana kemari, dengan berjualan atau pun dengan cara yang lain.Berawal dari iseng untuk melepaskan beban, dengan cara mencurahkan hati lewat tulisan. Aku pun mengirimkan tulisan itu ke sebuah grup kepenulisan di laman Facebook. Tidak disangka, respon dari pembaca begitu banyak dan komentar yang beragam. Sebagian besar mendo'akan dan ada satu yang menarik yaitu komentar dari beberapa senior yang mengkritik tulisan. Di situlah aku mulai terpacu untuk belajar dan akhirnya tergabung di di dunia yang asing, dunia literasi.Hobi yang dahulu pernah ditinggalkan, kini mulai aku gali kembali. Aku mulai belajar di beberapa grup literasi. Kemudian memberanikan diri untuk