Share

Galau

James mengambil dompet dan ponsel yang terletak di nakas, lalu memasukkannya ke saku. Laki-laki itu sudah membayar biaya hotel yang dipakai untuk kencannya bersama Nara. Dia akan ke apartemen, walaupun sejak tadi pesan dari mamanya yang meminta untuk pulang ke rumah, masuk tiada henti. 

"Ya, Mi?"

Setelah sepuluh panggilan yang diabaikan, akhirnya James menjawabnya dengan terpaksa. 

"Pulanglah ke rumah. Papi kamu nanyain terus," pinta sebuah suara di seberang sana. 

"Aku sibuk. Mungkin hari Minggu depan," jawabnya singkat.

Sejak kapan papa bertanya perihal dirinya? Bukankah laki-laki itu sibuk dengan istri barunya? Istri yang membuat ibunya kerap menangis setiap malam karena menahan sakit di hati. 

"Jangan begitu. Udah satu bulan kamu gak pulang. Apa gak kangen Mami?" Wanita di seberang sana mengucapkan kata-kata terakhir dengan mata berkaca-kaca. 

"Kangen. Tapi kerjaanku lagi banyak. Kalau udah senggang, aku pulang," ucapnya sebelum memutuskan panggilan.

James berjalan menuju lift yang akan membawanya ke basement, tempat di mana Ferrari kesayangannya terparkir. Laki-laki itu bergegas meninggalkan hotel dan mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. 

Tadinya dia ingin tidur di hotel hingga siang, tetapi panggilan dari ibunya tadi mengubah rencana. 

Tiba di apartemen, James langsung terbaring di ranjang. Tubuhnya terasa pegal karena aktivitas semalam. Entah berapa kali dia mencumbu Nara saat gadis itu mabuk dan setengah sadar. 

Kemarin malam, James diundang oleh salah satu teman untuk menghadiri pesta ulang tahun. Dia begitu bersemangat karena ada wanita incarannya yang juga menjadi tamu di pesta itu. 

James memakai pakaian terbaiknya, juga membawa kado spesial. Sesampainya di sana, laki-laki itu ikut menikmati pesta sembari berbincang dengan sang pujaan hati, hingga insiden itu terjadi. 

"Mau ke mana?" tanya Angela, sang pujaan hati ketika melihatnya hendak pergi.

"Aku mau ke sana sebentar. Kamu tunggu aja di sini," jawabnya singkat. 

Di seberang sana, seorang gadis sedang berusaha menghabiskan minuman dengan tubuh sempoyongan dengan diiringi sorakan dari beberapa orang. James merasa tertarik dan berjalan mendekat karena penasaran.

Harusnya James tak ambil peduli karena tak kenal dengan gadis itu. Hanya saja, rasa empatinya tiba-tiba saja muncul. Apalagi saat banyak orang yang menertawainya. Dia memang brengsek, tetapi mempermalukan orang lain di depan umum itu sungguh keterlaluan.

"Lima gelas? Kecil ...." ucap gadis yang sudah mulai mabuk itu saat menggenggam sloki sembari tertawa. 

"Yang penting tasnya buat aku. Aku mau tas itu," ucapnya lagi.

James melipat tangan di dada sembari memperhatikan keadaan. Gadis itu hendak mengambil satu gelas lagi ketika tubuhnya limbung. 

James bertindak cepat dengan meraihnya sebelum tubuh mungil itu benar-benar jatuh ke lantai. Lalu, dia membawanya keluar tanpa peduli dengan teriakan dan panggilan beberapa orang. 

Sesampainya di parkiran, James memasukkan gadis itu di belakang dan melajukan mobilnya menuju ke sebuah hotel di dekat tempat acara. 

"Tolong bawa di kamar dan bereskan semua," pintanya pada karyawan hotel dengan memberikan bebebapa lembar uang berwarna merah.

James menunggu di lobi hotel sembari bermain ponsel dan mengabari kepada temannya yang berulang tahun bahwa dia pulang lebih cepat. Ada banyak pesan masuk yang menanyakan keberadaannya dan gadis itu, tetapi dia abaikan.

"Sudah selesai, Pak."

James mengangguk dan dengan santainya berjalan menuju lift dan naik ke kamar. Kunci sudah dipegangnya sejak tadi sehingga bebas masuk kapan saja.

Begitu pintu kamar terbuka, matanya menangkap sosok wanita yang sedang terbaring di ranjang hanya dengan mengenakan bathrobe. 

Nalurinya sebagai laki-laki mulai bangkit, sehingga kaki jenjang itu melangkah ringan ke arah ranjang. 

"Cantik, siapa namamu?" Dia bertanya seraya memainkan anak rambut gadis itu. 

"Aku mau tasnya. Aku mau itu. Aku pasti menang."

Racauan itu membuat James semakin tertantang. Dia membuka baju dan melemparnya sembarangan. Tubuh besar itu mengambil posisi yang paling disukainya, yaitu berada di atas. 

"Aku akan berikan tasnya. Tapi temani aku malam ini," bisik James dengan senang. Laki-laki itu mulai melancarkan aksinya.

"Jangan."

"Jangan menolakku." James mengeluarkan berbagai macam keahliannya, sehingga akhirnya gadis itu menyerah.

Setelah semua berakhir, James terkejut saat mendapati bercak darah di ranjang. Gegas, dia memeriksa isi tas gadis itu yang terletak di nakas. 

Nara Pradipta. Itulah nama yang tertulis di semua kartu identitas dengan status single dan karyawan swasta. 

James menatap kembali sosok tubuh yang terbaring tak berdaya karena ulahnya. Dia mendekati ranjang dan hendak menutupi tubuh Nara dengan selimut, ketika gadis itu bergerak sehingga nalurinya bangkit kembali. 

Malam itu, James berpesta pora menikmati sajiannya. Sementara Nara telah kehilangan masa depan. Untuk menutupi rasa bersalah, laki-laki itu menyelipkan selembar cek dengan nominal dua digit. Pikirnya, itu pantas untuk mengganti sebuah kesucian yang telah terenggut.

***

Bel apartemen berbunyi berulang kali. Gadis yang berdiri di depan pintu menunggu dengan tak sabar.

"Ngapain ke sini?" tanya James dengan malas ketika melihat wajah adiknya saat membuka pintu. 

"Mami nyuruh gue buat bawa lu pulang," jawab Clara santai sembari masuk dan duduk di sofa. 

"Gue udah bilang bakalan pulang hari Minggu depan," kata James kesal.

"Tapi mami maunya lu pulang sekarang," paksa Clara.

"Jangan sok ngatur!" 

"Oh My God. Punya kakak gini amat," kata Clara sembari mencebik. Dia berjalan ke dapur dan membongkar isi lemari es.

"Ckckck. Dasar bujang lapuk. Cepat cari istri biar kulkas lu isinya makanan bergizi. Bukan yang instant kek gini," ucapnya seraya mengambil satu kaleng soft drink.

"Bawel lu. Nanti gue sunat uang jajan," ancam James.

Clara yang mendengar itu langsung melotot dan mendekati kakaknya.

"Jangan marah, James. Maafin adik lu yang jelita ini," ucap Clara dengan penuh percaya diri. 

James tertawa dan mengabaikan itu, lalu berjalan ke kamar dan merebahkan tubuh. Dia masih mengantuk dan ingin melanjutkan istirahat. 

"Nara," lirihnya seraya menyebut nama gadis itu ketika bayangnya berkelebat di pelupuk mata. 

"Siapa Nara?" 

Tiba-tiba saja Clara muncul dan berbaring di sebelah kakaknya. James terkejut karena tak menyangka gadis itu akan masuk ke kamar. 

"Bukan urusan lu."

"Hem. Kayaknya abang gue lagi jatuh cinta," gumam Clara sembari menatap James dengan penasaran.

"Berisik!"

"Nara ...." lirih Clara menirukan ucapan kakaknya.

"Sialan!" umpat James ketika Clara tergelak dan menertawainya.

"Ayolah, James. Lu pasti suka sama dia, kan? Ceritain dong, siapa Nara itu," desak Clara.

Mereka begitu akrab dan dekat sejak kecil, sehingga satu sama lain sering bertukar cerita. 

"Gue ...."

"Lu beneran jatuh cinta? Ya ampun, James. Udah tua galau gini," kata Clara serius. Dia tahu jika sang kakak adalah pemain wanita. Namun, biasanya James hanya bersenang-senang. 

"Dia perawan."

"Apa? Beneran?" Clara tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.

"Yap. Dan gue udah--" James tak sanggup meneruskannya.

"Tunggu dulu! Setau gue lu lagi ngedeketin si siapa itu? Angel, kan? Model papan atas yang lagi naik daun," terka Clara mencoba mengingat.

"Bukan dia. Ah udahlah. Lu pulang sana. Gue mau tidur. Ganggu aja!" kata James sembari mendorong tubuh adiknya agar turun dari ranjang. 

"Oke. Gue pulang. Tapi gue bakalan bilang sama mami kalau lu punya  pacar namanya Nara." Clara bergegas meninggalkan kakaknya yang mematung sendirian.

James menarik napas panjang, mencoba kembali memejamkan mata. Lagi-lagi bayangan Nara berkelebat di benak. Aneh, di saat seperti ini, wajah-wajah lain yang pernah singgah di hidupnya lenyap begitu saja tanpa bekas. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status