"We start this story by together. It must be the same way when we end this."
—Daver Negarald—***
"Daver, bangun! Bisa-bisanya kamu gak pasang alarm. Ayo siap-siap!" oceh Natasya, membuka gorden kamar Daver. Wanita itu sengaja menginap di apartemen Daver, sekalian membantu anaknya membereskan barang-barang.
Daver memicingkan mata begitu sinar mentari menerobos kaca kamarnya. Ia terkejut dengan dirinya sendiri sampai langsung mengubah posisi menjadi duduk.
Jadi tadi gue cuma mimpi?!
"Kenapa?" Natasya bingung melihat gerak-gerik Daver
..."Aku salah banget ya?" tanya Daver kemudian menatap Giselle.Giselle tersenyum lembut, lalu mengacak rambut Daver selayaknya anak kecil. Ia tertawa sekejap."Kok malah diketawain sih," gerutu Daver. "Ini udah tinggal 40 menit lagi, Kak. Zhenix udah pada bilangotw, tapi mereka bilang Anara gak mau ikut.""Siapa tau Anara tiba-tiba dateng?""Dia aja gak angkat telepon atau bacachataku sama sekali. Nih, liat. Aku udah ada ratusan kali nelepon dia. Gak ada satupun yang diangkat."Giselle menatap Daver sebentar, lalu ia mengatakan sesuatu yang sedikit melegakan hati Daver. "Gini, Dav. Anggap aja untuk sekarang, Anara lagi marah sebentar. Sebe
...Saat Daver mengatakan itu, suasana semakin haru. Ada yang menyembunyikan air mata, ada yang berusaha untuk tetap senyum, ada yang cemberut karena sedih."Oh iya, gue titip Anara ke kalian ya. Dia suka mendem sendiri kalo ada apa-apa. Jadi tolong didengerin kalo dia emang butuh temen cerita, peluk dia kalo lagi sedih, bikin dia ketawa. Pokoknya tanyain terus dia kenapa," pinta Daver pelan.Zhenix mengangguki perkataan Daver. Evan dan Rino, mereka mengacungkan jempol.Daver mundur beberapa langkah, kembali lekat dengantrolley-nya. Setelah melambaikan tangan, ia mulai membawa pergi benda yang menampung segala kebutuhannya itu.Sesekali Daver menengok ke belakang. Barangkali ia melihat seseorang berlari menghampi
"Anak bandel diciptain untuk bikin satu kelas bahagia. Gak ada yang bandel, gak ada yang ketawa."-Daver Negarald***"Daver, Rino, Evan, kemari!" Ibu Erna berdiri seraya melihat ketiga cowok itu secara bergantian.Tidak ada yang maju. Mereka malah tertawa di kursi mereka. Masih saling bercanda satu sama lain. Padahal tatapan Ibu Erna sangat membunuh. Benar-benar tidak ada takutnya sama sekali."Bu, masa Ander gak dipanggil? Curang, ah. Ibu gak adil!" Rino menyahut tanpa dosa. Padahal dari tadi Ibu Erna sudah mengelus dada."Ander ngerjain tugas, sedangkan kalian enggak! Malah bercandaan aja dari tadi! Cepat maju!" Ibu Erna berdiri. Lalu mengambil penghapus papan tulis. "Maju, gak?!""Maju, sono." Evan menyenggol sikut Daver yang langsung dibalas dengan injakan kaki dari cowok itu."Sabar, jangan nyenggol-nyenggol!" Daver akhirnya berdiri dan maju duluan. Disusul dengan Evan dan Rino.Sebenarnya Ander juga tergabung dalam kelompok persahabatan mereka. Namun, karena datang lebih awal,
"Perasaan yang rencananya gue ungkapkan ini gak akan mengubah sesuatu di antara kita. Jadi lebih baik gue diam dan lo gak tau apa-apa."-Anara Emiley***Anara membuka pintu utama rumahnya. Ia memejamkan mata, menahan perih hati yang kini dirasakan. Selalu Anara lakukan saat ia mendengar suara dua orang yang berdebat setiap harinya.Selalu, Ya Tuhan, batin Anara.Ini sering terjadi. Tetapi bukan berarti Anara terbiasa. Anara buru-buru berlari ke kamarnya dan mengunci pintu."Kamu ngabisin duit saja bisanya, Lena!" Jeff, Papa Anara, membentak dengan suara yang keras."Semua duit kamu, saya pake buat keperluan kamu! Saya habisin buat kebutuhan kamu dan anak-anak! Kenapa kamu marah-marah?!" Lena membalas tak mau kalah. Karena memang seperti itu adanya.PLAK!Setetes air mata lolos dari pelupuk mata Anara. Ia meremas bantal yang dipeluknya. Tubuhnya seakan ikut remuk, merasakan sakit yang Lena rasakan."Tampar lagi, Jeff! Tampar! Kamu memang laki-laki yang gak punya pikiran dan perasaan!"
"Hati gue ada di tangan lo. Dijaga atau dihancurkan itu terserah lo. Asal jangan lupa bilang-bilang. Satu hal, kalo gue nangis, jangan heran."-Anara Emiley***"Punya pacar tukang ngekang,""EAAAA!""Sekali selingkuh, tamparan melayang!""EAAAA!""Anara cantik punya-nya akang." Daver, Ander, dan Rino diam menunggu isi pantun selanjutnya dari Evan."Neng harus tau, kalo akang selalu sayang!" seru Evan melanjuti. Ia bertepuk tangan sendiri karena bangga dengan pantun yang dibuatnya. Teman-temannya langsung menyambut dengan tawa yang berbahak-bahak.Sedangkan Anara, tubuhnya merinding geli mendengar pantun menjijikan dari Evan."Sebenernya garing pantunnya," sahut Ander. Evan memicingkan mata karena kesal.Ander mengaitkan tangannya di pilar bertujuan untuk menghalangi jalan Anara. "Mau ke mana, Ra?"Anara mendengus sebal. "Bisa gak gak usah halangin? Gue mau ambil buku.""Apa? Halalin?"Rino menarik telinga Evan. "Maaf, ya, Ra. Harusnya Evan masuk SLB. Tapi dia malah masuk ke sekolah i
"Ini semua emang salah gue yang terlalu banyak berharap."-Anara Emiley.***"Mau mampir dulu gak?" Anara turun dari jok motor. Menyerahkan helm yang tadinya ia pakai ke tangan Daver.Sebenarnya Anara hanya basa-basi. Karena ia yakin, Daver akan menolak dan langsung pulang."Boleh."Anara membulatkan matanya. Satu hal: Anara takut Jeff dan Lena sedang bertengkar di dalam. Anara tidak mau Daver mengetahui kondisi keluarganya.Malu? Iya, Anara malu. Ia tidak mau berpura-pura senang dan tegar dengan kondisi keluarganya sekarang."Ra, malah bengong, dih." Anara sampai tidak sadar bahwa Daver sudah turun dari motor ninjanya.Anara menghilangkan benak keraguannya."Eh, iya, ayo."Anara berjalan duluan. Diikuti dengan Daver di belakangnya. Baru saja mereka menginjak pekarangan, suara vas pecah mengejutkan pendengaran keduanya.Daver sangat terkejut. Bunyi itu sangat dekat. Seperti berasal dari dalam rumah Anara."Ra, kenapa, tuh?" tanya Daver. Sekarang, Anara tidak tahu mau berbuat apa. Sudah
"Hebatnya, dia bisa buat gue benci dan jatuh cinta di saat yang bersamaan."-Anara Emiley***Anara melamun dari tadi karena Daver terlalu lama membuatnya menunggu. Ia memainkan dedaunan yang jatuh dari pohon. Merobeknya hingga kepingan terkecil.Anara memandang jam tangannya berulang kali. Sudah sepuluh menit ia menunggu. Mungkin terdengar sebentar, tetapi itu lama bagi Anara."Ra!"Anara menoleh. Akhirnya yang ditunggu datang juga."Lama banget." Anara bete. Wajahnya sudah kusut dari tadi."Tadi ada tambahan kelas. Sorry, ya." Daver merapikan rambutnya yang berkeringat.Anara bertanya langsung, "Kenapa?"Daver menatap Anara sebentar. Lalu terdiam. Anara yang menyadari itu jadi salah tingkah. Anara memang sensitif jika ditatap oleh Daver."Soal yang kemarin.."Oh, Anara benci dengan pembahasan itu.Daver melanjutkan ucapannya setelah memberi jeda. "Ya, gue cuma mau bilang aja. Jangan sedih. Walaupun muka lo selalu seneng di sekolah, jutek juga, sih. Tapi lo keliatan bahagia di sekola
"Cuma perhatian, emangnya gak boleh?"-Daver Negarald***Ander meletakkan Alvano di kasur secara bodo amat. Tidak ada halusnya sama sekali. Hal itu membuat Alvano meringis kesakitan."Pelan-pelan bego," titah Alvano di tengah rintihannya.Ander memandang Alvano tidak peduli. Ia mundur selangkah, lalu duduk di meja. Berhadapan dengan Alvano. "Lo obatin diri lo sendiri. Masih untung gue bawa ke sini. Kalo nggak, lo udah habis sama Daver."Alvano bergumam mengiyakan Ander."Kenapa, sih? Gue gak ngerti apa-apa. Cuma yang tadi gue liat, Daver emosi banget