Share

Anara Emiley

"Perasaan yang rencananya gue ungkapkan ini gak akan mengubah sesuatu di antara kita. Jadi lebih baik gue diam dan lo gak tau apa-apa."

-Anara Emiley

***

Anara membuka pintu utama rumahnya. Ia memejamkan mata, menahan perih hati yang kini dirasakan. Selalu Anara lakukan saat ia mendengar suara dua orang yang berdebat setiap harinya.

Selalu, Ya Tuhan, batin Anara.

Ini sering terjadi. Tetapi bukan berarti Anara terbiasa. Anara buru-buru berlari ke kamarnya dan mengunci pintu.

"Kamu ngabisin duit saja bisanya, Lena!" Jeff, Papa Anara, membentak dengan suara yang keras.

"Semua duit kamu, saya pake buat keperluan kamu! Saya habisin buat kebutuhan kamu dan anak-anak! Kenapa kamu marah-marah?!" Lena membalas tak mau kalah. Karena memang seperti itu adanya.

PLAK!

Setetes air mata lolos dari pelupuk mata Anara. Ia meremas bantal yang dipeluknya. Tubuhnya seakan ikut remuk, merasakan sakit yang Lena rasakan.

"Tampar lagi, Jeff! Tampar! Kamu memang laki-laki yang gak punya pikiran dan perasaan!" Lena memegang pipinya yang berdenyut nyeri. Ini sungguh menyakitkan.

"Perempuan bodoh!" Jeff meninggalkan Lena yang tersungkur di lantai. Tatapannya masih ganas. Setelah puas memarahi Lena, ia meninggalkannya. Jeff kembali ke kantor untuk melanjutkan pekerjaan yang sering ia tumpuk.

Ini terus terjadi setiap hari. Tidak hanya pada Lena, Jeff juga tidak terlalu baik pada Anara. Sebenarnya Jeff menyayangi mereka semua. Hanya saja, beliau adalah orang yang tempramental. Anara membenci laki-laki seperti itu. Kasar, tidak berperasaan, egois.

Anara ingin sekali melindungi Ibunya. Tetapi Anara punya alasan kenapa ia sering kali mengurungkan niatnya. Anara pernah menangkap basah Lena yang berselingkuh dengan laki-laki lain. Pandangan itu melukai hatinya. Namun, Anara tidak cukup berani untuk menanyakan hal itu pada Lena.

Alhasil, Anara diam dengan seribu kesakitan yang dialaminya. Belum lagi kata-kata kasar yang Jeff sering tumpahkan padanya.

Anara adalah definisi dari luka. Ntah sekuat apa hatinya, Anara selalu tersenyum di sekolah. Menyembunyikan masalah dan kesedihan adalah kemampuan Anara.

Tetapi Anara tidak pernah tahu kapan kemampuan itu akan runtuh. Jujur, Anara hampir gagal saat berusaha tampak baik dibalik semuanya.

Anara sering iri dengan sahabat-sahabatnya yang memiliki keluarga sempurna. Harmonis, selalu tertawa bersama. Tidak seperti yang Anara miliki dan alami.

Yang hanya bisa ia lakukan adalah menangis dan berdoa. Ntah sampai kapan ini terus menusuk dirinya, tetapi hanya itu senjata Anara hingga detik ini.

🥀🥀🥀

Anara benci pelajaran pada hari Senin. Maka dari itu, saat bel istirahat berdering, ia dengan cepat berlari keluar kelas. Meninggalkan guru yang masih berada di dalam.

Anara tidak lapar. Ia hanya ingin menemui seseorang di kantin. Anara sengaja meninggalkan sahabat-sahabatnya demi bertemu dengan Alvano.

Alvano suka bercerita tentang Daver padanya. Makanya, Anara senang dengan Alvano. Hampir setiap hari Anara dan Alvano berbincang walaupun tidak lama.

"Iya, Daver emang gitu anaknya. Bikin musuh emosi mulu kalo lagi tanding," lanjut Alvano setelah bercerita panjang tentang Daver.

Alvano tidak apa-apa jika Anara senyum dan tertawa karena Daver. Alvano hanya ingin melihat Anara bahagia.

Anara tidak tahu akan ini. Tetapi ia tidak bisa menolak fakta, bahwa Alvano benar-benar jatuh hati dengannya.

"Suka banget, ya?" Alvano bertanya tiba-tiba.

Anara menyipitkan matanya, kebingungan akan arah pertanyaan Alvano. "Suka apa?"

"Daver," singkat Alvano.

"Eh?" Anara terkejut. Bagaimana bisa Alvano tahu soal perasaannya?

"Gak usah kaget gitu. Jelas lah, Ra. Udah keliatan banget dari gelagat lo." Alvano mengacak rambut Anara seperti yang biasa ia lakukan.

Anara tersenyum malu karena Alvano mengetahuinya. "Jangan bilang ke Daver ya," ucapnya menggigit bibir bawah.

"Kenapa?"

"Jangan aja," jawab Anara.

"Kasih tau aja, Ra. Siapa tau dia suka juga sama lo," kata Alvano. Anara langsung tertawa.

"Gak mungkin lah, Van. Gimana bisa cowok kayak dia suka sama gue? Udah, nggak usah dikasih tau. Ini nggak penting buat dia," kata-kata itu menusuk Anara walaupun dia sendiri yang mengucapkannya.

Alvano tersenyum tipis. Ia merasa Daver sangat beruntung. Daver mendapatkan perasaan yang sangat tulus dari Anara.

Sudah lama Alvano tahu tentang perasaan Anara. Sejak mereka menginjak bangku SMP. Waktu itu gara-gara Anara menulis suatu kalimat di selembar kertas: you rule my heart, Daver Negarald.

Harusnya Anara berterima kasih pada Alvano pada masa itu. Kalau Alvano tidak mengambil kertas itu, pasti Daver akan membacanya.

Sayangnya Anara saja tidak tahu bahwa kertas itu hampir dibaca oleh Daver. Sudah dibaca oleh Alvano juga ia tidak tahu. Anara memang ceroboh. Tidak membuang kertas itu di saat dia iseng menulisnya.

"Kenapa muka lo kayak gitu, Van? Lo pasti nganggep aneh, ya? Cewek kayak gue sok banget naruh perasaan ke Daver." Anara menggaruk tengkuk kepalanya. Ia menyengir polos.

"Gak gitu, Ra. Lo kenapa suka banget nyimpulin sesuatu sendiri, sih?" Anara malah memperlebar cengirannya. "Pokoknya, kalo Daver nyakitin lo, bilang gue aja, Ra," lanjut Alvano.

Anara rasa Daver sudah terlalu sering menyakiti hatinya. Setiap kali Anara lihat Daver menatap Fara diam-diam saja itu sudah menyakiti hati Anara.

Tapi tidak mungkin bila Anara melapor pada Alvano. Jika ia lakukan, Alvaro akan mendapatkan laporan berkali-kali setiap harinya.

"Ra," panggil Alvano. Menyadarkan Anara dari lamunannya.

"Eh, ya?"

"Denger gak gue bilang apa tadi?"

"Iya, Van. Makasih, ya. Lo baik banget sama gue," ucap Anara dengan lembut. Ia tidak hentinya untuk terus tersenyum. Senyuman yang membuat Alvano semakin ingin menjaga gadis ini.

Alvano terpaku. Ia cepat-cepat membuang tatapannya dari bibir Anara. "Oh, iya. Gue lanjut latihan dulu, Ra."

Anara bertanya, "Ada pertandingan?"

Alvano membalas dengan anggukan. "Iya."

Alvano menyelak saat Anara hendak bertanya. "Daver gak latihan, dia udah latihan kemarin. Giliran gue."

Anara terkekeh. "Okay, semangat latihannya, Alvano!"

Alvano berjalan ke tengah lapangan. Ia menampilkan senyum yang tak dapat Anara lihat. Mungkin karena terlalu suka sama Anara, makanya Alvano senang dengan hal sekecil apa pun yang Anara lakukan padanya.

Senyum terus, ya, Ra, batin Alvano.

Dalam hatinya, Alvano selalu berandai bila Anara bisa tersenyum seperti itu karenanya. Sayangnya, senyum cantik itu hadir karena Daver dan bukan karenanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status