LAMARAN YANG TERTOLAK“Yumna,” teriak ayah dengan wajah memerah. Aku menelan ludahku dengan sangat kasar. Bukan Cuma kali ini ayah mengamuk. Hampir setiap proses pelamaran pasti ayah mengamuk. Wajah jika orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. Namun versi terbaik untukku dan juga untuk ayah pastilah berbeda. Aku bukan perempuan sempurna, itu yang kadang ayah lupa tentangku. Sedangkan aku selalu terkurung pada masa lalu yang aku sembunyikan. Masa lalu yang aku kuur dalam-dalam dan tidak pernah erniat untuk mengenangnya kembali. Bagiku tidak ada pelajaran yang bisa aku ambil di masa lalu.Aku menarik nafas berat. Menatap satu persatu orang-orang yang memandangku dengan tatapan benci. Di mata mereka aku pasti terkesan sombong. Memiliki wajah cantik, harta dan juga pekerjaan yang mapan. Mungkin menurut mereka, itulah alasanku menolak lamaran tersebut.“Jangan jadi pemilih,’ kata perempuan bersanggul dengan kebaya biru yang belakangan aku
Dan disinilah aku. Mematut diri di depan cermin. Memakai lipglos untuk melembatkan bibirku. Menatap ulang jilbab hijau muda dengan lapisan brokat. Serta memutar badanku memperhatikan gamis dengan warna senada dengan jilbabku. Sekali lagi aku menatap wajahku. Aku sedikit tersenyum mendapati tidak ada kerutan disana. Tetap terlihat awet muda seperti gadis belia karena alasan ini pula aku tidak terlalu takut jika belum menikah. Toh aku masih terlihat sangat muda.“Sudah nak, kamu itu sudah cantik,” kata ibu memeluk pundakku dari belakang. Aku hanya tersenyum meski tahu kalau seorang ibu selalu menganggap anaknya sangat cantik. Aku berbalik kemudian memeluk ibu. ada sedikit debaran dibalik dadaku. Kali ini aku berharap bisa menikah. Kali ini aku yakin orang tuaku dan orang-orang yang sayang padaku sudah menyingkirkan bara api yang selama ini menghadang di depan mataku.“Begini saja. Sebentar bu. Aku butuh ketenangan,”kataku saat ibu ingin melerai pe
Aku berdiri di dermaga sambil menatap jauh ke laut. Sudah lama tempat pariwisata ini tutup sejak pergantian kepala daerah. Sangat sayang menurutku meski begitu masih banyak pengunjung yang datang meski tempat ini sudah tidak terawat. Dermaga ini menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal kecil yang akan mengantarkan ke pulau seberang. Masih dipakai oleh penduduk seberang yang ingin ke kota.Aku lalu menatap langit yang berwarna biru bersih dari awan, menutup mataku demi merasakan angin laut yang menjamah tubuhku. Aku tersenyum bahagia.“Woi,” teriakkan Julian menghancurkan semuanya. Aku membuka mataku dan menatap tajam ke arah Julian yang sedang cengegesan dan tertawa di dekatku.“Assalamu alaikum,” bisik Julian.“Walaikum salam,” jawabku.“Jangan membatalkan pernikahan hanya karena aku masih muda,” kata Julian seakan membaca pikiranku. “Aku tahu itu alasanmu untuk mengajakku bertemu sebelum orang
“Saya terima nikah dan kawinnya Yumna binti Abidin dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai,” lafads ijab qabul Julian begitu mantap dan tegas.“Sah...” teriak semua orang yang hadir di resepsi pernikahan kami. Aku mencium punggung tangan Julian. Dia tersenyum manis. Memebelai lembut ujung jilbabku kemudian mencium keningku. Semua teriak. Julian dan aku tertawa malu malu. Kemudian kami berpindah ke pelaminan.Julian duduk tepat di sampingku, terkadang mencungkil kakiku dengan kakinya, aku menatapnya tajam dan dia mengalihkan tatapannya. Julian merapatkan tubuhnya ke arahku membuatku menarik diri memberikan jarak pada kami. dia terus mendekat hingga aku hampir terjatuh, Julian dengan cekatan menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Lagi-lagi gemuruh tawa memenuhi gedung pernikahan kami. aku menggeleng tidak percaya dengan tingkah Julian. Aku mendorong tubuhnya. Perlahan tubuhku terangkat dan kembali duduk.“Aku suamimu, aka
“Dia Masih muda. Masih labil. Aku harus pahami keadaannya. Aku juga pernah ada di posisinya,” kataku pada diri sendiri. Aku menatap pantulan wajahku di cermin, baju pengantinku kini sudah berganti dengan baju piyama lengan panjang yang berbahan dasar kaos. Dari dalam cermin aku bisa melihat wajah Julian yang sedang membuka pintu kamar. Dia juga sudah berganti pakaian. Dengan senyum aneh dia berjalan ke arahku. Menatap mataku lewat pantulan cermin. Julian semakin mendekat dan aku tidak punya niat untuk berbalik meski hanya sekedar untuk menatapnya.Julian meletakkan dagunya di pundakku. Aku bergerak untuk menggesernya namun dengan sigap dia menahan tubuhku. Aku hanya mendesah kesal.“Kamu sudah mengirim surat pengunduran dirimu?” rungut Julian. Aku menggeleng lalu pura-pura sibuk menghapus make up dengan alkohol di wajahku.“Kenapa?” tanya Julian masih dengan gaya manjanya.“Karena aku tidak perlu mengundurkan diri
Aku membuka pintu rumah dengan kasar. Tanpa membuka sepatu aku langsung masuk ke kamar bersiap untuk mengemasi barang-barangku. Lalu tiba-tiba aku sadar bahwa semalam aku datang bahkan tanpa membawa barang apapun. Julian begitu sempurna menyiapkan segalanya. Aku bahkan bermimpi kehidupan rumah tanggaku akan terus sempurna. Nyatanya di hari pertama pernikahan aku bahkan harus bersiap menyandang status janda.Aku menarik nafas berat kemudian menjatuhkan bokongku di atas tempat tidur. Mengusap kasar rambutku ke belakang. Pandanganku menatap ke lantai hingga aku tersentak menemukan langkah seseorang yang semakin mendekat. Aku mendongak menatap Julian yang marah. Aku memalingkan wajahku.“Perpisahan bukanlah sebuah penyelesaian,” bentak Julian.“Kau pikir lari dari masalah dan mengadu pada Mami adalah sebuah penyelesaian,” kataku dengan tawa sinisku yang membuat raut wajah Julian menahan marah.“Kau yang berbohong padaku,” b
Aku tergopoh-gopoh membawa barang belanjaanku. Meski swalayan hanya berjarak 100 meter tetapi aku takut saat sibuk bekerja sehingga tidak sempat untuk belanja. setidaknya barang dalam jinjinganku ini bisa mencukupi selama sebulan ke depan.Langkahku terhenti tepat di depan gerbang. Gelak tawa dari dalam rumah begitu menggema. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling rumah. Di garasi terparkir beberapa motor. Aku yakin Julian sedang mengajak temannya berkunjung ke rumah. Aku menarik nafas berat berusaha memaklumi sikapnya. Sedikit berfikir bijak bahwa dia bersedia melepas masa lajangnya di usia muda. Di usia dimana dia masih bisa menikmati kesendirianya.Aku melangkah masuk ke dalam rumah, melihat sepatu berserakah. Aku jongkok untuk menyusunnya di rak sepatu meski mereka hanya tamu dan mungkin sebentar lagi akan pulang.“Cari siapa tante?” tanya pemuda yang memakai sweeter hoodi berwarna kuning.“Siapa Doni?” ku lihat satu persatu
Mami Angel sedang bersantai di ruang nonton saat aku dan Julian masuk ke dalam rumah. Mami Angel sangat bahagia melihat kami berdua ada di rumahnya. Aku sedikit sedih jika mengingat kedatanganku untuk menghilangkan wajah bahagia di wajah Mami Angel.“Papi kemana Mami?” tanya Julian kemudian duduk di sofa depan TV. Aku sendiri memutuskan ke dapur untuk mengambil buah dan mengupasnya sebagai cemilan.“Lagi keluar negeri,’jawab Mami Angel.“Mami hadir saat aku menikah dulu? Sebelum menikah dengan Julian?” tanyaku hati-hati setelah bergabung dengan Julian dan Mami Angel.“Apa sih. Kok dibahas lagi?” bentak Julian.“Tidak sih. Tetapi Mami denger kok beritanya dari teman-teman Mami,” ujar Mami.“Kenapa tidak memberitahu Julian?” tanyaku berusaha menahan air mata yang hampir mengalir di pipiku.“Karena menurut mami.. itu masa lalu kamu. Julian tidak perlu tahu. Lag