Aku membuka pintu rumah dengan kasar. Tanpa membuka sepatu aku langsung masuk ke kamar bersiap untuk mengemasi barang-barangku. Lalu tiba-tiba aku sadar bahwa semalam aku datang bahkan tanpa membawa barang apapun. Julian begitu sempurna menyiapkan segalanya. Aku bahkan bermimpi kehidupan rumah tanggaku akan terus sempurna. Nyatanya di hari pertama pernikahan aku bahkan harus bersiap menyandang status janda.
Aku menarik nafas berat kemudian menjatuhkan bokongku di atas tempat tidur. Mengusap kasar rambutku ke belakang. Pandanganku menatap ke lantai hingga aku tersentak menemukan langkah seseorang yang semakin mendekat. Aku mendongak menatap Julian yang marah. Aku memalingkan wajahku.
“Perpisahan bukanlah sebuah penyelesaian,” bentak Julian.
“Kau pikir lari dari masalah dan mengadu pada Mami adalah sebuah penyelesaian,” kataku dengan tawa sinisku yang membuat raut wajah Julian menahan marah.
“Kau yang berbohong padaku,” bentaknya.
“Berbohong katamu?” lagi-lagi aku menjawabnya sinis. “Kau bahkan tidak pernah bertanya padaku,” lanjutku.
“Untuk apa aku bertanya?” teriak Julian dengan mata nanar. Disana sudah tidak ada lagi amarah, semua berganti dengan luka. Melihatnya aku merasa bersalah.
“Apakah jika kau memberitahuku, kau pikir aku akan mundur? Kau pikir aku tidak akan menikahimi?” teriak Julian lagi. Aku memalingkan wajahku. Aku sendiri tidak tahu kalau Julian tidak mengetahui masa lalu. Sesuatu yang sangat berat untuk aku ceritakan apalagi jika harus memberitahu calon suamiku. Alasan inilah mengapa aku menolak semua lelaki yang melamarku. Dan saat Julian datang sebagai pilihan orang tuaku, ku pikir semuanya sudah orang tuaku jelaskan. Aku tidak perlu membuka luka lama, cukup menyimpannya erat-erat lalu membuka lembaran baru.
“Apakah mereka tidak memberitahumu?” tanyaku hati-hati membuat Julian menatapku heran. Seakan bertanya kalau hal seperti ini adalah sebuah aib yang tidak akan pernah bisa diumbar.
“Apakah mereka tahu kalau kau seorang bicth?” kata Julian dengan penuh penekanan.
“Aku bukan seorang pelacur,” kataku bergetar. “Aku pernah menikah meski itu hanya pernikahan siri,” lanjutku. Aku menarik nafas berat. Lagi-lagi aku harus membuka luka lama.
FLASHBACK
“Saya terima nikah dan kawinnya Yumna binti Abidin dengan mahar seperangkat alat sholat dibayar tunai,” lafadz ijab qabul begitu lancar diucapkan oleh Mahendra Pratama. Wajahnya terlihat sangat bahagia saat semua orang teriak sah. Mahendra terlihat sangat gugup disaat pak penghulu membacakan doa untuk mereka namun Mahendra harus menelan pil kekecewaan saat Mahendra mengulurkan tangannya untuk berjabat dengan Yumna namun langsung ditepis olehnya.
“Aku ingin kita cerai saat ini juga,” begitu kata-kata Yumna tegas.
BACK TO REALITY
“Kenapa kau memilih pisah sebelum suamimu mendaftarkan pernikahan kalian?” tanya Julian ragu. Julian duduk di samping ku yang masih gusar.
“Akan sulit meminta pisah jika harus mendaftarkan terlebih dahulu pernikahan kami. bahkan mungkin nyaris tidak bisa pisah karena alasanku yang tidak mendasar,” jawabku dengan senyum dipaksakan.
“Kalian menikah karena sebuah perjodohan?” tanya Julian penasaran. Aku menggeleng.
“Lalu kenapa?” desak Julian.
“Aku tidak berniat untuk menjelaskannya. Toh kita akan segera berpisah,” kataku bangkit dari dudukku. Julian menghentakkan tanganku hingga aku kembali terduduk di sampingnya.
“Jangan cerai. Itu tidak akan menyelesaikan masalah. Kita mulai semuanya dari awal ya,” bujuk Julian. Aku menggeleng kemudian tersenyum menatapnya.
“Aku minta maaf. Aku memang kekanak-kanakan. Hanya masalah selaput dara, aku malah mengamuk. Tetapi bukan karena itu sebenarnya alasannya. Tetapi karena kau tidak mau terbuka padaku. Tidak menceritakannya,” jelasnya.
“Haruskah aku mengoyak hatiku untuk kebahagiaanmu?” tanyaku. Julian berlutut di hadapanku. Mengenggam jemariku di atas pahaku lalu menenggelamkan wajahnya disana. Jemariku basah karena air mata Julian. Isak tangis membuat tubuhnya bergetar.
“Kau itu seorang imam. Tidak boleh dan harusnya berfikir jernih sebelum berbuat. Sekarang kita bukan pacaran. Dimana semuanya bisa dimulai dan diakhiri dengan mudahnya. Toh yang terlibat hanya dua hati. Tetapi pernikahan tidak Julian,” kataku. Julian terlihat lebih tenang. Hanya sesekali dia terisak.
“Pernikahan melibatkan dua keluarga keras. Jika aku atau kau yang tersakiti. Atau mungkin kita berdua saling menyakiti. Maka kemungkinan untuk tetap bersama itu ada. Rasa cinta akan mengalahkan rasa sakit itu. Tetapi jika kau membawa masalah rumah tangga kita keluar rumah. Maka yang terlibat adalah keluarga besar kita dan menyelamatkan pernikahan adalah hal yang mustahil,” jelasku. Julian mengangguk. Dia beringsut naik duduk di sampingku. Menatapku. Aku tersenyum menatapnya. Dia lalu membaringkan tubuhnya dengan berbantalkan pahaku. Aku membelai lembut rambutnya.
“Belajarlah dewasa, Julian,” kataku. Julian mengangguk dengan mata tertutup. Tiba-tiba hpku berdering. Aku melihat layar hpku yang berkedip-kedip.
“Siapa?” tanya Julian.
“Dari kantor,” jawabku.
“Apa?” Julian langsung terlonjak kaget. Dia terduduk dengan tubuh menghadap ke arahku. Aku menatapnya heran.
“Kenapa mereka menelfon? Bukankah sudah ku katakan kalau kau harus mengundurkan diri,” kata Julian kemudian merebut hpku dan mematikannya.
“Aku kelelahan menghadapi sikapmu. Dengan bekerja bisa meringankan sedikit bebanku,” jawabku asal. Julian mengerucutkan bibirnya.
“Apakah kau semenderita itu bersamaku?’ tanya Julian lesuh.
Aku mengangguk. “Anehnya, hubungan suami istri memang berbeda dengan hubungan lainnya. Meski kau sedang marah dan membenci pasanganmu. Maka cinta akan melebur itu semua,” kataku. Julian mengangguk kemudian tersenyum. Julian mendekat kemudian memeluk tubuhku dari samping, melabuhkan kepalanya di pundakku.
“Tapi jangan menyelesaikan masalah dengan bercerai,” kata Julian. Aku mengangguk setuju. Aku mencoba melepas dekapan Julian tetapi dia berusaha untuk mempertahankannya.
“Sebentar saja,” kata Julian.
“Aku harus masak,” kataku. Julian langsung melepaskan rangkulannya lalu menatapku dengan mata bersinar.
“Kau bisa masak apa saja?” tanya Julian antusias.
“Entahlah. Kita belanja dulu. Aku lihat di kulkas hanya ada buah dan cemilan. Kau sendiri ingin makan apa?” tanyaku. Julian tanpa berfikir sejenak.
“Gimana kalau makan sup saja,” kata Julian. Aku mengangguk.
Aku memeriksa persedian makanan di kulkas. Hanya ada beberapa sayur. Julian sedang asyik main game di ruang nonton.
“Kau tidak ingin mengantarku belanja?” tanyaku. Julian menggeleng tanpa mengalihkan pandangannya dari layar tv. Aku mengendus kesal. Tetapi aku tidak bisa berbuat banyak. Toh aku tidak bisa memaksa dia untuk bersikap dewasa melampau usianya. Apalagi dia tumbuh dan besar dengan limpahan kasih sayang dan selalu bersikap manja.
“Kalau begitu aku pergi belanja dulu,” kataku. Julian hanya mengangguk. Aku menarik nafas sebal meninggalkan Julian yang asyik dengan gamenya. Bagaimana bisa aku mengharapkan pernikahan sempurna dengan lelaki labil seperti Julian. Aku menarik nafas berat lalu menghembuskannya lewat mulut. Aku mulai menyadari bahwa pernikahan tidak semudah yang aku bayangkan. Menyatukan dua otak yang berbeda pasti sangat sulit bagi kami. aku yang harusnya dimanja oleh suami harus siap memanjakan suamiku.
Aku tergopoh-gopoh membawa barang belanjaanku. Meski swalayan hanya berjarak 100 meter tetapi aku takut saat sibuk bekerja sehingga tidak sempat untuk belanja. setidaknya barang dalam jinjinganku ini bisa mencukupi selama sebulan ke depan.Langkahku terhenti tepat di depan gerbang. Gelak tawa dari dalam rumah begitu menggema. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling rumah. Di garasi terparkir beberapa motor. Aku yakin Julian sedang mengajak temannya berkunjung ke rumah. Aku menarik nafas berat berusaha memaklumi sikapnya. Sedikit berfikir bijak bahwa dia bersedia melepas masa lajangnya di usia muda. Di usia dimana dia masih bisa menikmati kesendirianya.Aku melangkah masuk ke dalam rumah, melihat sepatu berserakah. Aku jongkok untuk menyusunnya di rak sepatu meski mereka hanya tamu dan mungkin sebentar lagi akan pulang.“Cari siapa tante?” tanya pemuda yang memakai sweeter hoodi berwarna kuning.“Siapa Doni?” ku lihat satu persatu
Mami Angel sedang bersantai di ruang nonton saat aku dan Julian masuk ke dalam rumah. Mami Angel sangat bahagia melihat kami berdua ada di rumahnya. Aku sedikit sedih jika mengingat kedatanganku untuk menghilangkan wajah bahagia di wajah Mami Angel.“Papi kemana Mami?” tanya Julian kemudian duduk di sofa depan TV. Aku sendiri memutuskan ke dapur untuk mengambil buah dan mengupasnya sebagai cemilan.“Lagi keluar negeri,’jawab Mami Angel.“Mami hadir saat aku menikah dulu? Sebelum menikah dengan Julian?” tanyaku hati-hati setelah bergabung dengan Julian dan Mami Angel.“Apa sih. Kok dibahas lagi?” bentak Julian.“Tidak sih. Tetapi Mami denger kok beritanya dari teman-teman Mami,” ujar Mami.“Kenapa tidak memberitahu Julian?” tanyaku berusaha menahan air mata yang hampir mengalir di pipiku.“Karena menurut mami.. itu masa lalu kamu. Julian tidak perlu tahu. Lag
Julian menggeliat. Aku tersenyum melihatnya. Perlahan matanya terbuka dan tersenyum melihatku di sampingnya. Julian menyentuh wajah tirusku.“Aku tidak sedang mimpikan?” tanyanya. Aku mengangguk dengan air mata berlinang. Julian menghapus air mataku, lalu duduk bersandarkan kepala tempat tidur kami. aku duduk semakin mendekat ke arahnya. Julian meraih kepalaku lalu meletakkannya di bahuku.“Sekali-kali, aku ingin istriku manja padaku. Jangan aku terus yang bermanja padamu. Sekali-kali aku ingin kau berbagi beban denganku. Bukan aku terus yang membebanimu,” kata Julian. Aku mengangguk.“Jangan pernah meminta pisah. Apapun masalah kita tidak akan pernah selesai dengan kabur apalagi dengan kata cerai. Tetap bersamaku, hadapi masalah bersama dan mencari solusi. Bukannya kabur setelah mengatakan kata cerai, aku ketakutan,” kata Julian. Aku mengangguk kemudian mendongak untuk menatapnya. Baru saja dia ingin bicara, langsung ku sentu
"Aku mohon jangan pergi," rengek Julian sambil terus menarik lenganku."Inilah salah satu alasan aku menolal menikah. menyatukan dua otak berbeda itu sungguh sulit," kataku. "jadi kau menyesal menikah denganku?" rajuk julian. "jangan mengalihkan pembicaraan," bentakku. Julian mencibir."Ternyata seperti ini rasanya menikah," kata Julian kemudian tertawa bahagia."apa yang kau tertawakan?" bentakku."Rasanya nanonano," kata Julian. aku menarik nafas berat, sulit untuk berbicara dengan Julian. Aku menarik Julian ke sofa. dia cengegesan. "Apa yang kau inginkan?" bentakku pada Julian."bersamamu selamanya," kata Julian cenggesan. "tua sama-sama,""Itu hal yang mustahil," kataku.Julian menatapku tajam."Jika sikapmu masih seperti ini. maka pernikahan hingga akhir hayat itu mustahil," bentakku. Julian tertunduk sedih."Kalau begitu kita buat kesepakatan," kataku."Nikah kontrak maksudmu?" teriak Julian membuatku terkejut."bukan," kataku."Lalu?" tanya Julian."Syarat untuk tinggal ber
Aku menatap jengkel ke arah Julian yang terlelap di sofa. Claro tersenyum penuh kemenangan. Sekarang aku baru sadar bahwa dunia kami begitu berbeda. Aku meniinggalkan ruang tamu. memilih untuk istirahat di kamar. merenungi keputusanku yang mungkin salah karena menikahi bocah yang 10 tahun lebih muda dariku.Aku menarik nafas berat. Aku merasa lapar. aku memutuskan ke dapr. namun saat aku keluar kamat. Aku menyaksikan Claro bergelayut manja dilengan Julian. Aku lelah dengan semua ini. Julian tersenyum ke arahku, seakan tidak terjadi sesuatu. aku mengalihkan pandanganku. lalu berjalan menuju dapur. aku hanya membuat mie instant untuk menganjal perutku. tiba-tiba Julian datang saat aku tengah menikmati mie instant buataku."Buatku mana," kata Juian penuh semangat. aku menatap tajam ke arah Julian yang cengegesan. disaat bersamaan Claro datang."Kita makan diluar saja," kata Claro."Ayo," kata Julian tanpa peduli dengan perasaanku."Bukankah kalian akan berpisah?" tanyaku menghentikan la
Daichi-kun anak seorang konglomerat bernama Arata-san. Arata-san terkenal sangat disiplin, tidak peduli anak sendiri pasti harus ikut aturan kalau sudah urusan pekerjaan. Daichi-kun baru lulus kuliah dari luar negeri dan akan segera bekerja dengan di perusahaan ayahnya. Daichi-kun bersemangat berangkat pertama hari kerjanya karena ia ingin menunjukkan ia layak jadi pewaris perusahaan. Jangan sampai kakak tirinya, Akemi-kun diangkat jadi pewaris.Daichi-kun berangkat terburu-buru ke kantor. Naik Bus. Arata-san tidak memperbolehkan bawa mobil supaya tahu rasanya berjuang di hari pertama kerja. Daichi-kun kesal juga tapi tidak bisa membantah. Saat asyik mengejar sebuah angkot, Daichi-kun malah bertabrakan dengan seorang cewek penjual bubur gerobak, yang lagi bawa seamangkok bubur. Bubur sukses melumuri baju putih Daichi-kun . Daichi-kun marah-marah, tapi si cewek juga marah menuduh Daichi-kun yang nggak lihat jalan. Keduanya ribut di tengah jalan, sampe akhirnya si cewek sadar ge
Kenzo-kun (25) yang akan berangkat kuliah dikejutkan dengan kehadiran Koji -kun (10) yang mengaku sebagai anaknya. Dengan membawa bukti tes DNA plus no telfon Mamoru-san45) ayah Kenzo-kun. Jika Kenzo-kun macam-macam maka Koji -kun dan ibunya akan laporkan Kenzo-kun ke dokt
Awalnya kehidupan MIDA (25) dan HERMAN (25) suaminya baik-baik saja. Meski HERMAN hanya karyawan biasa di sebuah perusahaan, MIDA selalu bisa membagi gaji HERMAN untuk keperluan MIDA dan BU MARWAH (50) ibu HERMAN. Meski BU MARWAH selalu menghina MIDA karena dianggap pelit dan menguasai gaji HERMAN. Belum lagi keadaan MIDA yang tidak kunjung hamil padahal sudah setahun menikah. MIDA diam-diam selalu bersedekah pada anak-anak jalanan, MIDA berharap suatu saat bisa punya anak.Suatu hari HERMAN mengalami kecelakaan hingga kakinya harus diamputasi. Uang pesangan dari tempat HERMAN kerja digunakan untuk biaya rumah sakit dan sisanya diambil oleh BU MARWAH sebagai modal usaha sembako. BU MARWAH selalu mengeluh karena HERMAN dan MIDA hanya jadi parasit baginya. Padahal MIDA bekerja seperti asisten rumah tangga, sedangkan HERMAN membantu BU MARWAH untuk mengurus toko sembako. Sampai BU MARWAH tahu kalau pengemis di jalanan bisa menghasilkan uang yang banyak. BU MARWAH memaksa HERMAN untuk men