Share

04

HAPPY READING!!!

'Gak usah ngelarang. Kalo Lo Sendiri gak suka dilarang-larang.'

*

Orang itu mulai melangkah maju. Sedangkan Talita terus mundur sampai ke tepi rooftop dan hampir saja terjatuh kalau bukan ditahan dengan orang yang tidak dikenalnya itu.

"Tenanglah. Jangan kesini. Nanti kau jatuh terus mati, itu sangat merepotkan nantinya. Duduk saja." Katanya dengan bahasa baku menyuruh Talita duduk di sofa usang yang berada disana. Mau tak mau Talita menurutinya dan duduk disofa itu.

Orang itu berjongkok dihadapan Talita. Dengan tangan yang dilapisi sarung tangan lateks berwarna hitam, ia memegang tangan Talita dan mengelusnya lembut. "Tanganmu sungguh lembut sekali nona. Apa tangan ini digunakan untuk berbuat hal jahat seperti membully orang lemah?" Tanyanya lalu menggenggam tangan Talita erat sampai merintih kesakitan.

Orang itu tersenyum dibalik topeng yang dipakainya lalu mengendurkan genggaman tangannya di tangan Talita. "L—lo mau apa? Ja—jangan sakitin gue. Please!" Mohon Talita dengan air mata yang sudah mengalir.

"Tenang saja. Aku tidak akan menyakitimu nona. Aku hanya ingin kau membayar hutangmu padaku."

"Be-beneran? Gue punya hutang berapa sama Lo?" Tanya dengan terus menangis.

"JANGAN MENANGIS! Saya paling benci liat orang lemah!" Bentaknya yang membuat Talita berhenti menangis. "Ulurkan tanganmu." Titahnya yang membuat Talita mau tak mau menurutinya lagi.

Talita mengulurkan tangannya  ke hadapan orang itu. Sedangkan orang itu mengelus lengan mulus Talita lalu mengambil sesuatu dari saku Hoodienya dan langsung menancapkannya dilengannya yang membuat Talita seketika langsung pingsan.

"Oy!" Panggil seseorang dari depan pintu rooftop lalu menyenderkan punggungnya ke tembok sembari bersedekap dada.

"Tutup pintunya."

Cowok itu menutup pintunya dan duduk tak jauh dari tempat Talita. "Mau apa sih, Fi?" Tanya orang ber-hoodie itu.

"Seperti biasa ye. Maennya Alus bener, ye kan. Na?" Ana melempar topeng yang dipakainya kearah Alfi dan menatapnya kesal 

"Ganggu Mulu Lo kambing!" Ketusnya.

"Lanjut aja. Btw, gak Lo suntik mati kan nih orang?" Tanya Alfi melirik ke arah suntikan di tangan Ana yang masih menancap dilengan Talitha.  Ana menggeleng. "Kagak elah. Cuma gue suntik, kasih obat bius sama obat tidur. Biar gak Berisik!"

"Lanjut dah!" Suruh Alfi santai.

Alih-alih bukannya menghentikan. Alfi justru membiarkannya, ia hanya menonton dan menikmati apa yang sedang terjadi didepannya itu. 

'Gak usah ngelarang. Kalo Lo Sendiri gak suka dilarang-larang.' begitulah prinsip Ana dan Alfi. Yang selalu mereka yakini dari dulu sampai sekarang. Mereka tidak akan saling melarang melakukan hal yang disukainya, kecuali hal itu sudah kelewatan baru akan dihentikan.

Ana terdiam dan melihat jari-jari Maia didepannya. Dia yang merasa bingung pun berniat meminta pendapat ke Alfi yang sedari tadi hanya menonton saja. "Ki—"

"Jari telunjuk aja. Biar dia gak bisa ngupil." Katanya lalu tertawa sebelum Ana meyelesaikan perkataannya.

"Boleh." Ana tersenyum miring lalu mengambil sesuatu di dalam saku Hoodienya.

Penggaris kecil.

Ana selalu menggunakan dan membawanya kemana pun. Penggaris itu bukan sembarang penggaris. Dengan sedikit di modifikasi dengannya dan ditambah ujung mata pisau yang tajam. Membuatnya tersenyum melihatnya.

Ia meletakkan penggarisnya diatas jari telunjuk tangan kanan Talita. Dia menyesuaikan dengan ukuran jarinya lalu mengangkat penggarisnya.

KRAK!

Dengan sekali hentakkan, penggaris itu langsung bisa mematahkan jari telunjuk tangan terpasang cicin emas itu. Ana tersenyum dan mengambil jarinya, tanpa menghiraukan darah yang terus keluar dari tangan Talita. Ia melepaskan cincin itu dan meletakkannya disebelah tangan Talita.

"Gue gak berniat buang ngambil barang-barang Lo. Gue cuma mau ambil jari Lo." Ucap Ana Tersenyum puas lalu memasukan jari itu kedalam plastik.

"Bayarannya udah gue terima." Ana mengangkat plastik berisi jari telunjuk milik Talita, lalu memasukkannya kedalam saku Hoodienya.

"Pulang sekarang?" Tanya Alfi setelah selesai mengobati jari Talita. Ana mengangguk lalu meletakkan sebuah catatan kecil disana.

"Yok!" Ana melangkahkan kakinya meninggalkan Alfi disana. "Maafin temen gue ya. Lain kali, Lo jangan coba-coba buat cari masalah sama dia, kalo gak mau kayak gini lagi" Gumamnya melihat Talita yang masih tak sadarkan diri lalu melangkah pergi dari sana.

*

Ana memberhentikan motornya dihalaman depan rumah berukuran sedang itu. Setelah melepas helmnya, ia langsung melangkahkan kakinya menuju ke halaman belakang lewat samping. Sebelum benar-benar sampai dihalaman belakang rumah, di memberhentikan langkahnya dan menengok ke orang yang berada dibelakangnya.

"Lo ngapain ngikutin gue njir??" Tanyanya kesal ke arah Alfi yang membututinya sedari tadi disekolah sampai kesini.

"Mau ngikutin aja. Toh, daripada gue dirumah. Gabut. Mending disini... Gangguin Lo," sahutnya sembari mencubit hidung perempuan didepannya itu.

"Terserah." Sahut Ana tak mau ribet. Ia meletakkan tasnya ke saung yang berada disana dan langsung menghampiri beberapa orang yang berada disana.

PLAK!

"Yo! Mau latihan Lo?" Tanya orang yang tiba-tiba saja datang dari belakangnya dan memukul kepalanya pelan.

"Gak usah ngeplak pala orang Mulu bisa gak sih?! Anta kampret!" Ketus Ana berbalik lalu memukul dada bidang orang didepannya.

PLETAK!

Lagi dan lagi, Jidat Ana kembali disentil dengan lelaki yang dipanggil Anta itu. "Kakak! Atau Abang gitu? Manggil nama Mulu,"  Ana mencibir pelan saat mendengarnya. "Cuma beda dua tahun doang, kok ribet?" Gumamnya.

"Apa?" Tanya Anta.

Atlanta Prayudha. Seorang lelaki tinggi, berkulit putih dengan alis yang tipis namun buku matanya panjang dan lentik. Matanya yang berwarna coklat terang persis sekali dengan mata bapaknya. Dia adalah Anak dari Aidinal dan Ipeh. Atau lebih tepatnya Ipeh merupakan ibu sambungnya setelah ibu kandungnya meninggal beberapa tahun lalu.

"Udah sana lo! Ada si Alfi noh!" Tunjuk Ana kearah Alfi yang sedang duduk dan memperhatikan mereka dari jauh.

Tanpa mengucapkan apapun, Anta Langsung pergi dari sana menghampiri Alfi untuk diajak Mabar seperti biasa.

"Baru dateng lo Na?" Tanya seseorang yang datang dari belakang Ana. Orang itu mengelap keringatnya yang membanjiri wajahnya bahkan tubuhnya juga sampai bajunya terlihat sangat lepek.

"Hm." Gumam Ana menyahutinya pelan. "Nyebur dimana Lo? Lepek amat." Sindirnya

"Lo lama datengnya sih. Jadi gue tinggal. Gue udah keliling sepuluh kali  ini komplek dari tadi." Sahut orang itu sembari duduk dan meluruskan kakinya.

"Parah banget, ninggalin." Kesal Ana. "Ayo lari lagi?" Ajaknya.

"Besok aja. Capek gue wey." 

"Ah! Lemah Lo Fi!" Sindir Ana sembari melakukan peregangan dan membuat orang itu menautkan alisnya heran lalu tersenyum miring.

"Bapeerrr," Ledeknya.

"Berisik!" 

Ragiel Fadl Kafi. Seorang Anak laki-laki dari pasangan Nadya dan Dino. Dia memiliki tubuh yang tidak terlalu tinggi. Bisa juga dibilang pendek, kalau dipantarkan dengan laki-laki lain. Dia memiliki mata berwarna hitam pekat, dengan alisnya yang tebal. Berkulit sawo mateng dan juga memiliki rahang yang tegas. Bisa Membuat perempuan lain saat melihatnya langsung klepek klepek. 

"Baru balik sekolah, Lo? Makanya telat?" Tanya Kafi.

"Gak. Dari tadi." Sahut Ana lalu duduk disebelah Kafi. "Cuma ada urusan aja."

"Lo mulai lagi kan? Hm?" Ana yang mendengar itu, spontan menutup mulut Kafi dengan tangannya dan menengok ke kanan-kiri. "Jaga omongan Lo. Jangan sampe mereka pada tau! Apalagi bonyok gue!" Peringatnya.

Kafi mengangkat bahunya acuh tak acuh. Ia nyengir dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Santai aja. Toh, mereka udah pada tau juga." Katanya santai.

*

—TO BE CONTINUE—

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status