“Kalau mau bicara soal kerjaan besok saja gua lagi sibuk,” ungkap Daffin lagi dan langsung mematikan sambungan teleponnya. Kemudian ia mematikan ponselnya agar tidak ada lagi yang mengganggu kegiatan malamnya ini.
Di seberang sana Reiki yang tadi menelepon bosnya itu sekedar ingin memberitahukan jika mereka besok akan ada pertemuan penting dengan salah satu klien dari luar negeri. Namun, belum sempat Reiki memberitahu sambungan telepon itu sudah diputus Daffin.
“Huuft.”
Hembusan nafas Reiki terdengar begitu berat. Susah menghadapi sang bos yang moodnya berubah-rubah dan ia sampai saat ini tidak mengetahui sela-nya.
Reiki yang masih bingung dengan pertemuan besok apakah akan berlangsung apa tidak. Berbeda dengan Daffin yang kini telah kembali melakukan aktivitas panasnya.
Alvira yang tadi duduk di atas meja mini bar telah ia turunkan dan digedongnya diletakkan di sofa living room. Sofa yang mempunyai ukuran hanya
Daffin mengerjapkan matanya saat cahaya matahari dari bilik tirai itu mengganggu tidur nyenyaknya. Perlahan ia membuka matanya. Saat mata itu berhasil dibuka, pertama kali yang ia lihat adalah wajah sang istri yang kini tengah berada di dadanya.Kedua sudut bibirnya langsung mengembangkan senyuman yang begitu lebar. Setelah pertempuran semalam yang di lakukan hingga beronde-ronde. Membuat Alvira susah sekali membuka matanya. Hingga saat ini dirinya masih tertidur begitu nyenyaknya di dada Daffin berselimutkan kain tebal yang menutup kedua tubuh mereka yang tidak menggunakan apapun.Daffin bergerak secara pelan, bibirnya kini menyentuh kening Alvira.“Terima kasih atas semua yang kamu berikan saat ini, aku merasa ini adalah hal yang begitu sangat bahagia buatku,” ungkap Daffin pelan sambil memandangi wajah Alvira yang tampak begitu cantik dan natural.Terlihat Alvira mulai bergerak pelan. Namun, ternyata matanya masih tertutup rapat, dan ia hanya berpindah posisi tidur saja yang semak
Panggilan video call masuk di ponsel Daffin. Nama sang mami tercinta tertera di layar pipih itu.“Mami,” ujar Daffin kepada Alvira.“Ya, udah angkat.”Dengan santainya Alvira menyuruh Daffin menjawab panggilan tersebut. Tanpa sadar jika mereka saat ini hanya menggunakan batrobe saja.“Panggilan video call,” ujar Daffin lagi.Seketika Alvira menepuk keningnya mendengar ucapan dari Daffin. Matanya langsung tertuju pada tubuhnya yang hanya berbalut batrobe saja.“Kamu aja yang jawab, bilang aja habis mandi,” usul Alvira.Akhirnya Daffin menggeser icon hijaunya, setelah panggilan itu tidak mau berhenti.“Iya mi,” sapa Daffin begitu terlihat jelas wajah Shela dilayar pipih itu.“Hey, Alvira mana? Mami kangen nih sama dia,” sahut Shela.“Lagi di kamar mandi mi.”“Bagaimana pengobatannya mi?” tanya Daffin lagi.“Lancar Fin, kamu katanya sama Alvira mau ke sini?” terdengar suara sang papi yang berada di sebelah sang istri tercinta.“Maaf mi, Pi, sepertinya kami nggak bisa ke sana soalnya Alvi
Belum sempat Daffin menjawab panggilan teleponnya suara Alvira dari dalam kamarnya menghentikan pergerakkan tangannya. Kini kakinya melangkah dengan cepat menuju kamar mereka.“Ada apa?” tanya Daffin begitu pintu kayu berwarna putih itu berhasil di bukanya.Terlihat Alvira sedang berdiri di atas ranjang sambil kedua tangannya menahan batrobe matanya mengintari lantai.Daffin jalan mendekat,” Kenapa?” tanyanya lagi.“I-itu ada kecoa besar,” lirih Alvira, membuat Daffin langsung melebarkan senyumnya.“Sama kecoa aja takut. Di mana?” tanya Daffin, dengan posisi yang menunduk mencari keberadaan kecoa yang dibilang oleh wanita tercintanya.“Ada di situ tadi, coba cari di sana,” balas Alvira menunjukkan letak di mana ia bertemu dengan kecoa itu.Alvira menunjuk lantai bawah dekat kamar mandi mereka. Daffin masih berusaha mencarinya.“Apa bibi nggak membersihkan ini apartemen? Kenapa ada kecoa masuk,” gumam Daffin, tanpa mengalihkan perhatiannya dari lantai.“Nah itu dia!”seru Daffin begitu
Wanita dengan manik hitam segelap malam itu menatap ke arah pria paruh baya di hadapannya dengan mata membulat, ekspresi wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan atas semua hal yang baru saja dia dengar. "Ayah!" teriak wanita itu, tak mampu menahan amarahnya lagi. "Demi seorang jal*ng, Ayah mengusir kami?!" Jarinya menunjuk ke arah seorang wanita muda yang memasang wajah ketakutan di belakang sang ayah. Tentu saja itu hanya sebuah kepura-puraan. "Dasar rubah!" gumam Alvira yang masih bisa didengar oleh ayahnya. "Alvira! Jaga ucapanmu!" "Sudah, ayo kita pergi dari sini, tidak usah membuat tenaga kakak habis hanya gara-gara sampah seperti mereka!" Raka membawa kakak dan ibunya untuk menjauh dari rumah yang sejak kecil ia tinggali. Alea tidak mampu berkata, hatinya begitu rapuh saat mengetahui orang yang dicintai sudah berhianat. Dengan mengeret koper ia meninggal rumah megah yang banyak kenangan di dalamnya. Mereka pergi tidak membawa apa-apa hanya pakaian
Setelah pertemuan itu selesai Daffin segera keluar dari restoran tersebut untuk kembali ke kantor. Namun, saat ia sudah sampai di pakira mall, tidak sengaja ia menabrak seseorang lagi. Orang yang sama seperti di kampus tadi. “Elo,” ucap Alvira penuh penekaan saat melihat orang yang berada tepat di depannya. “Lo lagi, lo lagi,” ucap Daffin tak kalah sinis dengan Alvira. Karena keduanya tadi sibuk dengan ponsel mereka masing-masing jadi mereka tidak melihat saat berjalan. Tidak ada kata maaf keluar dari mulut mereka, keduanya malah saling melemparkan tatapan sinis. Alvira ditarik oleh vita untuk segera masuk ke dalam mall. Mereka saat ini berada di mall karena dosen yang mau mereka datangi tidak hadir, jadi vita mengajak alvira untuk mencari buku dan alat penunjang lainnya untuk persiapan KOAS yang sebentar lagi mereka jalani. “Kenapa sih harus ketemu dia lagi,” gerutu Alvira sambil berjalan mengikuti vita. “Jodoh lo kali,” sahut vita as
Vita kini menepikan mobilnya tepat di depan rumah Alvira, rumah dengan nuansa putih bersih itu tampak sepi. Alvira keluar dari mobil Vita tidak lupa ia mengucapkan terima kasih. Setelah Alvira keluar vita kembali menacapkan gasnya meninggalkan pelataran rumah Alvira. Alvira berjalan masuk ke dalam rumah. “kenapa vitanya nggak disuruh masuk sayang?” tanya Alea “Sudah sore bu,” jawab Alvira lalu bergabung bersama ibu Alea di ruang tengah. “Sayang ibu mau bicara sama kamu,”ujar Alea menatap manik mata anaknya dengan intens. “Bicara aja kali bu, biasanya juga langsung ngomong,” jelas Alvira. Alea diam ia menarik nafasnya dan membuangnya secara kasar, melihat ibunya yang serius Alvira mengerutkan keningnya bingung. Ia pun menunggu ibunya untuk mulai berbicara. “Gini tadi kevin ke sini bersama keluarganya,” ucap Alea. Alea sengaja menjeda pembicaraannya ingin melihat reaksi anak sulungnya itu gimana pun ia tidak ingin membuat anaknya
Alvira mencuri pandang pada Kevin, seandainya Kevin tidak berselingkuh mungkin ini adalah kabar yang paling mengembirakan untuk dirinya. Ia juga ingin menolak secara langsung tidak bisa karena Kevin telah banyak membantunya, Kevin juga yang sudah membantu keuangannya saat ingin membeli rumah yang sekarang ia tempati bersama ibu dan juga adiknya. Saat itu Alvira ingin menyicilnya namun Kevin menolaknya. Sekarang ia hanya akan mencari alasan untuk memperlambat acara pernikahannya. Setelah ia berhasil mengumpulkan uang banyak ia akan membayarnya pada Kevin biar dirinya tidak berhutang budi. Mengingat uang, ia pun belum tau apa bisa mengumpulkan uang sebanyak itu. Soalnya kuliahnya saat ini pun memerlukan banyak biaya. "Apakah ayah masih mau memberikan aku uang?" batin Alvira yang mengingatkan kalau dirinya susah untuk bertemu sang ayah. “Silahkan duduk,” titah Kevin dengan suara lembutnya sambil menarik kursi yang ada di depan. Alvira hanya mengikuti saj
Reiki mengikuti langkah Daffin, Sampainya di basement pak Budi sudah siap di dalam mobilnya. Jika Daffin lembur dua orang inilah yang selalu menemaninya dan terpaksa ikutan untuk lembur juga. Jalanan kota Jakarta sudah tampak lenggang, jam sudah menunjukkan pukul 12:22. Hanya untuk menghasilkan produk yang terbaik Daffin rela untuk lembur hingga dini hari, jika tidak mengingat anak buahnya ia akan lembur hingga pagi menjelang. Pak Budi sopir pribadi Daffin mengantarkan Daffin lebih dulu ke apartementnya barulah ia mengantar Reiki dan terakhir barulah ia pulang ke rumah. Daffin memilih tinggal di apartement karena ia ingin sedikit bebas dan tidak terus di tanya oleh sang mami soal calon pendamping hidup. Apartment yang terletak di daerah semanggi memiliki fasilitas yang cukup memuaskan untuk penghuninya. Dengan menggunakan private lift Daffin sudah sampai di dalam apartemantnya. Ia meletakkan jas dan juga tasnya di sembarang tempat, ia menghempaskan bo