Karena yang dicarinya tidak ketemu Daffin kembali ke meja yang terdapat papi dan maminya di sana.
“Liat tuh para sahabat kamu pada bawa gandengan, kamu kapan Daffin?” tanya mami penuh penekanan, sambil melirik orang-orang yang berada di sekitar mereka.
“Sabar mi, nanti juga kalau sudah waktunya pasti Daffin kenalkan sama mami,” ucap Daffin.
“Iya tapi waktunya itu kapan?”
“Apa kamu sudah ada cuman nggak mau dikenalkan sama mami?” tanya Shela lagi.
“Jodoh Daffin masih dijaga orang nih,” celetuk Daffin asal.
“Apa?” tanya Shela yang menang tidak mendengar ucapan Daffin karena Daffin mengucapkannya sangat pelan.
“Enggak mi, bukan apa-apa.”
Selesai acara Daffin beserta papi dan maminya meninggalkan tempat acara. Dengan menggunakan mobil masing-masing mereka berpisah di basement hotel.
Daffin masih ditemani oleh Reiki dan pak Budi. “Langsung ke apartemen aja ya pak!” titah Daffin.
Pak Budi hanya mengangguk seba
Papi Ahmad membuka pintu ruang Shela, ia langsung berjalan mendekat mami. Duduk di sisi mami Shela sambil membelai rambut Shela dengan lembut. “kenapa kamu nggak bilang sakit parah seperti ini?” Lirih Ahmad, ia sudah tidak kuasa menahan air matanya agar tidak jatuh. Air mata itu menetes perlahan, Daffin yang mengetahuinya langsung mendekat ke arah sang papi mencoba untuk menenangkan. Kini mereka saling berpelukan mencoba untuk menguatkan diri. “Apa kita bawa mami ke Singapura aja ya?” tanya Ahmad pada putra satu-satunya itu. “Kalau itu yang terbaik kenapa tidak, tapi sepertinya kita harus menunggu mami benar-benar stabil dulu, baru kita bisa membawa mami,” jawab Daffin. Ahmad menyetujui ucapan Daffin. Mereka pun kembali diam sambil menatap wajah Shela yang pucat. Pikiran Ahmad kini kembali pada adik satu-satunya yang telah lama dipanggil yang maha kuasa. Sama seperti sekarang, waktu itu Ahmad juga lah yang menemani adiknya di rumah sakit sampai
Papi Ahmad tidak bisa menghentikan tangisnya. Tangisnya begitu pecah saat mengetahui kalau sang istri tidak ingin membuat dirinya susah dan bersedih. “Mami kenapa bilang seperti itu, mami nggak nyusahin papi kok,” ucap Ahmad disela-sela tangisnya. “Kita berobat ya mi, mami harus sembuh,” sambung Daffin yang masih berada di samping Shela. “Iya mami mau berobat, untuk kalian,” sahut Shela sambil menatap dua orang kesayangannya. Mereka bertiga saling berpelukan mencurahkan kasih sayang satu sama lain. “Mami boleh minta permintaan nggak sama kamu?” Ucap Shela pada Daffin. Daffin tampak bingung ia mengerutkan keningnya,” Mami mau apa?” tanyanya kemudian. “Mobil, tas, pergi liburan, Semua bakal Daffin turuti asal mami bahagia dan cepat sembuh ya,” lanjut Daffin kemudian mencium punggung tangan Shela. Shela menggelengkan kepalanya. Daffin dan papi Ahmad saling bertatapan tidak mengerti apa yang ingin mami Shela m
“Lepasin nggak kalau enggak gua teriak nih,” ucap Alvira dengan sinis. Perlahan Daffin melepaskan genggamannya. Ia menurunkan kaca matanya,” Loe mau apa sih sebenarnya?” tanya Daffin yang sudah menatap Alvira. “Elo ini memang ya nggak ngerti apa yang gua bilang tadi?” cerca Alvira. “Elo minta gua tanggung jawab?” “Tanggung jawab untuk apa?” tanya Daffin lagi dengan santai. “Ih loe memang ya nggak punya perasaan,” ucap Alvira sedikit teriak. “Usstt nggak boleh teriak-teriak nggak enak dilihat orang,” ucap Daffin. “Gua cuman cium lo, bukan nidurin lo. Gitu aja minta tanggung jawab. Dasar aneh, lo nggak pernah ciuman yah,” lajut Daffin sedikit mengejek Alvira. Merasa capek debat dengan Daffin, Alvira pun bangkit dari tempat duduknya sambil mengenggam kedua tangannya di samping. Sebelum ia pergi Alvira ingin menyiram Daffin dengan minuman yang ada di meja itu. Namun pergerakannya bisa dibaca oleh Daffin. Dengan mudah Daffin
Daffin sedang menunggu Alvira kembali ke ruangan maminya.”Semoga saja ia tidak berbohong,” batin Daffin. Papi Ahmad sedang berada di luar ruangan bersama mami Shela. Shela ingin berjalan-jalan di taman rumah sakit, ia bosan harus berdiam diri di kamar terus. Dengan menggunakan kursi roda mami didorong oleh papi menikmati suasana sore hari di rumah sakit. Shela tersenyum kala melihat sinar matahari, di dalam kamar ia terlalu lelah karena harus tiduran terus. Saat Shela menikmati udara sore hari tidak sengaja matanya melihat Alvira berjalan dengan seorang wanita sambil tertawa. “Pi, bukannya itu Alvira yah?” tanya Shela sambil menunjuk kedua wanita yang tengah melintas di depannya. “Iya mi,” jawab Ahmad singkat. “Alviraaa...,”teriak Shela. “Mami apaan sih,” tegur Ahmad. Karena saat Shela berteriak orang yang berada di sekelilingnya melihat ke arah mereka. Alvira yang mendengar namanya dipanggil, terus menghentikan langkah
Saat Daffin dan Alvira sudah keluar dari ruangan mami Shela. Alvira langsung menyodorkan banyak pertanyaan pada Daffin. Sambil kakinya melangkah ke parkiran mulut Alvira pun tidak berhenti berbicara. “Lo duduk diam di situ, nanti gua jelasin semuanya,” titah Daffin saat membuka pintu mobilnya. Daffin kemudian menjalankan mobilnya menuju restoran. Sambil makan ia ingin melakukan penawaran terhadap Alvira. Sekarang keduanya sudah berada di sebuah restoran di salah satu mall ternama di Jakarta. Daffin menyuruh Alvira untuk memesan makanan yang ia mau. “Cepat jelasin ke gua apa yang sebenarnya lo inginkan!” ucap Alvira dengan suara sedikit tinggi. “Nggak usah teriak-teriak juga kali, pendengaran gua masih berfungsi dengan baik,” jawab Daffin masih dalam keadaan tenang. Percakapanya itupun terhenti ketika pelayanan mengantarkan pesanan mereka. “Makan yuk, lo pasti udah laparkan!” ajak Daffin. Alvira tidak membalas ia
Daffin masih menanti kehadiran Alvira, Reiki juga belum ada kabar mengenai nomor ponsel Alvira. Hendrik diam memperhatikan Daffin yang sudah beberapa kali mengusap rambutnya dengan kasar. “Kamu sudah dapat nomor ponselnya?” tanya Daffin dengan suara yang sedikit kencang melalui sambungan intercome. “Belum pak ini masih saya usahain,” sahut Reiki sedikit kesal. “Cepat cari kalau tidak....” Suara Daffin terpotong saat pintu ruangannya dibuka, sosok Alvira masuk dengan sedikit senyum. Sebelum masuk tadi Alvira sempat mengentuk pintu namun tidak ada jawaban jadi ia langsung saja masuk. Daffin langsung menutup telpon. Kemudian jalan mendekat ke arah Alvira. “Lo kenapa lama, Lo tau kan kita janjian jam berapa?” Ceraca Daffin sambil melihat jam di pergelangan tangannya.” Alvira yang baru saja masuk langsung di cerca seperti itu hanya memutarkan bola matanya jengah,"Ya sudah kalau tidak jadi gua balik aja lagi,” dumel Alvira. A
Kini mereka sudah berada di sebuah butik. Alvira kaget begitu mengetahui langkah Daffin masuk ke sana. Butik yang sama saat dirinya diajak Kevin untuk membeli baju. Butik miss Salsa memang terkenal di kalangan para pejabat dan selebriti. Banyak dari mereka yang ingin dibuatkan oleh salsa. Tidak kecuali dari keluarga Daffin. “Di mana Salsa?” tanya Daffin pada salah satu karyawan yang berada di meja resepsionis. “Ada apa cari-cari gua?” Salsa keluar dari ruangan yang bertuliskan CEO lalu balik bertanya sambil jalan mendekat dengan gayanya yang gemulai. “Mau buat baju lah masa mau ngajak loe kencan,” celetuk Daffin. “Kalau mau diajak kencan juga gua bersedia kok ganteng,” jawab salsa sambil mendekat pada Daffin dan memengang rahang mulus Daffin. Seketika itu juga Daffin bergendik ngeri melihat
Kini Alvira dan Kevin sudah berada di kafe yang letaknya di pinggir laut, menikmati suasana sore ditemani dengan deru ombak dan angin laut yang menyejukkan. Sambil menunggu pesanan datang Alvira dan Kevin memandangi keindahan sunset. Tangan Kevin tidak terus menggenggam tangan Alvira di atas meja, tidak ada pembicaraan diantara mereka. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Sengaja Alvira tidak berbicara lebih dulu, ia tidak mau Kevin nantinya tidak berselera makan.Sekitarlima belas menit menunggu akhirnya pesanannya datang. “Kamu tadi katanya mau bicara?” Kevin bertanya sambil menyendokan makanan ke dalam mulutnya.“Nanti aja ya sekarang kita makan dulu,” jawab Alvira.Kevin sedikit bingung dengan sikap Alvira kali ini, Alvira tidak cuek dan selalu bersikap lembut padanya. Biasanya jika bersama dirinya Alvira akan