Home / Horor / Pesugihan Genderuwo / Chapter 101 - Chapter 110

All Chapters of Pesugihan Genderuwo: Chapter 101 - Chapter 110

120 Chapters

101. Aku adalah Kamu

“Panas… Panas!”Bagas terus mengguyur tubuhnya dengan air dingin dari ember. Namun, rasa terbakar itu tidak kunjung hilang. Kulitnya merah seperti habis dijilat api. Napasnya tersengal-sengal, keringat bercucuran di antara siraman air. Tapi ini bukan hanya panas fisik, melainkan ketakutan yang merayap di benaknya.Dia tahu, apa yang dia lakukan tadi telah membuka pintu bahaya yang lebih besar. Genderuwo itu tidak akan pernah puas—tidak sampai mendapatkan apa yang telah dijanjikan."Aku yakin … pasti ada yang tolong Ratih!" gumamnya penuh amarah. Matanya merah menatap bayangan dirinya di air.Tiba-tiba, suara berat dan serak terdengar di belakangnya.“Bagas … Kamu telah lama tidak memberikan aku persyaratan itu.”Suara itu seperti gemuruh, membuat tubuh Bagas gemetar. Dia menoleh cepat, dan di sana berdiri sosok besar dengan tubuh berbulu hitam legam, mata merah menyala seperti bara api. Genderuwo itu melangkah mendekat, setiap langkahnya mengguncang lantai kayu rumah.“T—tunggu! Beri
last updateLast Updated : 2024-12-16
Read more

102. Mengubur Hidup-hidup

"Aku harus kasih tahu warga!"Seorang petani yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya di ladang Bagas melangkah cepat menjauh dari rumah Bagas. Keringat bercucuran di wajahnya, bukan karena lelah, tetapi karena rasa takut yang menghantuinya. Petani itu berasal dari desa seberang, cukup jauh dari Desa Karang Jati, namun malam ini dia menyaksikan sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.Bruk!Tak sengaja, beberapa gentong air yang berada di dekatnya terjatuh. Suara keras itu memecah kesunyian malam. Seketika, jantung petani itu berdetak kencang, lebih cepat dari sebelumnya. Dia mendengar suara Bagas dari dalam rumah."Siapa itu?!" teriak Bagas dengan nada curiga.Petani itu panik. Dengan cepat, dia bersembunyi di bawah tumpukan karung goni di samping gudang kecil yang ada di dekat rumah Bagas. Nafasnya berat, dan tangannya gemetar. Dia memejamkan mata, berharap kehadirannya tidak terendus.“Huff, aku nggak boleh ketahuan!” gumamnya pelan, berusaha menenangkan dirinya sendiri.Namu
last updateLast Updated : 2024-12-16
Read more

103. Panen Busuk

"Juragan! Ada orang dari kota mencari Juragan!" seru salah satu pekerja dengan wajah panik.Bagas segera bergegas ke ladang. Di sana, seorang pria paruh baya berpakaian rapi berdiri dengan tangan bertumpu di pinggang, ekspresinya tegas."Anda mencari saya?" tanya Bagas dari belakang, suaranya berat namun penasaran.Pria itu berbalik. "Oh, kamu Bagas?""Ya, benar. Ada apa?" Bagas merasakan firasat buruk menjalar di dadanya.Pria itu menarik napas panjang sebelum berkata, "Saya hanya ingin memberitahu, mulai hari ini ... kami menghentikan pembelian sayur dan beras dari ladangmu."Bagas terdiam sejenak, seolah waktu berhenti. Kata-kata itu menghantamnya seperti batu besar. Dengan nada tinggi, dia membalas, "Kenapa, Pak? Apakah hasil panen saya kurang baik?"Pria itu menatapnya dengan dingin. "Ya, benar. Kualitasnya buruk sekali."Bagas tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Tapi selama ini semuanya baik-baik saja, kan? Apa ada masalah baru?" tanyanya tak terima.Tanpa berkata banyak
last updateLast Updated : 2024-12-17
Read more

104. Ratih Mendatangi Bagas

"Argh! Aku harus bicara dengan Mas Bagas!" Ratih bangkit dari duduknya, bersiap pulang ke rumah Bagas. Dia ingin suaminya sadar atas semua kesalahannya. Ratih tinggal di kontrakan, jauh dari rumah itu. Namun, setiap hari dia dihantui oleh bayangan Genderuwo. Desas-desus tentang Bagas terdengar di mana-mana. Warga sering membicarakan suaminya dengan nada sinis. Ratih hanya diam, tidak pernah menjawab. Ratih merasa iba dan kasihan pada Bagas. Jika terbongkar, Bagas bisa diusir dari desa. Bahkan, mungkin hal buruk lainnya akan terjadi. Tok! Tok! Ratih mengetuk pintu rumah sedikit keras. Pintu itu tidak terkunci, sehingga terbuka perlahan dengan sendirinya. "Mas Bagas!" panggil Ratih lembut. Tidak ada jawaban. Suasana di dalam rumah terasa sunyi dan dingin. Ratih melangkah ke kamar, tempat dia mendapati Bagas duduk di samping ranjang. Tubuhnya membungkuk, kedua tangan memegang lutut, seola
last updateLast Updated : 2024-12-17
Read more

105. Berbohong

“Aku tau,” kata Ratih pelan tapi tegas. “Aku tau ada harga yang harus dibayar. Tapi aku juga tau kalau kita tetap di jalan ini, harga yang kita bayar akan jauh lebih besar. Bahkan mungkin nyawa mu sendiri akan jadi bayarannya.”Suasana hening menyelimuti mereka. Ratih tahu perjuangannya tidak akan mudah. Bagas sudah terjerat dalam janji kekuatan gelap.Namun, Ratih tidak ingin menyerah. Dia teringat pesan Kyai Ahmad. "Kekuatan itu akan terus menuntut, hingga segalanya hancur."Bagas merasa terpojok. Dia menyadari bahwa Ratih benar, tapi ketakutannya lebih besar. Dia takut kehilangan segalanya. Kekayaan, status, bahkan nyawanya.“Aku cuma butuh waktu, Ratih,” kata Bagas akhirnya, suaranya melembut. “Berikan aku waktu untuk memikirkan semua ini.”Ratih menggeleng, ekspresinya tegas. “Aku rasa waktu yang kamu punya udah lebih dari cukup, Mas. Bahkan kamu udah menipu aku dengan amarahmu itu!”Bagas terdiam. Sorot matanya berubah, men
last updateLast Updated : 2024-12-17
Read more

106. Bayangan Kelam

"Bagas, jangan biarkan jimat itu rusak atau ditemukan. Kalau terjadi, aku akan mengambil semuanya, termasuk dia."Suara itu menggema, berat dan mengerikan, memenuhi setiap sudut mimpi Bagas. Dalam kegelapan pekat, sosok Genderuwo berdiri menjulang.Genderowo mendekat dengan langkah berat yang mengguncang tanah, menciptakan retakan di bawah kaki Bagas.Bagas mundur perlahan, tubuhnya gemetar. “Nggak ... tolong jangan ambil dia! Jangan ambil Ratih!” teriaknya, suaranya pecah penuh ketakutan.“Aku sudah peringatkan berapa kali jangan rusak perjanjianmu, Bagas. Atau semuanya akan lenyap.” Genderuwo menyeringai, menunjukkan gigi-gigi tajamnya yang mengerikan. Suaranya terdengar seperti geraman seekor binatang buas.Sebelum Bagas sempat menjawab, sosok itu tiba-tiba melompat ke arahnya, menerkam dengan cakar besar. Bagas terbangun dengan teriakan keras, tubuhnya basah oleh keringat.Tak lama dia terbangun dari mimpi itu. "Hah! Mimpi be
last updateLast Updated : 2024-12-18
Read more

107. Tak Bisa Melepaskan

Bagas memandang jimat di tangannya. “Hancurkan?” pikirnya dalam hati. Sebuah ide gila muncul dalam benaknya. Jika jimat ini dihancurkan, mungkin semua perjanjian akan berakhir. Namun, dia tahu risikonya—bisa saja hidupnya berakhir seketika.Genderuwo tertawa keras, suaranya menggema di seluruh ruangan. “Kamu tak punya keberanian untuk itu, Bagas! Kamu terlalu lemah!”“Diam!” Bagas berteriak, menggenggam jimat itu erat-erat. Pikirannya berkecamuk. Jika ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan Ratih, maka dia harus melakukannya.“Lebih baik aku hancur, daripada kehilangan dia!” teriak Bagas. Dengan sisa tenaga dan keberanian, dia melempar jimat itu ke lantai, lalu menginjaknya dengan sekuat tenaga.“Tidakkkk!” suara Genderuwo melengking, bersamaan dengan jimat yang pecah berkeping-keping. Hawa panas menyembur dari retakan lantai, dan sosok Genderuwo itu mulai bergetar, tubuhnya terdistorsi seperti asap yang terbakar.Bagas jatuh terduduk,
last updateLast Updated : 2024-12-18
Read more

108. Jeritan Alam Mimpi

"Argh! Tidak!"Jeritan Bagas menggema di dalam kamar yang gelap. Mimpi buruknya kembali datang, bahkan kali ini terasa lebih nyata. Sosok Genderuwo itu berdiri di sana, besar dan menyeramkan, dengan sorot mata yang memancarkan kebencian. Suara geramnya menggema di kepala Bagas.“Aku akan mengambilnya, Bagas,” kata Genderuwo dengan suara berat, menjulurkan cakar ke arah Ratih yang terbaring lelap. “Dia milikku kalau kamu gagal menjaga jimat itu.”Bagas terbangun dengan napas tersengal, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Matanya langsung mencari Ratih, memastikan istrinya masih aman di sebelahnya.Ratih terbangun mendengar suara suaminya. Matanya yang masih setengah tertutup menatap Bagas dengan khawatir. “Mas, apa yang terjadi? Kamu mimpi buruk lagi?” tanyanya panik.Bagas tidak menjawab. Matanya kosong, penuh ketakutan. Tangannya gemetar saat dia menunjuk ke arah sudut kamar. “Dia bilang … dia akan mengambilmu, Ratih. Genderuwo itu. Dia bilang kamu miliknya dan aku nggak heran soal
last updateLast Updated : 2024-12-19
Read more

109. Keberadaan yang Benar

Tok! Tok! Terdengar ketukan di pintu. Bagas berjalan ke arah pintu dan membukanya. Di sana, berdiri Ratih dengan senyum lembut di wajahnya, seperti biasanya ia mampir setiap pagi. "Mas, kamu udah sarapan?" tanya Ratih lembut. "Wes, baru aja," jawab Bagas sambil mengangguk. "Tapi kenapa kamu tiap pagi selalu ke sini, Tih?" Nada suaranya terdengar heran. Ratih memandang Bagas dengan tatapan serius, sedikit aneh. "Mas, kamu itu masih suamiku. Gimana pun, ini kewajiban aku untuk memperhatikan kamu. Mulai dari makanan, pakaian, sampai yang lainnya." Bagas yang sedang sibuk membongkar barang-barangnya hanya menanggapi dengan nada datar, bahkan sedikit sinis. "Kalau memang kamu sadar itu, kenapa kamu nggak tinggal di sini aja, Tih? Bukan malah pisah rumah." Ratih terdiam sejenak, menatap Bagas dengan pandangan yang sulit ditebak. Dia menghela napas, seolah ingin menjawab, tetapi memilih untuk menahan diri. Suasana pun mendadak hening, hanya suara barang-barang Bagas yang terus ia bong
last updateLast Updated : 2024-12-19
Read more

110. Berharap Kejujuran

"Aku harus cari tahu sendiri di rumah Mas Bagas!" Ratih menutup pintu rumah kontrakannya dengan tekad bulat. Malam itu, bulan redup tertutup awan, dan angin kecil menghantam wajahnya saat dia berjalan melewati pohon-pohon yang rimbun di sepanjang jalan menuju rumah suaminya. "Hmm, aku punya firasat buruk dengan adanya angin ini," gumam Ratih sambil mempercepat langkahnya. Jalanan gelap itu hanya diterangi oleh lampu-lampu kecil di beberapa rumah warga. Ratih melintasi beberapa rumah dan ladang milik Bagas. Semakin dekat dengan rumah suaminya, suasana semakin sunyi. Tiba-tiba, dari balik semak-semak, muncul seseorang yang membuatnya terlonjak kaget. "Eh, maaf, Juragan Ratih! Saya mengagetkan ya!" Pekerja ladang milik Bagas muncul dengan wajah penuh rasa bersalah. "Astaga, Pak! Jantung saya mau copot rasanya! Bapak ngapain malam-malam begini di situ?!" tanya Ratih dengan suara tertahan. "Ini, saya lagi nyari tanaman buat makan, Juragan," ujarnya lesu, sambil menunjukkan beberapa
last updateLast Updated : 2024-12-19
Read more
PREV
1
...
789101112
DMCA.com Protection Status