Lahat ng Kabanata ng Terjebak Bersama Kriminal Tampan: Kabanata 11 - Kabanata 20
95 Kabanata
Bab. 11
Azura tahu ucapan lelaki itu benar, jadi ia tidakmengatakan apa-­apa.“Aku masuk fakultas hukum. Aku sangat ingin buka praktik, untuk membantu masyarakat Indian yang dieksploitasi oleh perusahaan­-perusahaan pertambangan dan semacamnya. Dan aku berhasil memenangkan beberapa kasus, tapi tidak cukup banyak. Aku mulai tidak percaya dengan sistem hukum yang ternyata sama politisnya dengan segala hal lain di dunia. Tapi keadilan itu sendiri tidak buta.“ Maka aku juga mulai bermain keras. Aku jadi jauh lebih berani berbicara dengan bersikap kritis.Aku mengorganisir para pemrotes dari kalangan Indian, supaya suara mereka lebih didengar. Aku menyusun demonstrasi damai. Tapi segala kegiatan itu malah membuatku di-cap sebagai pembuat masalah yang perlu diawasi. Ketika ada kesempatan untuk menangkap dan memenjarakankuuntuk waktu lama, mereka pun melakukannya.”Rodriguez kembali bersandar di kursinya dan memandangi Azura dengan kaku.“Nah, sudah puas sekarang?Sudah tahu apa yang ingin kauketa
Magbasa pa
Bab. 12
Lolongan binatang itu keluar langsung dari a jiwanya, tumpahan kesedihan, putus asa, dan rasa frustrasinya. begitu menyedihkan suara itu, hingga merobek-robek hati Azura yang mendengarnya. Airmata membasahi pipi Azura. Ia mengulurkan tangan untuk menyentuh lelaki itu, tapi Rodriguez berdiri agak jauh darinya dan tidak melihat uluran tangannya.Azura tidak tahu mengapa ia tidak merasa jijikmendengar ekspresi kesedihan lelaki itu. Dalam keluarganya, cara seperti itu dilarang. Perasaan sedih, marah, bahkan gembira, mesti ditunjukkan dengan sepantasnyadan terkendali. Untuk mengekspresikan diri pun ada peraturannya. Segala jenis perasaan mesti dikendalikan.Ia hanya tahu bahwa kesedihan yangdirasakan lelaki ini takkan bisa dihiburkan. Ia terasing dan kesepian. Perlahan­lahan Azura menghampirinya dan menyentuh bahunya. Lelaki itu bereaksi seperti seekor binatang yang terluka. Kepalanya menoleh cepat dan iamengeluarkan suara menggeram. Matanya dingin, tak ada air mata, namun bola matanya
Magbasa pa
Bab. 13
“Letakkan tangan di atas kepala, Rodriguez,” sebuah suara mengaum keras lewat corong pengeras suara.Rodriguez menuruti dengan patuh, meski dengan tangan di atas kepala ia jadi lebih sulit menuruni sisi pegunungan itu. Dengan putus asa Azura mengawasi dari atas. Sebuah ambulans menderu ke depan pintu rumah. Tak lama kemudian jenazah Joseph Rodriguez yang tertutup selimut diangkut dengan tandu. Alice, yang bersandar pada lengan Gene Dexter, mengikuti dari belakang.Dua orang polisi mendaki ke arah Rodriguez. Sampai di dekatnya, mereka menyambar lengan lelaki itu dan menelikungnya dengan kasar. Salah seorang polisi memakaikan borgol padanya sebelum mereka kembali turun. Rodriguez berjalan tegak dengan ekspresi angkuh. Ia tampak tak peduli akan apa yang berlangsung di sekitarnya. Ketika melihat pintu­pintu ambulans menutup menghalangi pandangannya akan tubuh kakeknya yangdiangkut di dalam, Azura melihat bahu lelaki itu menegang sedikit. Alice lari menghampiri anaknya dan memeluk pinggan
Magbasa pa
Bab 14
“Sebab itu bertentangan dengan peraturan,” sahut Dixon dengan tenang.“Persetan dengan peraturan,” kata Rodriguez dengan marah.“Itu peraturan konyol. Apa orang-­orang yangmengelola tempat ini tidak menyadari betapa berartinya perlakuan baik bagi seorang napi? Perlakuan yang bisa mengembalikan sedikit harga dirinya?” Sekarang Rodriguez mencondongkan tubuh di depan meja, sikapnya penuh ancaman.“Duduk, Mr. Rodriguez,” kata Dixon dengan tegas.agar si napi tahu bahwa sikapnya sudah keterlaluan. Setelah beradu pandang beberapa saat dengan sangkepala penjara, Rodriguez kembali duduk. Wajah tampannya masam.“Kau seorang pengacara,” kata Dixon.“Kurasa kau menyadari betapa ringan tambahan hukuman yang kauperoleh kali ini.” Setelah mengenakan kacamata bacanya yang keperakan, Dixon membaca laporan yangterletak di mejanya.“Ada seorang wanita muda. Miss Azura.” Ia menatap Rodriguez dari atas tepi kacamatanya.Kalimatnya mengandung tanda tanya.Rodriguez tidak menjawab, cuma balas menatapDi
Magbasa pa
Bab. 15
Saat diantar ke pintu depan, Rodriguez terpesona melihat gerakan ekor kuda Azura yang bergoyang-goyang. Apakah rambut itu masih sehalus yang diingat-nya? Apakah warna pirang pucat itu, yang merupakan cap yang sangat jelas akan darah kulit putih wanita ini, benar­-benar pernah merasakan belaian tangan Indiannya? Dan bibir itu bibir yang sekarang tersenyum kepadanya benarkah bahwa dulu bibir itu pernah merasakan belaian lidah Rodriguez di dalamnya?“Sampai jumpa, Rodriguez. Kuharap segalanya berlangsung baik untukmu.” Azura mengulurkan tangan.“Terima kasih.” Rodriguez menggenggam tangan Azura. Mata mereka bertemu. Lama.Lalu suara itu terdengar. Asalnya dari bagian belakang rumah. begitu tak terduga, hingga mulanya Rodriguez mengira ia salah dengar. Tapi kemudia n suara itu terdengar lagi. Rodriguez dugaan kearah tersebut dengan alis berkerut.“Itu seperti suara…”Azura menyentakkan tangan dari genggaman Rodriguez Dengan kaget Rodriguez menoleh. begitu melihat wajah Azura, tahulah ia ba
Magbasa pa
Bab. 16
Tapi sesudahnya ia mulai melihat kenyataan. Ditimbang-­timbangnya konsekuensi negatif membesarkan seorang anak sebagai orangtua tunggal. Ia tahu akibat-akibat serius yang mungkin timbul, tapi tak pernah sekali pun ia punya pikiran untuk menggugurkan kandungannya.Sejak awal mengetahui kehadiran janin di perutnya, Azura sudah amat sangat menyayanginya. Sekonyong-konyong hidupnya jadi terasa berarti dan bukan lagitanpa tujuan. Sekarang ada sesuatu yang ditunggu-­tunggunya. Ada sasaran­-sasaran yang mesti dicapainya, cakrawala yang mesti diraihnya.Maka sekarang ia bisa menjawab pertanyaan Rodriguez tanpa ragu-­ragu. “Aku sangat menginginkan anak ini.”Dibelainya kepala Tony yang halus di bawah selimut. “Sejak awal aku sudah mencintainya.”“Apa kau beranggapan aku tidak berhak tahu tentang dia?”“Kupikir kau tidak akan peduli.”“Jangan salah sangka. Aku peduli.”“Apa… apa yang akan kau lakukan?” tanya Azura dengan takut; ia benci mendengar suaranya sendiri yang gemetar.“Aku ingin menja
Magbasa pa
Bab. 17
“barang­barang Tony belum dikemasi,” kata Rodriguez sambil duduk di kursi yang kemarin di tempatinya.“Mau minum apa? Jus atau minuman ringan?”“Minuman ringan saja.” Azura mengambil satu dari kulkas dan menuangkannya ke gelas, menambahkan es, lalu menyerahkan gelas dingin itu padanya.“barang­barang Tony belum dikemasi,” ulang Rodriguez sebelum menghirup minumannya.Azura duduk di hadapannya, berusaha keras agar tangannya tidak gemetar.“benar.”“Kalau begitu, kuartikan bahwa kita akan menikah?”“Kau salah, Mr. Rodriguez Aku tidak mau menikah denganmu atau dengan siapa pun.”Rodriguez menghabiskan isi gelasnya, lalu dengan mantap menyingkirkan gelas itu dari hadapannya.“Aku akan mengambil anakku.”Azura menjilat bibir.“Aku setuju Tony mesti mengenalmu. Itulah yang paling adil bagi kalian berdua. Aku tidak akan menghalangimu untuk bertemu dengannya. Kau boleh datang kemari kapan saja kauingin kan. Aku cuma minta kau memberitahuku beberapa jam sebelumnya, supaya tidak ada benturan da
Magbasa pa
Bab. 18
Tapi pelukan itu hanya bertahan beberapa detik. Rodriguez menarik diri dan menjauh dari Azura dengan dada naik­-turun. beberapa kancing kemejanya sudah lepas. Wajahnya yang kecokelatan semakin gelap.Di mata Azura, ia tampak liar, berbahaya, dan sangat seksi.“Kaulihat, Miss Azura, aku bisa mengendalikan gairahku. Jangan besar kepala, mengira aku sangat menginginkanmu. Kau hanyalah beban tambahan yangmesti kubawa bersama anakku, karena kebetulan aku tidak punya payudara untuk menyusui. Tapi aku bersedia hidup bersamamu, demi Tony.” Ia menyapukantangan dirambutnya dan menarik napas panjang.“Sekarang aku akan bertanya untuk terakhir kali. Kau mau ikut atau tidak?”Sebelum Azura sempat menenangkan diri dan menjawab pertanyaan itu, bel pintu berbunyi.“SIAPA itu?”“Entahlah,” sahut Azura.“Kau sedang menunggu orang?”“Tidak." Dengan sopan Azura minta diri sejenak pada Rodriguez.Mengingat apa yang baru saja terjadi di antara mereka, sikap sopannya terasa agak menggelikan. Ia keluar dar
Magbasa pa
Bab. 19
Azura terduduk. Air mata yang tadi ditahan-­tahannya sekarang menetes pelan dan mengalir di pipinya. Orangtuanya ingin mendominasi hidupnya sepenuhnya,atau tidak ambil bagian sama sekali. Ia tak percaya bahwa tingkat apriori mereka bisa begitu tinggi, sampai sampai tak mau mengakui cucu mereka sendiri.Dengan pahit Azura menyesali keputusan mereka. Di lain pihak, kalau mereka begitu berpikiran sempit dan tidak mau mengalah, ia dan Tony lebih baik hidup tanpa mereka. Ia ingin anaknya tidak merasa malu dengan berbagai emosi yang dialaminya. Ia ingin anak itu belajar mengekspresikan diri dengan bebas, seperti yang selama ini tak pernah dirasakannya. Ia ingin anaknya merasakan berbagai hal secara mendalam, seperti yang dialaminya bersama…Azura membalikkan tubuh dan menatap lelaki yang berdiri begitu diam dan tegak di belakangnya. Pikirannya mau tak mau membawanya ke hari­hari yang dilewatkannya sebagai sandera lelaki ini dulu. Pada waktu itu, untuk pertama kali, ia merasa hidupnya berja
Magbasa pa
Bab. 20
Astaga, jangan dibayangkan.“Kapan kau pertama kali tahu tentang kehamilanmu?” tanyanya kasar, lama kemudian.“Sekitar dua bulan sesudahnya.”“Apa kau mual­-mual?”“Sedikit. Tapi lebih sering merasa capek. Aku seperti tidak punya energi. Dan aku tidak mendapat…”“Oh, yeah.”Dari sudut matanya Rodriguez melihat Azura mengangkat Tony dengan lembut dan memindahkannya. Azura mudah merasa malu, dan ia tahu betapa tidak menyenangkan keintiman yang dipaksakan ini baginya.“Apa kehamilanmu mudah?”“biasa­-biasa saja,” sahut Azura sambil tersenyum.“Apa dia banyak menendang?”“Seperti pemain sepak bola.”“Aku lebih suka membayangkan dia sebagai pelari maraton.” Mata mereka bertemu pada jarak yang sempit itu, sama-­sama memancarkan sorot lembut.Di antara keduanya terjalin impian semua orangtua akan anaknya.“Ya, seperti pelari maraton,” kata Azura perlahan.“Seperti kau.”Hati Rodriguez mengembang oleh rasa bangga. Emosi yang dirasakannya begitu besar, hingga untuk beberapa saat ia hampir­-ham
Magbasa pa
PREV
123456
...
10
DMCA.com Protection Status