Lahat ng Kabanata ng Mantanku Gagal Move On: Kabanata 51 - Kabanata 60
131 Kabanata
Godaan Yang Merdeka
Dari luar kamar mandi, Dimas terus menggoda Nissa dengan keusilannya yang sudah di tingkat dewa.“Kamu mandi di kamar mandi kamu dong, Dimas! Ngapain ikutan ke sini, sih?!” Nissa menjawab kesal karena Dimas terus menggodanya bahkan sebelum malunya hilang.“Aku kan suami kamu. Mandi berdua itu nambah pahala loh, Yang! Lagian ini udah nanggung, dia nggak mau tidur lagi. Gimana, dong!”Nissa memuntahkan air yang sedang dikumurnya ketika mendengar godaan tidak tahu malu Dimas. Ia merasa Dimas sudah merdeka karena bisa menggoda sesuka hatinya. Nissa memutuskan untuk tidak menjawab Dimas lagi atau dirinya sendiri yang akan menyesal mendengar kalimat-kalimat nakal Dimas padanya.Nissa memutuskan melanjutkan mandinya dan membiarkan Dimas terus mengetuk dan memanggilnya dari luar pintu.“Yang, kok mandi duluan, sih? Aku ikut, dong! Aku bantuin gosok punggung kamu, deh. Gratis!” Dimas masih belum menyerah.“Ng
Magbasa pa
Ratuku
Setelah beberapa saat berpakaian dan merapikan rambut seadanya, Nissa keluar dari kamar dan menuruni tangga untuk menuju ke dapur. Ia penasaran dengan aroma sesuatu yang dimasak yang menusuk hidungnya hingga membuat perutnya meronta.Dari depan pintu dapur, Nissa mendapati ada Dimas yang sudah bersiap dengan pakaian kantornya, tapi malah mengenakan apron di sana.‘Gantengnya kok jadi makin nggak manusiawi gini sih, Dimas?’ gumamnya dalam hati sambil tersenyum.“Mau berdiri di situ aja?” suara Dimas membuyarkan lamunan Nissa. Ia jadi melangkah maju mendekatinya.“Kamu mau ke kantor tapi kenapa repot masak? Kenapa nggak panggil aku aja buat bikin sarapan kamu?” Nissa langsung bertanya, tapi ia melupakan sesuatu.Dimas hanya menatapnya dengan tak acuh, “Kamu kan lebih milih tidur di kamar mandi,” jawabnya cuek dan jelas menyindir.Nissa tercekat dan tidak bisa membantah. Tapi ia tidak ingin membah
Magbasa pa
Pengertian
"Ya, aku ngerti, kok. Lagian kenapa mau panggil ART? Aku bisa kok ngurusin rumah ini. Masalah kebersihan, kita bisa barengan bersihin rumah. Kalau sama-sama capek, baju kita bisa dianter ke Loundry aja. Beres, kan?" Nissa yang mengerti dan paham tabiat Dimas langsung menjelaskan pemikirannya.Dimas tersenyum senang, Nissa ternyata mengerti yang ia pikirkan."Jangan karena kamu takut aku yang nggak enak, terus kamu ngabaikan nggak nyamannya kamu sendiri. Itu salah, Dimas. Aku tau kamu masih nggak bisa nyaman sama orang asing selain orang yang kamu anggap akrab sama kamu. Jadi soal ART di sini, abaikan aja. Aku bisa ngurus rumah sendiri,""Lagian rumah ini bakalan sekotor apaan sih kalau isinya cuma kita berdua? Lagian waktu kita juga bakalan lebih banyak di luar. Kamu di kantor, aku di rumah sakit,"Dimas tersenyum sambil mengelus pipi Nissa, "Makasih, Yang. Kamu masih ingat yang begituan soal aku. Aku cuma nggak mau kamu ngerasa berat tinggal di sini, jad
Magbasa pa
Tipe Perempuan
“Gini aja, Ma. Kalau Mama bisa cariin aku perempuan yang sesuai sama kemauan aku. Aku bakalan ikut aturan Mama buat nikahin perempuan yang sesuai sama maunya aku itu,”[Kamu serius? Sebentar, Dimas. Mama cari buku catatan dulu!][Nah, udah. Coba bilang kamu mau perempuan kayak apaan. Biar mama cariin buat kamu kalau kamu nggak suka yang spek kayak Maya!]Nyonya Risti terdengar antusias pada ucapan Dimas.“Coba Mama cari perempuan yang rambutnya panjang sebahu tapi suka dikuncir kuda. Aku juga nggak suka perempuan yang suka dandan, aku maunya yang natural. Kalaupun dandan tapi nggak menor. Pakaiannya juga santai, suka pakai kaos atau hoody aja kalau keluar rumah. Pakai sandal teplek atau nggak cuma pakai sepatu olahraga, bukan pakai heels dan jalannya suka jinjit-jinjit,”“Aku juga suka sama perempuan yang kalau ngomong nggak dibuat-buat sok manis. Aku suka yang to the point,”“Kalau Mama bisa cari perempuan yang kayak aku mau dan dia bisa buat aku jatuh cinta, aku bakalan nikahin pere
Magbasa pa
Mencari Dukungan Arul
“Aku tanya ke Mbak Nissa-nya langsung, kok. Nggak jadi gibahan dong, hehe,” Suster Nita juga terkekeh, “Mbak Nissa apa udah jadian sama Dokter Fandy? Yang buat aku kepo sekarang ini, ya karena perhatian Dokter Fandy ke adiknya Mbak Nissa itu nggak biasa banget loh, Mbak!”“Semua orang di rumah sakit ini, kan, udah pada tau kalau Dokter Fandy itu suka Mbak Nissa, jadi aku nggak mau banyak nebak dan jatuhnya malah fitnah, aku milih tanya ke Mbak Nissa-nya langsung dong!”Nissa tersenyum simpul, “Yang bilang aku jadian sama Dokter Fandy itu siapa, sih, Mbak Nita yang cantik? Kayak aku udah kebagusan banget bisa jadian sama Dokter Fandy. Hoax itu, Mbak!” Nissa menjelaskan.“Aku ke ruangan adik aku dulu ya, Mbak? Nanti kalau aku ketemu sama Dokter Fandy, aku minta beliau ketemu sama Mbak Nita buat jawab keponya Mbak Nita. Hitung-hitung ngurangi gibahan sama hoax, kan?” Nissa kembali berucap sambil terkekeh.“Ikh, Mbak Nissa bercandanya nggak asik. Nggak mungkin aku tanya langsung ke Dokter
Magbasa pa
Laki-laki Pilihan Nissa
"Bang Dimas itu sebenarnya pacar Mbak Nissa waktu SMA, tapi dia pergi ke Amerika dan tinggalin mbak aku sendirian selepas kelulusan," dengan polosnya Arul mengatakan siapa Dimas untuk Nissa. "Jadi, kenapa laki-laki itu langsung tegasin kalau dia tunangan Nissa? Harusnya dia nggak begitu dong. Belum tentu Nissa mau sama dia lagi, kan?" ada penyesalan di hati Dokter Fandy karena saat itu dirinya memilih pergi tanpa mendengar ucapan Nissa dulu tentang Dimas. "Mau bilang apa lagi, Dokter? Walaupun mbak aku marah dan nolak Bang Dimas, pasti Bang Dimas-nya sendiri nggak mungkin nyerah. Walau kelihatannya mbak aku nolak, tapi aku mau Dokter tau kalau sebenarnya mbak aku itu cuma cinta sama Bang Dimas aja," "Nggak ada cowok lain yang bisa gantiin Bang Dimas di hati mbak aku, Dokter. Jadi mohon maaf, kalau aku harus bilang kalau harapan Dokter Fandy itu percuma aja. Mbak aku cuma cinta sama Bang Dimas, Dokter," 
Magbasa pa
Kakak Yang Bertanggung Jawab
“Aku juga nggak tau dan nggak mau kayak gini, Mbak. Sakit, tau!” Arul menjawab tidak berdaya. Ia mencoba tidak menangis seperti Nissa atau kakaknya itu akan lebih menangis lagi. “Makanya jangan sok kamu! Iya, kamu memang nggak ngebut, tapi seenggaknya kalau mau jalan itu doa dulu, bukan sok jadi kayak pembalap!” “Jangan begini lagi, Rul, mbak takut banget...” Nissa kembali menangis dan memeluk adiknya dari samping dengan sangat hati-hati. “Mbak, kira-kira ibu bakalan gimana, ya, kalau lihat aku dibungkus kayak mummy gini? Aku jadi takut mikirin jantung ibu yang bakalan syok lagi,” Pertanyaan Arul membuat Nissa terdiam, dan bangkit dari pelukan sang adik, “Mbak juga bingung mau bilangin ke ibu gimana? Nggak mungkin aku diam dan terus bohongin ibu kalau kamu itu ikutan ujian di luar kota. Durhaka banget aku, kan?” Nissa bertanya miris.
Magbasa pa
Ketahuan Ibu
“Ibu, ada yang bisa dibantu? Kenapa berdiri di depan pintu gini?” tanya seorang perawat yang baru saja keluar dari ruang rawat sebelahnya. “Saya bosen di dalam, Suster. Biasanya jam segini anak saya bawa saya keluar sebentar cari angin di teras depan. Tapi anak saya nggak bisa dateng karena ke luar kota, jadi dari tadi saya mondar-mandir aja sendirian,” jawab Nyonya Gina seadanya. “Oh, bentar ya, Ibu. Saya bawain kursi roda dulu. Nanti saya anterin ke teras depan biar Ibunya nggak bosen banget,” perawat magang itu menjawab ramah. Dia juga tidak tahu kalau Nyonya Gina itu adalah ibu dari Nissa yang merupakan rekan sejawatnya. Nyonya Gina mengangguk tersenyum dan membiarkan sang perawat pergi untuk kembali datang dengan kursi roda. “Titin, kamu mau ke mana bawa kursi roda?” Suster Nita yang sedang fokus dengan buku catatan pasien, ikut bertanya pada Suste
Magbasa pa
Menerima Tamparan 1
Nyonya Gina langsung menoleh lagi pada Nissa yang sudah sangat bingung dengan keadaan, “Kamu bohong sama ibu, ya?” Nyonya Gina berdiri dari kursi roda dan akan melangkah. “Ibu, jangan jalan dulu, infusnya ketarik ini!” Titin mencegah Nyonya Gina dan segera membenarkan posisi botol infus Nyonya Gina untuk dipegangnya sendiri. Nissa hanya menunduk merasa bersalah. Ia tidak mengejar langkah ibunya yang memasuki ruangan rawat Arul. “Mbak Nis, ini gimana?” Titin bertanya bingung. “Kamu balik aja, Tin. Biar aku yang urus ibu aku. Makasih, ya,” Nissa menjawab miris dan segera menyusul langkah ibunya. “Bu, pelan-pelan jalannya. Yang tenang, Bu,” ucap Nissa sembari ingin memegangi tubuh ibunya yang saat ini terdiam, dan tanpa mengatakan apa pun, Nyonya Gina mengempaskan tubuhnya dari pegangan tangan Nissa.
Magbasa pa
Menerima Tamparan 2
Keadaan berangsur kondusif dan cenderung tenang ketika semua yang terjadi diceritakan pada oleh Nissa dan Arul dengan perlahan. Nyonya Gina yang ditakutkan akan kembali menerima serangan jantung, malah terlihat bisa mengatasi nyeri dan pikirannya sendiri. Hatinya berdamai dengan kondisi anak-anaknya yang memang mengkhawatirkan keadaannya. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama dan itu dimulai dari pertanyaan Nyonya Gina tentang biaya rumah sakit yang di luar nalar. “Jadi, kamu dapetin uangnya dari mana? Biaya ibu aja udah besar banget, terus Arul juga harus dioperasi kayak gini. Pasti biayanya banyak, kan? Apa tabungan kamu bisa ngatasin semuanya?” Nyonya Gina mulai iba pada putrinya yang harus selalu diandalkan jika itu tentang biaya. Tapi memang di antara mereka bertiga, gaji Nissa sebagai perawat memang yang terbesar daripada penghasilan ibunya yang hanya membuka kios sayur di pagi hari. 
Magbasa pa
PREV
1
...
45678
...
14
DMCA.com Protection Status