Semua Bab Pharmacist Save the Villain: Bab 41 - Bab 50
64 Bab
Bagian 41: Gagal Modus
Kami semua menahan napas. Aku sedikit khawatir karena Bawang Putih tampak mengerahkan tenaga. Padahal, seingatku, dia seharusnya bisa mencabutnya dengan mudah. Buuuk! Baru saja dipikirkan, malah kejadian. Bawang Putih terjungkal ke belakang. Jariknya menjadi kotor karena terduduk di tanah. Tanaman emas telah berhasil dicabut. Aku menghampirinya bersama Raka yang masih tembus pandang. Sementara itu, Bawang Putih tampak menatap tak percaya pada tanaman emas di tangannya. Kami semua sempat terjebak hening hingga aku mengulurkan tangan untuk membantu berdiri. Bawang Putih berhasil berdiri meskipun sedikit oleng. Dia membersihkan tanah yang menempel di jarik. Sementara itu, Pangeran Arya mendekat dengan tatapan khawatir. Bawang Putih tersenyum lebar, seolah mengatakan dirinya baik-baik saja, lalu menyerahkan tanaman emas. Obat langka itu pun berpindah tangan. “Terima kasih, Dinda Bawang Putih. Istana akan menghadiahkan seratus kantung uang emas.” Telingaku seketika berdiri. Mata ka
Baca selengkapnya
Bagian 42: Sang Putri
Akhirnya, kuda-kuda yang kami tunggangi memasuki halaman istana. Aku sudah membayangkan tempat duduk empuk. Pinggang sudah terasa hampir patah. Perjalanan berjam-jam tentu sangat mengurus energi bagi seorang gadis remaja, kecuali Bawang Putih. Dia tetap terlihat prima. Kami pun turun dari kuda, lalu memasuki pendopo istana. Pangeran Arya memimpin, diikuti Danar. Sementara Dharma sengaja melambatkan jalannya agar bisa bersisian denganku dan Bawang Putih, membuat Raka terus mendecakkan lidahnya. “Kangmas Arya sudah pulang!” Sosok cantik bertubuh semampai mendekap erat Pangeran Arya. Garis wajah dan gerak-geriknya menunjukkan keanggunan seorang bangsawan. Pakaian pun jauh berbeda dengan kami. Kemben dan jarik yang dikenakan dari bahan berkualitas tinggi. Wajah Bawang Putih seketika berubah muram. Aku dengan sigap merengkuh bahunya. Kenapa tidak pernah terpikirkan sebelumnya? Bukankah di zaman ini lumrah saja seorang pangeran atau raja beristri banyak? Pangeran Arya terkekeh. “Dinda
Baca selengkapnya
Bagian 43: Senyuman Berduri
Entah sudah berapa kali aku menelan ludah. Wajah cantik di hadapan masih dihiasi senyum. Senyuman menyimpan duri. Lantai yang kududuki terasa panas membara. Sementara Putri Sekar Ayu duduk anggun di ranjang berukiran bunga. “Tidak menyangka ada tabib kampung yang begitu cantik seperti Anda.” Kata “kampung” dalam tutur bahasa halus jauh lebih menohok, seolah tidak menyinggung, tetapi menegaskan perbedaan status sosial. Lirikan sinis sang putri terasa menghunjam. Raka yang berdiri di sebelahku mulai menunjukkan gelagat dongkol. Gurat-gurat kekesalan tersaput samar di wajahnya. Putri Sekar Ayu menyeruput wedang di meja sebelum melanjutkan ucapannya. “Tapi, cantik tidak akan ada gunanya kalau tidak memiliki tatakrama.” Tangan Raka terkepal. Aku memberi isyarat agar bersikap tenang. Tidak lucu, jika dia sampai meluluhlantakkan istana dengan kekuatan ajaibnya. Cerita ini sudah kacau, jangan sampai semakin tidak jelas. “Itu benar, Tuan Putri. Tata krama memanglah sangat penting,” sahutk
Baca selengkapnya
Bagian 44: Firasat Buruk
“Kenapa, Dinda? Apa kamu mencintai orang lain?” cecar Pangeran Arya. Mata elang menatap sendu gadis pujaan hati. Sementara itu, Bawang Putih menggeleng lemah. Tangannya sibuk memilin ujung kebaya. Aku menjadi gemas. Setelah terdiam dalam waktu lama, Bawang Putih akhirnya bergumam lesu, “Apakah saya pantas untuk Yang Mulia." Dia tampak menggigit bibir dan mengepalkan tangan. "Lagi pula saya ... tidak mau berpisah dengan ibu dan mbakyu.” Perasaanku bercampur aduk. Ada rasa haru karena kasih sayang Bawang Putih yang begitu besar, tapi juga takut Pangeran Arya akan murka. Untunglah, lelaki tampan itu malah tertawa. Pangeran Arya menepuk pelan bahu Bawang Putih. “Semua manusia itu sama, Bawang Putih. Kenapa cinta harus terhalang kasta? Sebenarnya, aku sangat ingin menghapuskan sistem itu,” tuturnya serius. Coba Tuan Putri Sekar Ayu memiliki seuprit saja kebaikan hati Pangeran Arya.“Soal ibu dan mbakyumu tentu mereka akan tinggal di sini juga setelah kita menikah,” tambah Pangeran Ary
Baca selengkapnya
Bagian 45: Buah Simalakama
Akhirnya, kami sampai di depan kamar Putri Sekar Ayu. Mbok Asih mengetuk pintu. Terdengar suara merdu sang putri mempersilakan masuk. Pintu dibuka perlahan. Tubuh semampai tergolek lemah di bawah selimut sutra. Lima dayang berparas jelita berjejer di sisi kanan dan kiri ranjang, tampak menunduk dengan raut wajah muram, seolah turut bersedih atas musibah sakit yang menimpa sang putri. “Izinkan Hamba memeriksa keadaan, Yang Mulia.” “Cepatlah, Tabib! Aku sudah tidak tahan lagi, kepala seperti ingin pecah,” keluh Putri Sekar Ayu. Suaranya lebih terdengar seperti orang marah besar dibandingkan sedang sakit. Sudahlah! Mau bagaimanapun ini seperti menelan buah simalakama, menolak atau menerima permintaannya sama saja membawa masalah. Setelah mendapat persetujuan, aku mendekati ranjang kayu jati, menyentuh kening dan memeriksa denyut nadi Putri Sekar Ayu. Senyuman samar terukir di bibirnya. Kemungkinan ini adalah jebakan pun semakin besar. Namun, sejauh ini, akting sang putri benar-bena
Baca selengkapnya
Bagian 46: Penjara?
Keadaan memanas saat Danar memukul tangan kakaknya sendiri. Dharma hanya bisa menggeram menahan amarah. Level kekuatan fisik mereka tentu jauh berbeda. “Jangan terbutakan cinta, Kangmas Dharma! Tabib wanita ini akan diadili besok." Danar mengalihkan pandangan kepada bawahannya. "Sekarang, bawa dia ke penjara!” titahnya. Ck! Orang yang sok-sokan mengejarku ternyata malah tidak bisa percaya. Miris sekali, tapi aku mengerti. Perkataan seorang putri raja tentu lebih utama. Danar mengambil cangkir berisi ramuan obat dan menyerahkannya pada seorang pemuda paling tinggi dan kekar. “Gelas berisi jamu beracun ini harus dijaga dengan ketat, agar tidak ada yang mencoba menghilangkan bukti. Aku menugaskan ini kepadamu, Ganendra.” Beberapa hari tinggal di istana, aku sedikit tahu susunan pengawal. Ganendra adalah tangan kanan Pangeran Arya setelah Danar. Dia tak banyak bicara, tapi kesetiaannya pada kerajaan tiada bandingan. Pemuda itu tampaknya memiliki perasaan kepada Putri Sekar Ayu, dilih
Baca selengkapnya
Bagian 47: Badass
“Mbakyu! Mbakyu!” Aku mengerutkan kening. Ardhan masih terlihat dipenuhi amarah, tapi kenapa dia memanggil Mbakyu. Tangannya kembali menyentuh pipi, bukan membelai seperti tadi, malah menepuk-nepuk pelan. “Mbakyu! Mbakyu!” Nggak beres nih si Ardhan. “MBAKYU!” Teriakan kencang memekakkan telinga. Aku tersentak, lalu terguling ke lantai. Kening terasa berdenyut-denyut, sepertinya benjol lagi. “Aduh, Mbakyu, maafkan aku.” Kenapa suara Ardhan jadi terdengar feminim? Aku mendongak, lalu terbelalak. Bawang Putih tengah memelukku dengan mata berkaca-kaca. Hal paling mengejutkan adalah pakaian serba hitam yang dikenakannya, persis ninja di film-film, lengkap dengan busur dan anak panah di punggung. Sementara parang terselip di pinggang. Tunggu dulu! Apa yang sebenarnya terjadi? Ke mana Ardhan yang marah-marah tadi pergi? Kenapa Bawang Putih malah di sini? Bukankah ini malam pengantinnya? Apakah kasus keracunan Putri Sekar Ayu menyibukkan Pangeran Arya? “Mbakyu baik-baik saja, ‘kan?”
Baca selengkapnya
Bagian 48: Pelarian
Darah segar mengucur dari betis Ibu. Saat kami menembus semak belukar, kaki beliau terbelit putri malu. Durinya merobek celana dan menggores kulit. Bawang Putih dengan sigap menyingkirkan tumbuhan itu, lalu mengucurkan air dari kantung minum untuk membersihkan luka. Aku mengedarkan pandangan. Sedikit kesulitan karena hanya bergantung cahaya obor kecil. Syukurlah, ada daun bandotan tak jauh dari kami. Tumbuhan itu telah teruji pada hewan percobaan memiliki khasiat sebagai anti bakteri dan anti peradangan. Tak ingin membuang waktu, aku segera mengambil beberapa lembar, mencuci dan mengunyahnya sambil menahan napas karena sangat berbau. Selanjutnya, daun bandotan tadi ditempelkan ke luka Ibu. Langkah terakhir, kaki dibalut dengan kain. Bawang Putih menyobek ujung bajunya dengan belati. “Sudah bisa jalan lagi, Bu?” tanya Bawang Putih setelah kami istirahat lumayan lama. Ibu mengangguk. Kami pun meneruskan perjalanan semakin masuk ke hutan. Kini, aku yang tengah memapah Ibu berjalan le
Baca selengkapnya
Bagian 49: Kembali
Saat membuka mata, tubuh mengambang di udara. Aneh, sebelumnya, aku masih berada dalam pelukan arus sungai. Aroma melati semerbak menelusuk hidung. Raka? Apakah ini perbuatannya? Tebakanku tidak salah. Tak lama hingga wajah tampan Raka tertangkap pandangan. Penampilannya tidak sederhana seperti biasa. Jika setiap kami bertemu, dia hanya mengenakan selembar kain sutra putih yang dibelit, kali ini ditaburi juga serbuk emas. Mahkota dengan permata biru bertahta di kepalanya. Lengan kokoh terulur. Jemari Raka mengusap wajahku. Rasa bersalah terpancar dari sinar matanya. “Maaf, aku datang terlambat. Banyak sekali yang harus diselesaikan.” “Tidak apa, Raka. Mungkin ini sudah pengaturan ceritanya. Bawang Merah akan berakhir dengan hukuman.” “Ini salahku yang membuatmu menjadi Bawang Merah.” Aku berusaha keras untuk tersenyum. Mungkin dia sudah berbuat seenaknya membawa orang lain ke dalam cerita. Namun, jauh di lubuk hati, ada rasa syukur pernah menjadi Bawang Merah. Bisa memiliki adik
Baca selengkapnya
Bagian 50: Pilihan
Kami bertiga refleks mengalihkan pandangan. Ibu terperangah. Wajah Rosa berubah dongkol. Ya, Ardhan berdiri di sana dengan sorot mata memelas. Dia mendekat dan menggenggam tangan Ibu dengan erat. “Bu, saya yang akan menikahi Aleeya dan menjaganya seumur hidup.” Tidak, Bu! Jangan mau! “Enak saja!” Suara hatiku terwakili sosok yang baru keluar dari ruang ICU. Ghaida ternyata menguping pembicaraan. Wajahnya merah padam, mendelik tajam pada mantanku itu. Tangan Ardhan dilepas paksa. “Aku tidak akan membiarkan buaya seperti kamu menikahi kakak!” tegasnya lagi. Sebenarnya, Ardhan tidak pas juga kalau disebut buaya. Dia memang menjadikanku taruhan, tapi tidak pernah sekalipun menduakan. Kalau diingat-ingat, Ardhan bahkan selalu menempel seperti perangko dan memiliki rasa cemburu yang besar. Entah jika itu semua hanya sandiwara. “Dik, kumohon, meskipun dulu pernah menjadikannya taruhan, aku benar-benar mencintai Aleeya.” “Tidak! Aku yang akan mengurus Kak Aleeya.” “Kamu akan punya ke
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status