All Chapters of Wanita Dambaan Tuan Otoriter: Chapter 41 - Chapter 50
141 Chapters
Bab 41 : Pillow Talk
Dengan perlahan Lelaki bertubuh tinggi itu merebahkan tubuhku ke atas tempat tidur."Bukankah ini malam pertama kita. Iya, 'kan?" Steven mengurungku dalam kungkungannya.Jantungku berdegup sangat kencang."Steve, ma–malam ini aku lelah sekali. Ak–aku butuh istirahat," ujarku lirih sembari mengalihkan wajah ke samping. Aku tahu ia menatapku lekat.Terdengar lelaki itu menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya. Terasa hangat embusan napasnya di rahangku. Ia lalu bangkit dari atas tubuhku. Huuuft ....Kemudian Steven berjalan ke arah almari di sana. Ia lalu mengeluarkan salah satu gaun tidurku yang berwarna merah maroon berbahan brokat menerawang."Pakai ini!" suruhnya sembari menyerahkan benda itu ke arahku, "kalau mau tidur, kamu mesti pakai baju tidur," lanjutnya."Oke," gumamku sembari meraih apa yang ia sodorkan. Bibirku berkedut dengan apa yang ia lakukan. Jadi, aku boleh istirahat, 'kan?Aku pun beranjak bangkit dari ranjang besar itu, kemudian mengambil pakaian dalam dari a
Read more
Bab 42 : Tidur di Pelukannya
Sekitar sepuluh menit kemudian, aku mendengar suara napas yang teratur dari Steven di pucuk kepalaku. Sepertinya dia sudah mulai lelap. Sementara aku, aku masih belum bisa tidur walau mataku terpejam di dadanya yang bidang. Pikiranku melanglang buana ke mana-mana.Teringat lagi dengan Bang Rizal. Dulu pernah kami tidur dalam posisi seperti ini. Waktu pertama-tama menikah. Ketika kami selesai melakukan ritual intim suami-istri.Ah ... sama sekali aku tidak pernah berpikir akan merasakan hal ini lagi. Namun, dengan pria yang berbeda. Bahkan pria itu bukan orang sembarangan. Dia Steven Arnold. Tuan tanah di desa kami. Sempat ada harapan hidup bersama dengan Mas Wahyu. Namun, belum sempat aku berpikiran lebih jauh, justru Steven-lah yang mengalihkan semuanya.Ya, Rabb, aku harap ini adalah pernikahanku yang terakhir. Aku sangat-sangat berharap Steven bisa berubah menjadi lelaki yang baik. Tidak jahat dan semena-mena seperti saat ini.Tapi, tapi apakah bisa? Apakah tidak muluk-muluk aku b
Read more
Bab 43 : Kegiatan Seharian di Hotel
Bagaimana tidak, aku tengah berusaha meredam rasa. Tiba-tiba saja diinterupsi oleh suara itu. Ya Allah, untung saja jantung ini buatan-Mu, bukan buatan pabrik. Steven pun beranjak dari duduk dan melepas genggaman tangannya, lalu melangkah ke sana, lantas membuka pintu itu.Oh, ternyata seorang room service membawakan kami minuman hangat dan makanan untuk sarapan.***"Aku tahu itu." Steven tampak serius bicara di telepon dengan seseorang, entah siapa.Aku hanya diam dengan mengarahkan mata ke TV LED di hadapan sembari menyesap secangkir teh hangat dan menikmati kudapan di sore hari ini. Namun, telingaku masih mendengar pria blasteran itu bicara di sana.Seharian ini aku hanya tidur-tiduran dan menonton film action saja. Sementara Steven, pagi tadi setelah sarapan ia pergi ke kantor, katanya. Pada jam makan siang dia kembali. Kemudian setelahnya, sebentar-sebentar ia membuka ponsel, sebentar-sebentar menyalakan laptop sampai sore ini. Tampaknya pria bule ini begitu sibuk dengan pekerj
Read more
Bab 44 : Bertemu dengan Ibu Mertua
Seketika saja bulu romaku berdiri ketika untuk ke sekian kalinya ia mendaratkan bibirnya ke bibirku. Dan dengan intens pria itu memainkan bibir dan lidahku. Semakin lama kepalaku terasa melayang karena permainannya yang luar biasa. Sungguh aku tak bisa menolak sensasi yang diciptakan dari sentuhan-sentuhannya.Dengan perlahan tapi pasti ia melepas satu demi satu kancing yang melekat di gamis yang aku kenakan. Kemudian ia melepas pakaian yang tadinya aku anggap 'aman' ketika tengah berada berdua dengannya seperti sekarang. Di hadapannya, ya, akhirnya aku polos di hadapannya. Ia pun segera melucuti pakaiannya sendiri. Ya Allah, aku ... aku tak bisa menolaknya kali ini. Aku tak punya alasan lagi. Ia berhak, sangat berhak atas tubuh ini.Kuremas ujung sarung bantal yang berhasil tergapai. Kupejamkan mata ketika akhirnya lelaki ini menyatukan dirinya dengan tubuhku.***"Kamu siap-siap. Habis shalat magrib ini, kita mau ke luar." Steve mengancingkan kaus berkerahnya setelah selesai mandi u
Read more
Bab 45 : Kisah Kandasnya Pernikahan Steven
Nyonya Sarah dan Bu Narsih menjawab salam dariku. Mereka tersenyum manis menyambutku. "Selamat datang, Nay," ucap Nyonya Sarah ramah."Terima kasih, Nyonya," jawabku seraya menyambut uluran tangannya, lalu aku mencium takzim punggung tangan orang tua itu, "Bu," sapaku juga kepada Bu Narsih, kemudian menyalaminya."Mari masuk, Nay!" tawar Nyonya Sarah sambil ia didorong oleh Bu Narsih masuk ke dalam rumah.Aku mengikuti ke mana mereka mengarahkan. Teringat waktu pertama kali aku ke rumah ini waktu itu. Hmm ....Ternyata Nyonya Sarah mengajakku ke bagian ruang tengah rumah. Tampak sebuah teko dengan beberapa cangkir di dekatnya serta sebuah piring yang berisi potongan kue sudah siap di atas meja."Duduk, Nay!" suruh sang Nyonya rumah.Aku tersenyum canggung ke arahnya, lalu mendaratkan bokong ke sofa berwarna mint yang empuk tersebut. "Terima kasih, Nyonya," ucapku."Panggil Mommy. Kamu 'kan, menantu saya," ujar
Read more
Bab 46 : Mommy Bercerita
"Setelah itu, malah perempuan-perempuan lebih nggak bener dibandingkan Katalina pula yang dijadikan istri sama Steve. Heran Mommy dengan anak itu, nyari istri kok, asal-asalan!" Mommy tampak kesal.Aku tersenyum getir mendengar hal tersebut. "Maaf, Mommy waktu itu salah sangka dengan kamu, Nay," imbuh Mommy dengan raut menyesal.Aku menautkan alis demi mendengar apa yang baru saja orang tua itu sampaikan."Mommy pikir kamu perempuan nggak bener kayak yang sudah-sudah. Mau-maunya bercerai dari suamimu hanya demi hartanya Steven. Ya, sama seperti Hana dan Erika dulu, hanya mengincar uang." Mommy mendengkus tak suka.Hana dan Erika pasti mantan-mantan istri Steve lainnya. Aku tidak begitu mengenal mereka. Setahuku ketiga wanita yang pernah bersama lelaki yang kini menjadi suamiku itu tidak ada yang lama terikat pernikahan dengannya. Hal itu juga yang membuatku ragu kepada pria blasteran tersebut."Mommy sudah cari tahu tentang kamu
Read more
Bab 47 : Terbayang
"Wa alaikumus sallam," jawabnya, "kamu sudah sampai rumah dan bertemu dengan Mommy?" tanya pria itu tanpa basa-basi."Iya, sudah," jawabku singkat sembari meredam kegugupan. Jangan sampai suaraku terdengar aneh di telinga Steve."Ya sudah kalau begitu. Aku pergi dulu." "Eh, tunggu!" cegahku. Kenapa seenaknya dia mau memutuskan telepon begitu saja? Masak cuma nanya begitu doang?"Ya?"Mmm ... tapi, mengapa aku mencegahnya memutuskan saluran telepon ini? Aku mau ngomong apa memangnya? Ah, aku jadi bingung sendiri dengan yang aku lakukan."Hmm ... Steve, kamu sudah sampai di Pontianak? Dari jam berapa tadi?" Ya, benar juga. Dia cuma mau tahu kegiatanku. Masak aku tidak boleh tahu kegiatan dia?"Tadi jam setengah dua belas sudah sampai Bandara Supadio," jawabnya to the point."Mmm ... sekarang kamu lagi apa?" Aku mesti tahu apa saja yang ia kerjakan. Mungkin saja dia bertemu dengan wanita lain d
Read more
Bab 48 : Meminta Izin
"Baik, Mom." Aku menganggukkan kepala. Aku baru ingat, Steven 'kan, pemarah. Walau selama tiga hari ini dia sangat baik kepadaku, belum tentu akan seterusnya. Aku tidak mau memancing kemarahannya. Entahlah ... masih ada rasa segan dan takut terhadap pria tersebut, walaupun kami sudah resmi menjadi suami-istri. Aku khawatir jika ia marah, akan berimbas pada segala fasilitas yang ia berikan untuk membantu keluargaku. Bahkan bisa lebih dari itu. Ia tentu mampu menghancurkan keluargaku. Jangan sampai terjadi.Sehabis sarapan bersama Mommy, aku pun masuk ke dalam kamar. Kulihat ponsel baruku yang tergeletak di atas nakas. Hmm ... bagaimana ngomongnya? Kira-kira Steve ngizinin apa nggak ya? Ragu-ragu aku meraih telepon genggamku, lalu jari pun mulai mencari nama Steven di sana. Kemudian akhirnya kucoba saja menghubungi pria yang kini berstatus sebagai suamiku itu."Hallo," sapanya dengan suara khasnya yang berat dan datar.
Read more
Bab 49 : Tudingan Manda
"Si Parmin mana, Sih?" tanya Mommy kepada asistennya itu.Pak Parmin adalah supir keluarga Arnold satu lagi. Hanya saja, dia biasanya khusus melayani Mommy."Mmm, nggak usah, Mom!" sambarku sebelum Bu Narsih menjawab, "itu ojeknya sudah datang." Aku menunjuk ke arah seseorang yang memakai motor dengan jaket khasnya di depan pagar. Sepertinya ia sedang bertanya kepada penjaga keamanan sambil celingak-celinguk mengamati. Aku yakin itu tukang ojek yang sedang menungguku."Lain kali bisa sama Parmin aja. Ya sudah, hati-hati," pesan Mommy sambil bersungut-sungut.Aku balas dengan senyum simpul. Lalu menjawab, "Iya, Mom. Aku pergi dulu, assalamualaikum!" Kemudian aku pun segera meraih tangan Mommy dan mencium punggungnya cepat. Lantas berlari kecil ke arah si tukang ojek yang sudah menunggu.***Sesampainya di rumah Bi Eli, di Desa Mekar, aku melihat Nanda tengah asik bercanda dengan Rika. Aku pun turun dari ojek, dan membaya
Read more
Bab 50 : Bertemu dengan Mantan
Manda menatapku dengan sorot yang ... ah, entah. Aku tak bisa mengartikannya. Antara ia kasihan kepadaku atau sekaligus menyesali apa yang telah aku putuskan."Nggak kayak gitu, Manda! Kamu jangan sok tahu, ih!" Aku mencoba tersenyum walau hatiku terasa tertusuk dengan apa yang sepupuku bilang barusan.Gadis itu menarik napas panjang dan mengembuskan udara perlahan-lahan. "Maafkan kami semua, Kak. Kakak jadi tumbal semuanya. Gara-gara kami Kakak jadi harus terpaksa menikah dengan Tuan Steven yang jahat," ucap Manda dengan raut sedih. Ia tertunduk menatap lantai yang dingin."Eh, jangan ngomong begitu!" sambarku. Kuraih jemari Manda dan menggenggamnya erat, "Kakak bahagia, Man! Steven ternyata baik kok, orangnya," ungkapku kepada gadis itu. Aku berusaha meyakinkannya agar tidak berpikiran buruk seperti itu. Aku tidak mau keluargaku terbebani oleh keputusan yang telah aku buat sendiri.Manda menatapku lekat. Entahlah aku tidak tahu dia per
Read more
PREV
1
...
34567
...
15
DMCA.com Protection Status