Lahat ng Kabanata ng Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin: Kabanata 41 - Kabanata 50
52 Kabanata
PART 41
“Perkiraan dokter yang menangani, Noni kemungkinan mengidap diabetes.” Ningrum sampai terperangah mendengar kabar itu sampai mulutnya terbuka, kemudian bertanya, “Diabetes? Apakah pada anak-anak seusia Noni bisa terkena penyakit itu?” “Kata Dokter Ediman, iya. Namanya diabetes tipe satu. Tapi ya itu baru perkiraan sementara, sembari menunggu hasil cek darahnya. Seharusnya kemarin hasil tes darahnya keluar langsung, tapi karena ada sesuatu hal, jadi hasilnya akan disampaikan oleh Dokter Ediman sendiri kepada saya, bisa lewat telepon, atau saat Noni menjalani kemoterapi kedua minggu depan. Tapi hal ini belum saya ceritakan kepada keluarga saya, karena belum pasti.” “Ya Allah, semoga hasil test negatif, Mas,” harap Ningrum dengan ekspresi ikut prihatin. “Mudah-mudahan. Oh ya, kamu ada acara malam ini?” “Tak ada, Mas, kenapa?” “Nanti kan malam Minggu, kautemani aku jalan-jalan, ya?” “Ke mana?” “Ya ke mana saja. Wisata kuliner, shopp
Magbasa pa
PART 42
Malam itu Radit menikmati kebersamaannya dengan Ningrum. Habis dari reastoran, keduanya memanjakan mata mereka dengan berkeliling di mall. Ada berbagai pakaian dengan brand kelas dunia yang bebas mereka pilih di situ. Radit membeli beberapa stel pakaian yang terdiri dari celana, hem, dan jas. Ia juga mempersilakan Ningrum untuk memilih beberapa stel pakaian buat dirinya. Sebenarnya Ningrum agak gamang juga untuk menerima traktiran itu, apalagi harga yang tertera pada label tiap pakaian yang dipajang tidaklah murah, mahkan tergolong mahal bagi ukuran kantongnya. Namun karena tak ingin mengecewakan sang bosnya, ia pun memilih satu stel pakaian saja yang cocok untuk ke kantor. Seolah-olah Radit mengetahui kegamangan Ningrum, ia bertanya, “Kenapa hanya memilih satu stel? Pilihlah lagi. Mumpung masih tersedia model-model teranyar. Paling satu dua hari lagi ludes lho ini diserbu.” “Iya deh, saya pilih satu stel lagi, ya?” “Ya silakan, berapa stel pu
Magbasa pa
PART 43
Sesampainya di rumah, Radit melihat Nagita dan ibu mertuanya, Bu Ratri, menyambutnya di pintu, dan Noni langsung menyongsongnya di halaman. Tubuh mungil sang buah hati langsung digendong dan diciumnya dengan perasaan gemes. Bi Ipah membawa masuk semua tas plastik yang berisi belanjaan. “Ibu sudah pulang?” tanya Radit pa Bu Ratri, seolah-olah mengabaikan Nagita. “Sudah dari tadi, Dit. Papamu juga baru saja pulang,” sahut Bu Ratri. “Oh,” ucap Radit sembari berjalan ke dalam ruang keluarga dan menyandarkan tubuhnya di sofa. “Pasti acara reuniannya ramai, dong?” lanjut Radit, pura-pura bertanya. “Ya nggak. Kakeknya Noni hanya mengajak Ibu untuk makan berdua saja sambil mengobrol-ngobrol ringan gitu. Ya, sekedar untuk mengenang masa lalu, Dit.” “Iya, Bu, syukurlah.” Jujur sekali ibu mertuaku ini, batin Radit. Lalu bertanya pada Noni, “Trus putrinya Papa yang cantik ini sudah minum obatnya?” “Sudah dong, Papa.” “Duh, putri Papa, sudah cantik pi
Magbasa pa
PART 44
“Oh iya, Pak Radit. Dengan berat hati saya harus sampaikan, bahwa hasil test darahnya Noni ....” Radit tak mampu lagi mendengarkan kelanjutan dari kalimatnya Dokter Ediman. Ia terlanjur lemas dan tak sadarkan diri. Entah berapa lama ia pingsan. Hanya saja ketika siuman, ia telah berada di atas sebuah pembaringan dalam sebuah kamar yang berwarna serba putih dengan nasal kanul yang terpasang pada kedua lubang hidungnya. Selanjutnya Radit melihat dalam ruangan itu ada wajah papanya, Abdul Karim, Ibu Ratri, Nagita, Ningrum, dan Noni. Ia sedang dirawat di ruang VVIP di sebuah rumah sakit. Melihatnya siuman, semua spontan bangkit dari duduk mereka dan berdiri di sisi bed rawat. “Berapa lama aku pingsan?” tanya Radit dengan suara lemah, tanpa ditujukan secara khusus pada siapa pun. “Tadi siang kamu jatuh pingsan, sekarang sudah mau isya’,” yang menjawab Pak Abdul Karim Pambudi, papanya, dan, “Apa sebenarnya yang kamu rasakan, Dit?” Radit tak
Magbasa pa
PART 45
Pasca keluar dari rumah sakit, atas permintaan sang papa, Pak Abdul Karim Pambudi, setelah memberikan berbagai alasan yang sangat masuk akal, terutama alasan yang berkenaan dengan kondisinya dan Noni, Radit pun memutuskan untuk pindah ke rumah papanya. “Rumah itu terlalu luas untuk Papa diami seorang diri. Alangkah bagusnya jika rumah seluas itu ditempati oleh banyak orang,” begitu alasan lain yang dikemukakan oleh Pak Abdul Karim Pambudi. Radi memboyong semua keluarganya, termasuk sang asisten rumah tangganya. Bi Ipah. Kecuali Bi Ipah, Radit dan keluarga kecilnya, termasuk ibu mertuanya, menempati ruangan di lantai dua. Radit memenuhi janjinya pada sang buah hati, Noni, untuk selalu tidur bersamanya. Jadi, sejak saat itu mereka bertiga menempati satu kamar dan tidur di tempat tidur yang sama dengan Noni tidur di tengah. Namun demikian, kedekatan yang sesungguhnya antara Radit dan Nagita itu belum kembali. Jarak itu masih tercipta. Radit
Magbasa pa
PART 46
“Ketika Noni divonis mengidap penyakit leukemia dan melihatnya, dunia rasanya terbalik,” ucap Radit. ”Saat itu pun aku bertekad akan membawa Noni untuk berobat ke sebuah rumah sakit terbaik di dunia ini, di mana pun itu. Dan perasaan itu kini dirasakan juga oleh Papa. Jadi, jika Papa ingin membawa kami ke untuk berobat ke Tiongkok, maka tak ada alasan bagi aku untuk menolaknya, Pap. Tapi semuanya harus ada di sekitar kami. Semua harus ikut. Bahkan Bi Ifah pun harus ikut.” “Ya tentu, dong, Dit. Soal itu tak perlu Radit ucapkan lagi, paham jauh lebih paham arti sebuah keluarga bagi kehidupan seseorang. Jika ada keluarga kita yang lain lagi mau ikut, ya silakan. Jet pribadi Papa bisa memuat hingga sembilan belas penumpang.” “Terima kasih, Pap,” ucap Radit lalu bangkit dari duduknya dan melangkah ke ayah Papanya lalu memeluk tubuh laki-laki itu dengan erat dan terisak. “Papa adalah orang yang paling memahami aku di atas dunia ini. Entah bagaimana lagi aku harus mengu
Magbasa pa
PART 47
Setelah semua perencanaan telah disiapkan secara matang, seminggu kemudian, penerbangan menuju Negeri Tirai Bambu pun dilakukan. Perjalanan selama lebih dari tujuh jam dari Bandara Soetta menuju Beijing Capital International Airport terasa cukup melelahkan. Setiba di Beijing, Radit dan Noni langsung melakukan chek in di rumah sakit yang dirujuk untuk melakukan pemeriksaan klinis pertama. Untuk Radit masih dalam tahap dilakukan general chek-up. Dari situ akan dimulai riset klinis untuk menentukan calon pendonor. Dan hasilnya akan segera keluar dalam beberapa hari ke depan. Sementara Noni, kondisinya memang drop, jadi harus langsung dilakukan perawatan yang intensif. Dari hasil test darah, darahnya lumayan naik. Tim dokter yang menanganinya menyarankan agar pasien dirawat inap supaya mendapatkan penanganan medis yang maksimal. Kondisi dropnya Noni dipicu juga oleh kecapaian akibat perjalanan udara yang cukup lama dan kondisi dari penyakit leukemia yang diderit
Magbasa pa
PART 48
Setelah dua minggu dalam masa menunggu, tim dokter memberikan kabar yang menggembirakan kepada Radit bahwa telah ada seseorang yang menyatakan siap untuk menjadi pendonornya. “Hanya saja,” kata sang dokter yang diterjemahkan oleh Nona Lie, “dengan alasan tertentu, sang pendonor meminta agar kami merahasiakan dulu identitasnya kepada Tuan Raditya.” “Mengapa seperti itu? Harusnya aku tahu siapa orang yang mau mengorbankan dirinya untuk menolomng hidup aku, Pak?” Radit justru menatap dan bertanya pada papanya. “Ya, seperti Pak Dokter barusan bilang, dengan alasan tertentu sang pendonor minta identitasnya untuk dirahasiapakan pada kamu. Papa kira nggak masalah. Mungkin itu berkenaan dengan privacy-nya sang pendonor?” Radit menoleh pada Nagita, “Apakah kamu yang akan melakukannya?” Nagita menggeleng, “Bukan, Mas. Lagi pula ... aku belum lama mendonorkan sumsum tulang kepada Noni. Apakah seseorang boleh mendonorkan bagian tubuhnya yang berbeda s
Magbasa pa
PART 49
Kondisi Raditya sudah dinyatakan pulih seratus persen setelah beberapa bulan pasca operasi transplantasi. Kondisi Noni pun makin mengarah ke kemajuan. Hanya saja ia masih terus menjalani siklus kemoterasi. Namun tim dokter memprediksi, bahwa kesembuhan Noni bisa lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Sebuah keajaiban. Setelah benar-benar klir dinyatakan sembuh sempurna, Raditya diperbolehkan oleh sang ayah, Abdul Karim Pambudi, untuk kembali mengurus perusahaan. Ia tidak hanya menangani secara online, namun juga pulang ke Indonesia. Seminggu di Indonesia dan seminggu di Beijing secara rutin. Sementara Pak Abdul Karim lebih betah mengendalikan kerajaan bisnisnya di Beijing dengan dibantu oleh beberapa tenaga ahlinya yang didatangkan ke Beijing, walau sekali-sekali beliau datang ke Jakarta. Laki-laki paruh baya itu terlihat lebih betah, terlebih karena beliau di Beijing ia selalu ada Bu Ratri untuk temannya bercerita. Begitu pun Bu Ratri, terlihat selalu c
Magbasa pa
PART 50
Beberapa menit kemudian terdengar ketukan di pintu. “Ya, silakan masuk,” ucap Radit. “Selamat siang, Mas,” salam Ningrum sembari menutup kembali pintunya. “Silakan duduk.” “Terima kasih.” Raditya menatap wajah wanita di depannya dan tersenyum. “Bagaimana keadaanmu hari ini?” tanya Raditya. “Alhamdulillah baik, Mas.” “Tadi malam Ning punya mimpi apa?” “Mimpi?” Kedua Ningrum saling merapat. Terasa ada semacam kejanggalan yang ia rasakan dalam pertanyaan itu. “Malah aku nggak sempet mimpi kayaknya, Mas. Tidur saja baru jam dua dini hari baru bisa terlelap, trus bangun subuh. Kenapa, Mas?” “Ntar kujawab pertanyaanmu, aku ingin lanjut bertanya dulu,” ucap Radit. “Kenapa tidurnya terlambat?” “Hm, nggak tau juga, Mas. Terasa gelisah saja, padahal aku sedang tidak memikirkan sesuatu apa pun yang sifatnya berat.” “Hm, berarti itu pengganti mimpinya!” celetuk Radit. “Maksud, Mas?” “Begini, tadi papaku video ca
Magbasa pa
PREV
123456
DMCA.com Protection Status