Semua Bab Kukembalikan Seserahan Calon Suamiku: Bab 111 - Bab 120
170 Bab
Bab 111
POV HananAku mensyukuri segala hal baik yang terjadi belakangan ini. Membaiknya hubungan antara Mama dan menantunya itu salah satunya.Mama lebih sering berkunjung sejak hari itu. Bermacam buah tangan beliau bawa untuk menantu yang sedang mengandung cucunya. Mulai dari asupan makanan sehari-hari, hingga pakaian longgar untuk ibu hamil. Tak jarang juga, diajaknya menantu satu-satunya itu mengunjungi salon kecantikan. Hal yang jarang dilakukan, sebab Husna memang kurang suka. Tapi menurut juga, demi baiknya hubungan dengan Mama mertua.Ia telah menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Namun masih perlu waktu beberapa lama lagi untuk wisuda, sebab ia telah selesai lebih awal. Ia jadi lebih banyak waktu luang di rumah. Hal ini juga yang membuat Mama leluasa mengajak ia sekedar jalan dan makan di luar. Yah, meski jarak rumah kami tak bisa dibilang dekat, tak juga membuat niat Mama surut untuk datang berkunjung.
Baca selengkapnya
Bab 112
Hampir jam sepuluh saat kami sampai di kediaman Bu Lisa dan Pak Mirza. Sambutan hangat dari mereka, membuat hubungan kami semakin akrab sebagai satu keluarga.Seperti yang dipinta sebelumnya, Arsy sudah meno dongkan buku gambar dan pensil pada Tantenya. Tak butuh waktu lama, kertas kosong itu kini telah berisi bermacam bentuk, seakan menjadi satu cerita yang tertuang dalam gambar."Makasih, ya, Tante," ucap Arsy dengan mata berbinar."Sama-sama, sayang."Arsy telah sibuk dengan gambar tersebut. Ditunjukkan pada kedua orang tuanya bergantian, lantas diambilnya pensil warna dan mulai menggoreskan perlahan pada bidang gambar.Sementara itu, Arkan mengajakku bermain sepeda di jalan depan rumah. Aku hanya diminta melihat, sementara ia sibuk mondar-mandir dengan sepeda kecilnya.Waktu berlalu dengan cepat tanpa terasa, hingga keduanya terlihat kelelahan, lantas terbaring di kamar masing-masing."Maaf, ya, Mbak Husna
Baca selengkapnya
Bab 113
Ia masih berdiri tegak di tempatnya. Pandangannya masih mengarah ke arah kursi yang berbaris rapi di teras minimarket. Aku mencoba memahami sesuatu, bahwa ia, mungkin saja sedang bergumul dengan pertanyaan yang bergulung-gulung di kepala. Mungkin orang yang ia lihat sebagai Dirga, tadi sedang duduk di sana.Apa sebaiknya kukatakan padanya, bahwa Dirga telah kutemukan keberadaannya, tapi tak punya keberanian menunjukkan wajah di depannya?"Kita masuk aja, beli sesuatu, yuk."Aku berharap, dengan menikmati makanan kesukaannya, moodnya akan kembali membaik.Lagi-lagi ia patuh, saat kuraih bahunya, kemudian mengajak ia memasuki area indoapril."Udah, ya, jangan sedih-sedih, nanti Wijaya kecil ikut sedih," ujarku sambil mengelus perutnya yang mulai terlihat membuncit."Iya, Mas," jawabnya sambil melangkah masuk.Kami telah berada di depan box besar berisi es krim. Aku baru akan membuka tutupnya ketika tangannya menc
Baca selengkapnya
Bab 114
Ia mengernyitkan keningnya. Lantas memeriksa keningku dengan punggung tangannya. Gegas kuraih tangan itu, lalu kugenggam sambil mengulas senyuman."Nggak panas. Kamu nggak papa kan, Mas?" ia terlihat khawatir. Ekspresinya justru menambah kadar kecantikannya di mataku."Mas nggak papa, Sayang. Udah selesai? Kita pulang, ya?" ajakku, dengan tetap menggenggam erat tangannya. Ia mengangguk menyetujui.Beriringan kami meninggalkan minimarket ini, untuk melanjutkan perjalanan pulang.Di dalam kendaraan roda empat ini, aku terdiam sejenak. Kugenggam erat tangannya, hingga ia menolehkan wajah. Sekarang wajah kami berhadapan. Kutatap matanya dengan tatapan hangat yang kupunya."Husna, terima kasih, ya, sudah menjadi istri yang baik buat Mas selama ini."Awalnya ia sedikit membesarkan mata, lalu ia mulai tersenyum."Kamu kenapa, sih, Mas?""Mas sayang sama kamu, Husna. Tetap jadi istri Mas, ya?" ujarku lirih. Te
Baca selengkapnya
Bab 115
POV DirgaApa yang diharapkan oleh hati yang menanggung rindu, selain bertemu? Tak peduli meski rasa itu telah tabu. Begitu juga dengan aku.Aku ingin bertemu, untuk memuaskan rasa rindu yang menyiksaku. Sayangnya, hatiku tak sebesar itu, untuk menunjukkan apa yang bergejolak di dalam dada.Pikiranku sudah tak ada di tempat sejak kulajukan kembali kendaraan roda empat ini. Wajahnya mengikuti kemana pun langkahku pergi.Rahmi masih asyik bercerita mengenai kedua keponakannya. Sampai tiba di rumah Mbak Lisa, nampaknya anak-anak sedang dibujuk ketika aku menginjakkan kaki di teras rumah."Kenapa mereka, Mbak, kok sepertinya lagi rewel?" tanya Rahmi begitu selesai melepas rindu pada kakaknya."Iya, mereka nyariin om sama tantenya yang udah nggak ada waktu mereka bangun.""Om sama Tante?" tanya Rahmi terlihat mengernyitkan dahi."Iya, tadi mereka sedang tidur waktu Mbak Husna sama suaminya pulang dari sini. Sudah dip
Baca selengkapnya
Bab 116
Lepas Isya', barulah kami berdua pamit meninggalkan kediaman keluarga Mbak Lisa. Keluarga yang hangat dan saling support. Baru kuketahui kalau Mas Mirza ayah sambung bagi Arsy dan Arkan."Terima kasih, ya, Mas, sudah mengajakku mengunjungi Mbak Lisa. Terima kasih juga, sudah membaur dengan baik pada anak-anak.""Sama-sama. Mau langsung pulang apa mau mampir ke mana dulu?" ujarku menawarkan."Pulang saja, ya. Kita belikan dulu sesuatu buat Ibu.""Siap Nyonya."Ia kembali terkekeh kecil. Di sebuah penjual martabak ia meminta berhenti. Aku menurut.Ibu senang sekali saat melihat kami pulang bersamaan."Maaf, ya, Bu. Sampai malam begini kami baru pulang," ujar Rahmi setelah menyalami ibu."Tidak apa-apa. Ibu malah seneng lihat kalian begini. Semoga kalian rukun terus seperti ini, saling melengkapi satu sama lain," jawab ibu sambil merangkul menantunya. Rahmi bergegas ke dapur untuk mengambil piring, meninggalkan aku berdua dengan ibu."Bagus
Baca selengkapnya
Bab 117
POV Husna"Mas, ayo bangun, sarapan dulu."Kukecup pipi kanannya. Ia malah tersenyum senang dengan mata masih terpejam."Mas baru akan bangun kalau istri Mas mau mencium pipi sebelahnya," katanya dengan tersenyum dan mata tertutup."Baiklah kesayangan." Aku mencium pipi kirinya. "Apa masih kurang?" tanyaku dengan berbisik.Ia meletakkan jari telunjuknya di bibir.Aku terkekeh, kemudian menurut. Cup."Udah."Ia membuka mata. Wajahnya semringah. Nampaknya ia mengawali hari dengan lebih berwarna.Ia bangkit, lantas mengajakku ke halaman di samping kamar. Di kursi santai itu kami duduk berdampingan."Mas bisa makan sendiri, Sayang, nggak usah kamu suap. Cukup duduk di sini menemani.""Baiklah suamiku sayang."Aku mengambil piring berisi potongan buah-buahan segar. Ia mulai menyuap menggunakan garpu yang telah kusiapkan."Tumben sekali tidur lagi, Mas? Masih capek, ya?"
Baca selengkapnya
Bab 118
Melihat jam di tangan, sudah jam makan siang. Aku bergegas menuju food court untuk mengisi perut. Jangan sampai aku terlambat memberi nutrisi untuk janinku. Ia sudah mulai bergerak-gerak sejak aku meninggalkan ruangan Bu Lutfi. Kuelus perlahan tempat ia berada, berharap ia bersabar sebentar lagi."Sabar, ya, Nak. Sebentar lagi kita makan," ucapku sambil berjalan menuju deretan menu.Membawa satu piring berisi nasi merah, perkedel kentang, tumis sawi putih, serta timun segar sebagai lalapan, aku menuju meja yang masih kosong. Tak lupa memberi kabar pada calon ayah Wijaya kecil sebelum memulai menyantap makan siangku.Menikmati makan siang kali ini, sambil bertukar kabar melalui ponsel pada beberapa teman kerja dan juga kuliah. Ada yang masih sibuk ngumpulin data, ada yang ngejar-ngejar dosen buat konsultasi, ada yang printernya rusak sebab diajak ngebut ngeprint tulisan. Dan masih banyak lagi.Aku tersenyum membaca chat mereka. Tak menyangka juga k
Baca selengkapnya
Bab 119
"Jadi begini, kelakuan kamu? Apa tak malu? Suamimu kerja banting tulang, dan kamu enak-enakan di sini, berdua entah dengan siapa!"Wanita ini, kenapa bisa ada di sini dan membuat tuduhan yang tak ada kebenaran di dalamnya sama sekali? Kenapa sibuk sekali mengurusi yang bukan urusannya?"Apa yang kamu lakukan di sini, Husna? Berdua saja dengan laki-laki, di tempat umum seperti ini?"Mama sudah muncul di belakang Tante Wanda. Entah sejak kapan mereka berada di dekat sini. Mama menatapku dengan pandangan entah, sementara Tante Wanda tersenyum sinis menatapku. Aku semakin dibuat takjub dengan kehadiran Mama di tempat ini. Bagaimana bisa kebetulan begini berada di tempat yang sama, di waktu yang sama?"Kenapa masih bertanya? Sudah berkali-kali kukatakan, kalau perempuan ini bermuka dua. Lihat saja dirinya, sudah berbadan dua pun, masih saja mencari lelaki lain. Tak bersyukur!"Lagi-lagi ia tersenyum miring, sementara Mama memandangku
Baca selengkapnya
Bab 120
Ia meraih bahuku, lantas merapatkan badan. Terima kasih, Mas. Setidaknya, aku berharap, Mama mau mendengarkan anak lelakinya, bukan adiknya yang hampir selalu julid kalau bertemu denganku."Maaf, Mas terlambat," bisiknya di telingaku."Benar begitu, Husna?""I-iya, Ma."Mama masih menatapku dengan tatapan bertanya, kemudian terlihat menghembuskan napas panjang."Nah, bener, kan. Jadi Mama nggak usah mikir macem-macem. Oke?""Baiklah, Mama percaya sama kamu, Hanan.""Semudah itu kamu percaya, Sekar?" tanya Tante dengan menaikkan alis. Ia terlihat keberatan melihat Mama tak terpengaruh lagi oleh ucapannya."Sudahlah Tante, ibu dan anak ini sudah lengket, tak bisa kamu kompori kalau sudah seperti sekarang," bisikku dalam hati."Eh, iya, Mama, udah makan siang apa belum? Mumpung di sini, kita makan sama-sama, yuk. Ayo, Ma, pilih menu yang Mama pengen. Yuk."Ia tak menanggapi ucapan Tante Wanda, beg
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1011121314
...
17
DMCA.com Protection Status