Semua Bab Kugadai Harta Suami Yang Berselingkuh: Bab 51 - Bab 60
137 Bab
Bab 51
"Astaghfirullah! Ingat, Yoga ... ingat! Kamu sudah memiliki Mutia. Kamu sudah mendapatkan perempuan yang kamu cinta. Kenapa kamu masih mengingat saja perempuan mand*l itu?!" Aku bermonolog di dalam hati.Cepat kembali kuusap wajahku, berharap mampu menghilangkan bayang-bayang wajah Rena yang tiba-tiba berkelebatan di kedua pelupuk mataku. Kedua netraku melihat ada laci di barisan atas. Akhirnya aku pun mulai membukanya. Dan benar saja, ternyata pakaian dalam yang aku cari disimpan di bagian sana. Setelah pakaian telah melekat di tubuhku, bergegas aku berjalan menuju ke arah ranjang. Setelahnya aku pun duduk di tepi ranjang lalu kuraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Nakas yang ada tepat di samping tempat tidurku. Aku pun membuka menu aplikasi yang biasa digunakan orang-orang untuk memesan makanan secara online. Tak banyak yang kupesan. Aku hanya memesan dua porsi bubur ayam yang jaraknya rumayan jauh dari kediamanku. ****Tersentak kaget aku saat keluar kamar, keadaan begit
Baca selengkapnya
Bab 51
"Nanti aku mau pakai itu lah. Biar temen-temen pada tahu kalau aku punya suami kaya raya, bergelimang harta, baik pula," puji Mutiara yang membuatku melambung tinggi. Mutia bergegas bangkit dari tempat duduknya, setelahnya, ia pun langsung melangkah ke arah sampingku lalu mengecup pipi sebelah kanan dengan begitu mesranya. Aku pun bergantian mencium wajah itu. Setelahnya, Mutia pun melangkah pergi kembali menuju kamar. Aku menatap kepergiaannya dengan seuntai senyum. Entahlah, ternyata sesenang ini melihat orang yang kita cintai merasa bahagia hidup bersama kita. Aku pun melangkah menuju ke kamar. Tentu saja untuk menghampiri Mutiara.Saat baru saja kubuka pintu, terlihat Mutia sedang duduk di depan meja cermin dengan lipstik yang ada di tangannya. Pakaian yang membalut tubuhnya kali ini sudah berganti. "Kamu pergi sekarang?" tanyaku setelah menutup pintu kamar dan melangkah mendekat ke arah Mutia. "Iya, Mas. Nanti nggak sampek malem kok pulangnya," jawab Mutia. Langkahku terhe
Baca selengkapnya
Bab 52
Ponsel yang kuletakkan di atas meja makan berdering. Sepertinya ada pesan masuk. Akan tetapi, tak kupedulikan benda pipih itu. Aku masih berkutat dengan makanan yang baru saja kuolah. Tak macam-macam. Aku hanya membuat roti bakar untuk kuhidangkan saat bersama Mutia nanti. Setelah selesai, tak lupa kuletakkan di atas piring dan kubawa menuju ke meja makan. Kuletakkan makanan hasil tanganku itu lalu kuhenyakkan tubuhku di kursi. Ponsel itu kembali berdering. Hanya saja kali ini ada panggilan masuk. Nama Reno terpampang dengan jelas di layar tersebut. Reno adalah sahabat dekatku. Dengan dia juga aku menjalankan bisnis sampinganku. Ya, selain memiliki rumah makan, aku juga memiliki usaha jual beli motor bekas. Meskipun belum berkembang dengan pesat, meskipun belum memberikan penghasilan seperti yang diharapkan, kami tetap menekuninya. Aku pun meriah benda pipih tersebut, setelahnya kuusap ke atas layar itu dan kutempelkan ke telinga. "Halo, Ren. Apa ada pesanan sepuluh motor h
Baca selengkapnya
Bab 53
Setelah selesai, aku pun langsung kembali ke kamar. Dan saat kubuka daun pintu, terlihat lah Mutia yang sudah berbaring dengan kedua mata yang terpejam dengan sempurna. Aku melangkah mendekat lalu dengan perlahan naik ke atas ranjang. Aku tak ingin tidur Mutia terganggu karena gerakan tubuhku. Setelah kunaikkan kedua kakiku, lantas kutarik selimut dan kutenggerkan di atas tubuh Mutia. Memang begitu lah istriku itu, kalau tidur, enggan sekali menggunakan selimut. Dan menyelimutinya adalah tugasku setiap malam. Tubuh itu menggeliat pelan saat selimut telah menutupi seluruh tubuhnya hingga sebatas dada. Aku pun membaringkan tubuhku dengan posisi saling membelakangi. Belasan menit aku berusaha untuk memejamkan kedua mataku, tapi sia-sia. Kedua netra ini masih tetap saja terjaga. Akhirnya, kuraih ponsel yang tadi sempat kuletakkan kembali di atas nakas. Aku membuka aplikasi Whats*pp dan mulai melihat-lihat story yang baru saja diunggah oleh nomor kontak yang kusimpan di ponselku. A
Baca selengkapnya
Bab 54
Ponsel milik Mutia berdering hingga membuatku terkejut bukan main. Bagaimana tidak, aku yang saat itu masih terbuai di alam mimpi, tiba-tiba suara ponsel itu berbunyi dengan volume yang sangat tinggi. Aku meraih ponsel milik Mutia, dan ternyata hanya lah alarm yang mungkin saja semalam diatur oleh Mutia.Aku mengusap wajahku, setelahnya kudekatkan wajahku dengan Mutia. Beberapa detik kulit bibirku mendarat pada kening itu. Mungkin karena menyadari sentuhan itu, kedua mata Mutia pun terbuka dan bibir itu mengulas senyum."Sudah jam tujuh, katanya kerja," ucapku dengan halus sembari mengelus pucuk kepala Mutia. Tangan itu langsung melingkar erat di punggungku dengan kakinya yang juga membelit pahaku. Seakan-akan ia enggan sekali untuk terbangun."Aku masih ngantuk, Mas ....""Udah jam tujuh loh. Kamu kan berangkat kerja jam delapan. Buruan mandi, nanti Mas anterin," ucapku. Mutia pun berdecak kesal. Dengan malas, ia pun menyibak selimut yang semalam menghangatkan tubuhnya, dan deng
Baca selengkapnya
Bab 55
Pov Rena**"Masak apa, Bu?" tanyaku saat aku berjalan menuju dapur, ternyata ibu sudah ada di sana. Padahal jam masih menunjukkan pukul setengah lima pagi, tetapi ibuku sudah berkutat di dapur untuk menyiapkan menu sarapan untuk kami. Sudah tiga hari aku pulang ke rumah ini. Keberadaan keluargaku, mampu membuatku merasa lupa akan sakit hadi dan kecewa karena pengkhinatan itu. Orang-orang di sekelilingku, terkusus bapak ibuku selalu berusaha mengajakku bicara. Tak akan membiarkanku duduk sendiri, apalagi sampai melamun dan termenung.Bahkan, sekali pun mereka bertanya soal Mas Yoga dan masalah pengkhianatan itu setelah kubilang pada bapak ibuku kalau aku akan menggugat cerai dirinya. Aku tahu maksud mereka bukan karena tak perhatian, akan tetapi, mereka tak ingin mengingatkanku pada masalah itu. Tak bisa dipungkiri, ada yang berbeda setelah perpisahan kami. Ada rasa sakit dan kecewa di relung hati ini. Pengkhianatan itu benar-benar menorehkan luka pada cinta yang suci. "Lagi gor
Baca selengkapnya
Bab 57
"Iya! Sudah ingkar janji, pelit bin kikir pula. Padahal kerjaannya cuma minta duit lakik. Secara tidak langsung kan kamar, rumah dan bekakas lainnya dibeli pakek duit Yoga. Lakik mana yang betah hidup dengan wanita kayak gitu? Idih ... amit-amit deh!"  Pletak! "Apa-apaan kamu, Ren!" pekik Mbak Sumi yang tak terima saat tepat di mulutnya kulempari wortel yang masih terlihat begitu segar. Aku terkikik saat melihat bibir itu sedikit dower.  Harusnya tadi kulempar mulut itu menggunakan kayu yang dipakai Mas Udin untuk menahan gerobak yang berhenti sekalian. Biar nyonyor, nyonyor deh tuh mulut.  Kok gemes aku jadinya.  "Mbak Sumi yang apa-apaan. Jangan bikin fitnah kayak gitu!" "Fitnah apa?! Yang kukatakan itu memang fakta! Bahkan, Yoga sendiri yang mengatakannya!"  Tuh, kan. Benar apa yang aku katakan. Pasti yang Mas
Baca selengkapnya
Bab 58
"Udah, Mbak? Ini saja?" tanya Mang Udin setelah kuserahkan dua ikat kangkung, satu kantong toge dan satu bungkus telur yang berisi empat butir. "Iya, Mang. Rencana mau masak tumis kangkung dicampur toge. Nanti tinggal goreng telur saja," ucapku. "Totalnya lima belas ribu, Mbak," ucap Mang Udin setelah selesai memasukkan belanjaanku lalu menyerahkannya padaku. Kukeluarkan satu lembar uang pecahan dua puluh ribuan. "Kembaliannya, Mbak." "Terima kasih, Mang," jawabku sembari kuterima kembalian dari Mang Udin. Aku pun bergegas masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ke dapur. Dan ternyata Ibu sudah menungguku di sana. "Tadi kok Ibu denger-denger di depan ada keributan, Nduk?" tanya Ibu setelah menyadari kehadiranku yang telah duduk di kursi panjang yang terbuat dari bambu. "Biasalah, Bu. Mbak Sumi," jawabku yang sebenarnya malas sekali menyebut nama itu. Terdengar Ibu menghembuskan napas berat. "Mbok ya dibiarin saja toh, Nduk. Nggak usah digubris. Buang-buang tenaga," protes I
Baca selengkapnya
Bab 59
"Kalau enam bulan lagi, Mas Yoga sudah jatuh miskin! Kan seru tuh kalau misal dia miskin, pulang kampung, eh, mantan istrinya ini malah bisa buka usaha," lanjutku. Bahkan, aku sampai senyum-senyum sendiri membayangkan jika apa yang aku ucapkan itu menjadi kenyataan. Pasti seru dan lucu kan?Apalagi nanti akan ada adegan Mas Yoga yang ngamuk-ngamuk kayak orang gila karena hartanya sudah kugadaikan. Belum lagi kalau si perempuan murahan itu meninggalkannya dalam keadaan miskin. Aku yakin, nanti pasti keluarga Mas Yoga akan demo ke sini, tak terima dengan apa yang aku lakukan. Sedangkan aku, akan berdiri di depan mereka sambil mengibas-ibaskan lembaran merah pada wajahku. Euhm ... harum uangnya saja rasanya aku sudah bisa menciumnya. "Heh, Nduk! Itu kenapa senyum-senyum sendiri sambil kipas-kipas pakek seikat kangkung gitu?!" pekikan Ibu seketika menyadarkan aku dari lamunan. Aku menoleh ke arah tanganku, benar saja, kangkung itu kugunakan untuk mengipasi wajahku. Aku tersenyum nyeng
Baca selengkapnya
Bab 60
Jam yang menggantung di dinding di dalam kamarku menunjukkan pukul delapan pagi. Bergegas aku kembali berkaca, memastikan jika penampilanku saat ini tidak terlihat begitu memalukan. Hanya pakaian gamis berwarna abu-abu dengan jilbab pashmina berwarna senada yang membalut tubuhku ini. Setelah selesai memastikan penampilanku, aku pun bergegas menuju ke arah ranjang. Di mana aku menumpuk berkas-berkas keperluanku untuk menggugat cerai Mas Yoga. Ya, pagi ini aku akan pergi ke pengadilan. Tentu ditemani oleh seseorang. Seorang perempuan yang dulu adalah teman sekelasku. Sudah berumah tangga akan tetapi nasibnya sama seperti diriku. Belum dikarunia keturunan oleh Sang Maha Pemberi Rejeki. Bedanya, kehidupan rumah tangganya begitu harmonis. Apalagi ia memiliki mertua dan ipar yang sabar dan begitu menyayanginya. Menurutku, dia perempuan yang beruntung. Meskipun keadaan ekonominya tergolong pas-pasan.Namanya Laila. Dia seumuran denganku. Pekerjaannya setiap hari akan menemani orang
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
45678
...
14
DMCA.com Protection Status