Lahat ng Kabanata ng Miskin Gara-gara Nikah Lagi: Kabanata 41 - Kabanata 50
199 Kabanata
Ternoda
Pria itu justru terkekeh."Wah, mantan? Atau dia bermain jal*ng saat masih bersamamu?""Dia penghianat," desahku kasar. Lagi-lagi pria itu terkekeh. Dia pikir ini lucu?"Kamu terlalu polos. Pria, tidak akan pernah cukup dengan satu wanita. Apalagi jika kesempatan itu datang. Karena itu lah, kamu lihat sendiri kan? Duniaku adalah wanita. Haha."Dia sedikit mabuk, mungkin. Lalu sejenak kemudian dia menatapku dengan pandangan datar."Dan kamu, kalau saja pria itu tidak mengawasimu, mungkin saja malam ini kita sudah menghabiskan malam bersama, cantik."Pria? Sontak aku menoleh. Tapi yang kudapati hanyalah bartender yang kini sibuk dengan pelanggan barunya."Dia siapamu? Atau.. Itu selingkuhanmu?" aku mendecak. Tapi untuk menolak, rasanya terlalu berbahaya. Setidaknya biarlah begitu yang diketahui oleh pria ini."Dia pacarku sekarang. Kalau begitu, terimakasih atas informasinya."Ku angkat bobot tubuhku dari tempat duduk. Tersenyum tipis, lalu kembali menghampiri bartender tadi."Bagaimana
Magbasa pa
Malaikat Penolong
Sampai di rumah, Haidar tidak langsung pergi, justru ikut masuk ke rumah. Meski sedari tadi dia terus-menerus membuang pandangan."Niswah sudah tidur," tukasku karena dia ikut masuk."Ganti bajumu. Ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu," tugasnya dengan pandangan mengarah ke luar. Aku mengangguk. Segera ke atas untuk berganti pakaian. Meski selama ini aku belum berhijab, tapi tak pernah sekalipun aku memakai pakaian terbuka. Itu tadi adalah pakaian yang aku pesan online dadakan, karena timbulnya ide itu juga dadakan. Hanya menunggu waktu yang tepat untuk menjalankan rencana. Dan sekarang aku sesali, kenekatan tadi tak seharusnya ku turuti.Ku hampiri dia yang duduk di ruang tamu. Kali ini aku sudah memakai pakaian yang tertutup, kaos panjang dan rok panjang. Kuserahkan jaket padanya."Terimakasih," ucapku. Dia hanya melirik jaketnya. "Baru tadi sore aku mengantarnya, bisa-bisanya sudah ada disana. Siapa yang menyuruhmu, hmm?""A-aku? Tidak ada." ucapku gugup. Dia tampak tak suka
Magbasa pa
Papa Kandung Vino
"Em, pantas saja mbak masak. Hehe, ternyata ada mas Haidar toh."Aku melotot. Niswah masih saja membahasnya."Memang biasanya gak masak?" suara Haidar lembut menanyai Niswah. Dan jangan lupakan senyum manisnya itu. Eh? Aku menggigit bibirku, ayolah Nis... Jangan buka aib."Enggak. Kita biasanya sarapan di kantor. Lagian kata mbak Dinda, percuma kalau masak gak ada yang ma---""A... Ayamnya masih Nis. Nih, makan aja.""Makasih, mbak. Niswah udah kenyang padahal. Tapi, gak papa. Biar mas Haidar aja yang ngabisin. Nih."Aku melotot, bisa-bisanya ayamnya beralih tempat."Kan kalau begini, mbak Dinda jadi ayem. Makanannya ada yang ngabisin. Hehe."Aku meringis pelan, menekan sendok dengan gigiku. Astaga... Niswah."Harusnya kamu yang makan. Biar gak kerempeng kayak tengkorak.""Eitss, jangan salah. Mbak Dinda ini spesial masak karena ada mas Haidar lo. Jadi hargai dong."Runtuh sudah harga diriku. Rasanya seperti tak ada muka. Apalagi saat selintas pandang, Haidar menatapku. Ya Tuhan, rasa
Magbasa pa
Gosip Tak Bermutu
"Perempuan itu melahirkan prematur. Itu yang dia katakan pada suamimu. Tapi, yang sebenarnya, informasi yang aku dapat dari dokter itu, dia sudah genap usia sembilan bulan lebih beberapa hari. Jadi, kemungkinan saat menikah dengan suamimu, dia sudah hamil dua bulan. Dan, yah beruntungnya dia melahirkan tepat di sembilan bulan. Coba saja dia lahir prematur. Apa gak kacau, baru lima bulan sudah lahiran?"Haidar sudah kembali dan bergabung dengan kami. Tapi dia diam saja dengan penjelasan sahabatnya itu. Berbeda denganku yang masih syok. Bagaimana bisa itu Mr Arav? Pria itu terlihat baik. Dan juga, waktu itu kita pernah tak sengaja bertemu di mall, saat bersama ibu mertua melabrakku. Dan Mr Arav wajahnya biasa saja. Padahal dia kan kenal Riri."Apa ibu tahu?""Ibu mertuamu tidak tahu. Mungkin dia akan syok kalau tahu ternyata itu bukan cucu kandungnya. Double kill kan? Setelah putranya lebih memilih orang lain, ternyata yang dipilih bukan cucu kandungnya." Santai sekali dia menikmati ma
Magbasa pa
Surat Cerai
Lamunanku buyar. Netraku teralih dari kertas yang baru datang itu. Surat panggilan dari pengadilan untuk sidang perceraian itu telah tiba setelah dua bulan berlalu.Senyum samar nan masam tersungging di bibirku."Tidak. Hanya saja, rasanya lucu," tugasku, melipat kembali kertas itu.Tangan kekar itu mengusap lembut suraiku. Membawanya bersandar di pundak."Abang tahu. Pernikahanmu juga tidak sebentar. Lima tahun. Tapi, kalau memang tidak bisa dipertahankan lagi, mau bagaimana?""Iya, Bang. Akan berbeda kalau mas Angga masih membelaku. Aku mungkin akan mencoba bertahan. Seperti sebelum-sebelumnya. Tapi, sepertinya dia pun lelah," helaku pelan."Kalau sekiranya, Angga nanti mengetahui semuanya, terus dia mengajakmu kembali bersama, bagaimana?"Aku terdiam. Menatap langit bertabur bintang di atas sana. Memejamkan mata sejenak untuk menikmati hembusan dinginnya."Memang bang Aldi setuju?" tolehku pada pria yang menjadi cinta kedua setelah p
Magbasa pa
Perpisahan
"Haa.... Aa, maksud gue, hamil. Eh, apa sih!"Orang aneh. Jujur saja jantungku berdetak kencang. Entah kenapa perkataannya terakhir membuat pikiranku berkelana. "Aunty!"Perhatianku tertoleh. Jansen yang berlari ke arahku sambil tertawa, bersembunyi di balik punggungku. Niswah tertawa lebar, mencoba menangkap bocah itu."Eitss... Jansen kena. Haha."Keduanya tergelak bersama. Kulihat senyum terbit di bibir Zul, dengan netranya yang tertuju pada gadis itu. Ah, maafkan aku Della. Sebaiknya urungkan saja usahamu.Ku senggol bahu pemuda itu. Melirik dengan senyum tertahan."Ngapain Lo? Suka sama Niswah?" ledekku. Zul langsung mingkem. "Apaan sih. Ngawur."Aku tergelak. Sayangnya wajahmu memerah. Ternyata pria kalau tersipu lucu juga.Tak lama bang Aldi memberi kode untuk segera menghampirinya. Kami lapar. Dan restoran seafood adalah tujuan setelahnya.Zul, pria aneh yang kutemui di bar itu ikut bersama kami. Dia datang sendirian, d
Magbasa pa
Kegagalan
Pagi sekali, aku sudah bangun. Tapi bukan untuk gegas bersiap. Melainkan tidurku saja yang tak nyenyak. Rasanya seperti tidak nyaman. Seolah akan ada sesuatu yang terjadi. Meraup wajah dan mengela napas pelan. Barulah aku ke kamar mandi. Lalu melanjutkan rutinitas pagi.Pukul delapan, kami sudah bersiap. Bang Aldi, mbak Dina, juga si kecil Jansen. Zul akan menyusul nanti ke kantor pengadilan langsung. Sedangkan Niswah, dia tidak ikut karena hari ini berbarengan dengan jadwal kampus hari pertama. Haidar, dia juga akan mengantar Niswah nanti. "Tenangkan pikiranmu, Din. Yakinlah berjalan lancar." Kuanggukkan kepala. Bang Aldi sepertinya menangkap sirat khawatir dari wajahku. Sedangkan mbak Dina mengusap pundakku, menenangkan. Kami gegas menaiki mobil. Bang Aldi dan mbak Dina di depan, sedangkan aku dan Jansen di bagian tengah. Aku tersenyum membaca pesan dari Della. Ya, begitu banyak orang yang mendukungku, tak seharusnya aku sekhawatir ini. Obrolan ringan dan juga c
Magbasa pa
Kenapa Harus?
Kulihat keterkejutan di wajah Haidar. Namun aku mengabaikannya. Dan menghampiri dokter itu."A... Anda istrinya?""Benar. Bagaimana keadaan suami saya, Dok?" "Suami ibu mengalami luka yang cukup parah. Bentaran di kepalanya mengakibatkan efek yang hebat. Kemungkinan, dia akan mengalami amnesia.""A-amnesia?" ulangku. Menelan saliva kasar. Apa itu artinya...."Benar. Dan di tambah dia sepertinya sehabis mengonsumsi alkohol yang berlebih. Sementara saat ini pasien belum sadar. Tapi sudah bisa dikunjungi secara bergantian. Dua orang yang masuk perkunjungan."Aku meremat jemariku. Kemungkinan kemungkinan terbayang dalam otakku. "Saya permisi dulu."Dokter berlalu. Zul bergegas menghampiriku. Sedangkan Haidar dia diam saja tanpa komentar."Kamu serius? Mengakui sebagai istrinya? Wah... Apa itu berarti perceraian gagal?"Aku memejamkan mata sejenak."Bahkan, tanpa mengakui sebagai istrinya pun, sidang tidak mungkin dilanjut. Dia amnesia. Yang
Magbasa pa
Hard today
Mas Angga sudah sadar. Meski tubuhnya masih sangat lemah. Sedari tadi dia menatapku dengan senyum tersungging di bibirnya. Jemari lemahnya memegang jemariku. Mas Angga mengalami amnesia anterograde, atau amnesia sebagian. Memorinya kembali ke tiga tahun silam, tepatnya saat sebelum kedatangan Riri. Aku sempat bingung, amnesia ini disebabkan oleh penyakit, bukan karena kecelakaan. Tapi mengingat kata dokter yang bilang kalau mas Angga sempat mengonsumsi minuman alkohol, barulah otakku sedikit menerima. Mungkin saja dia sebelumnya sempat keracunan yang kemudian menyebabkan kecelakaan. Hal yang memperparah kondisinya.Hening. Bang Aldi diam. Zul juga diam. Mbak Dina diam. Hanya sesekali isakan ibu mertua yang menangis sesegukan. Suara tak jelas dari mas Angga membuatku menoleh. Sedari tadi aku membuang pandangan. Bibirnya bergerak-gerak dengan suara yang tak jelas. Tapi aku paham yang dia maksud. Dia bilang, jangan meninggalkan dirinya. Ya Tuhan, bagaimana ini?"Dia c
Magbasa pa
Merawat Mantan
Aku terbangun sudah ada di kamar. Kedua sudut bibirku tertarik. Tetap sama seperti dulu saat aku ketiduran di luar, pasti bangun-bangun sudah ada di dalam. Bang Aldi adalah sosok pengganti papa. Beringsut menyandarkan tubuh di headboard, menarik selimut yang menutupi badanku. Melirik jam di nakas. Pukul tiga sore. Kuraih ponselku. Della, aku ingin menceritakan semuanya dengan sahabatku. Namun, justru yang kudapat, bekas panggilan dari nomor asing sekitar lima menit yang lalu. Sampai lima panggilan. Ponselku  memang kubuat mode diam. Supaya tidak mengganggu jalannya sidang, tadinya begitu. Nyatanya gagal.Belum sempat kembali menghubungi nomor itu, ketukan di pintu lebih dulu mengambil alih perhatian. Pintu terbuka, menampilkan wajah bang Aldi."Sudah bangun?" Aku mengangguk. Bang Aldi menghampiriku. "Sudah baikan?""Udah, Bang. Bang Aldi kenapa? Kok kayaknya ada sesuatu?"Helaan napas terdengar. Berikut tepukan di pundakku."Sepertinya kali ini kam
Magbasa pa
PREV
1
...
34567
...
20
DMCA.com Protection Status