Semua Bab Wanita Penjual ASI: Bab 51 - Bab 60
84 Bab
Rindu Pengasuh
Hanan mencoba mengulang panggilan, namun tak ada jawaban. Sekali, dua kali, tersambung. Panggilan ketiga direject langsung oleh ibunya. Lama Hanan termenung memikirkan semuanya. Ini kemarahan terbesar kedua setelah dulu ia berhasil meluluhkan hati ibunya untuk menikahi Fania.Untuk kali ini Hanan rasa ibunya tak yakin akan luluh. Malilah? Tiba-tiba Hanan menepuk jidat. Kenapa dia lupa ada Malilah alternatif lainnya. Ia mencoba menelpon Malilah, tapi sama. Tersambung tapi tak diangkat. "Mungkin dia sibuk sama Arumi," pikir Hanan sambil mengusap layar ponsel dengan perasaan melow. Ia membuka WA dan mencari kontak Malilah. Dibukanya foto profil Malilah. Hanan menyungging senyum di bibir, melihat Malilah memasang fotonya yang sedang memandang Arumi dengan tatapan mesra dalam pangkuan. Setetes rasa hangat mengalir di lubuk hati Hanan yang sedang dilanda resah dan bimbang. Cukup lama Hanan menatap foto Profil Malilah. Kehangatan di hatinya makin bertambah,
Baca selengkapnya
Saat Bu Ratih Bertindak
Malam hari Hanan gelisah menunggu Fania tidur. Hanan mengambil ponsel dan mengirim pesan pada Malilah.[Jangan tidur dulu, Aku mau video Call. Mau liat Arumi][Iya]Hanan menarik napas resah sambil berbalik memunggungi istrinya. Berpura-pura tidur lebih dulu. Fania tak kunjung tidur. Rasanya sudah cukup lama Hanan meringkuk dalam selimut sambil memejamkan mata, Fania masih saya bermain-main dengan ponselnya sementara televisi tak berhenti menyala. Terakhir Hanan melihat jam di ponselnya tadi kurang lima belas menit jam sepuluh malam.Kurang lebih setengah jam kemudian, tak ada lagi krasak-krusuk di sebelahnya. Hanan membuka mata dan mengangkat kepala pelan. Ia melihat Fania terpejam dengan ponsel terkulai di telapak tangan. Pelan-pelan Hanan meraih ponselnya. Fania tak bergerak. Rupanya ia sudah tertidur lelap. Hanan mencoba mengusap layar ponsel. Terkunci pola. Hanan mencoba berbagai pola, selalu gagal. Akhirnya ia meletakkan kembali ponsel
Baca selengkapnya
Tak Mampu Bicara
Malilah terdiam di tempat tidur setelah menyambut ponsel yang beberapa saat tertahan di tangan Bu Ratih. Ia tak menyangka Bu Ratih mendadak masuk kamar Arumi saat Hanan berbicara memanggil-manggil Arumi. Apesnya lagi Bu Ratih langsung mengacungkan telunjuk melarang ia merubah posisi, kemudian menyilang telunjuk melarang Ia memberitahukan keberadaannya yang ikut mendengar pembicaraan mereka."Untung saja, aku tadi ke dapur untuk mengisi air minum yang habis. Kalau enggak, mungkin seterusnya kalian akan saling berhubungan secara sembunyi-sembunyi di belakangku!" ucap Bu Ratih dengan nada dingin. "Ma-af, Bu. Sa-ya ....""Iya! Aku tahu, Hanan yang menyuruhmu diam-diam, kan?" potong Bu Ratih sambil menatap Malilah tajam. Malilah mengangguk sambil menunduk. "Tapi enggak seharusnya kamu mengiyakan, Lila! Aku kan sudah bilang, jangan pernah angkat kalau Hanan menelpon. Heh! Masih aja!" ucap Bu Ratih dengan nada geregetan."Ma-af, Bu!" ucap Mali
Baca selengkapnya
Percaya Pada Ibu, Malilah!
"Malilah!" Bu Ratih menyentuh tangan Malilah yang terasa dingin."Berjanjilah demi Arumi!" Malilah melepas genggaman tangan Bu Ratih, dan berpaling menatap Arumi yang entah sejak kapan mulai gelisah di pembaringannya. Anak manis itu sudah berbaring jauh dari bantalnya. Malilah dan Bu Ratih sejak tadi tenggelam dalam pembicaraan mereka. Eaaa ... eeaaaa ....Arumi berguling lagi mendekati posisi semula. Malilah langsung mengangkat tubuh mungilnya kembali ke bantal. Setelah itu ia berbaring miring menghadap Arumi. Tangan kanannya ditekuk, untuk menopang kepala. Tangan kirinya mengelus-elus belakang Arumi yang sedang menyusu. Posisi favoritnya bila memberikan ASI pada Arumi. Malilah melirik pada Bu Ratih yang masih duduk di lantai sampai sesekali mengusap air mata. Kemudian ia menatap Arumi yang begitu menikmati rutinitas rutin mereka."Ah, apa yang ibu lakukan?"Rasa tak tega mulai menyerang satu sisi hati Malilah. Tapi r
Baca selengkapnya
Mencari Celah
"Yang penting, kamu bersedia melakukan permintaan ibu?" Bu Ratih menatap Malilah dalam-dalam. Sorotnya menyimpan harapan yang teramat sangat."Saya akan menyanggupi permintaan Ibu, tapi saya juga ada syarat." "Katakan!" sambar Bu Ratih dengan wajah berbinar."Saya mau menikah dan menjadi istri kedua Hanan demi Arumi. Tapi, setelah Arumi sudah tidak membutuhkan ASIku lagi, tak perduli bagaimana hubungannya Hanan dengan Fania nantinya, saya minta Hanan melepaskan saya. Biarkan saya pulang untuk hidup dengan orang tua saya di desa," ucap Malilah akhirnya luluh juga meskipun tetap mengajukan syarat. Hati kecilnya benar-benar menolak predikat istri kedua yang akan disandangnya. Tapi demi Arumi dan Bu Ratih, biarlah jika hanya untuk sementara waktu. "Maksud kamu, kamu bersedia menjadi istri Hanan selama masa menyusui Arumi saja?" tanya Bu Ratih mempertegas. Malilah mengangguk. Bu Ratih menarik napas panjang sambil berpikir keras. "Baikl
Baca selengkapnya
Bersiaplah, Malilah!
"Bukan! Aku, salah ngomong. Heeem ... aku kepikiran mama sudah seminggu enggak kesana. Tapi, aku memang sementara enggak ke sana dulu. Mau fokus buat kesehatanmu di sini. Tapi, kenapa aku merasa, kamu selalu mengundang kecurigaanku seolah kamu sedang pura-pura hamil. Ini kan untuk kebaikan, kenapa kamu enggak mau?" jawab Hanan sedikit menantang. "Ya sudah, mulai besok aku ikut kelasnya," jawab Fania dengan nada sangat terpaksa. "Ya sudah. Sekarang kamu istirahat," jawab Hanan melembut namun dalam hatinya bersorak. Besok ia akan nekad ke rumahnya sekalian mengantar pembantu baru, sementara Fania di kelas ibu hamilnya.Hanan jadi tak sabar menunggu hari esok. Tak lupa ia mengirim pesan pada Ibu Timah, untuk menunggunya di tempat yang tidak jauh dari kelas ibu hamil tadi.***"Sudah siap?" tanya Hanan sambil tersenyum. Fania hanya mengangguk. Beda dengan Hanan, Fania tak mau menarik bibir padahal Hanan sudah bersikap manis
Baca selengkapnya
Pindah Kamar
"Malilaah! Hey, Malilah. Kamu siap-siap aja. Sebentar lagi Hanan akan menikahimu!" ucap Bu Ratih saat Malilah menghampiri dengan berlari-lari kecil dari dalam. "Apa maksudnya, Bu?" tanya Malilah sambil tengak-tengok karena di luar melihat seorang wanita lebih tua sedikit daripada Bu Ratih seperti bingung. "Sebentar lagi dia akan ngemis minta pulang ke sini. Aku yakin itu. Barusan Hanan datang merengek mau ketemu Arumi," ucap Bu Ratih mencebik. "Terus?" tanya Malilah sambil menatap pada tas yang tergeletak di ruang tamu dekat pintu. "Ya ku-usirlah, pakai sapu!" sahut Bu Ratih menyombongkan diri karena yakin anaknya akan kalah."Terus?""Ya terus ngacirlah! Berani dia nerobos masuk rumah. Sekalian kumasukkan kembali dalam sini!" ucap Bu Ratih sambil mengusap perutnya yang datar."Terus ....""Udah habis ceritanya. Terus-terus melulu kamu!" potong Bu Ratih. "Bukan, Bu. Terus itu tasnya siapa? Y
Baca selengkapnya
Usaha Hanan
"Tapi Bu, kenapa harus pindah ke sana? Di sini aja dulu. Besok dibersihin lagi kamar belakang," ucap Malilah keberatan. "Biar kamarnya enggak kelamaan kosong. Ya sudah Bik, mulai diangkut barang-barangnya ke depan," jawab Bu Ratih sekaligus memerintah. Malilah diam saja. Ia tak mau membantu Bik Timah walaupun Arumi sedang tidur. Bu Ratih pun bertingkah seolah tak tahu wajah Malilah cemberut. Ia bergegas membuka lemari pakaian Arumi juga Malilah. "Ini, semuanya dipindah ke sana. Di sana kan ada lemari Pink yang gede. Bik Timah keluarin semua isinya tukar ke sini! Ayo!" ajak Bu Ratih pada pembantu barunya. Malilah pura-pura tak mendengar. Padahal sesungguhnya sangat penasaran apa isi barang dalam lemari pink yang mau ditukar dengan pakaiannya.Bik Timah mulai memindah pakaiannya dalam keranjang dan membawanya keluar kamar. Tak lama kemudian, Bik Timah kembali membawa keranjang yang sama dan tetap berisi pakaian lagi. 
Baca selengkapnya
Belum Bisa Berdamai
Bagi Hanan, waktu berputar dengan begitu lama. Hanan makin tak bersemangat menjalani hidupnya di rumah Fania. Sudah hampir sebulan ia tak melihat Arumi. Ibunya pun tak kunjung bisa dihubungi. Hanan jadi lebih khawatir karena sudah tiga hari ini, Bik Timah tidak pernah menjawab panggilan telponnya padahal selalu tersambung. Hanan benar-benar khawatir. "Dek, nanti hari Selasa kita tengok rumah dulu, ya?"Fania diam saja. Hanan tahu ia tak akan mau. Tapi hari Selasa masih empat hari lagi. Hari selasa sudah lebih dari sebulan ia tak melihat Arumi. Bukankah kata ibunya ia hanya sebulan tak boleh datang?"Kalau kamu enggak mau, aku aja!" ucap Hanan.Fania masih diam juga. Hanan meremas rambut. Kepalanya mulai sakit menghadapi Fania. Tiba-tiba ponselnya berdering. Bik Timah memanggil. Hanan meninggalkan Fania keluar. Fania diam-diam mengikuti. "Kemana aja Bik? Dari kemaren dihubungi kok enggak ngangkat-ngangkat?" ucap Hanan saat s
Baca selengkapnya
Demi Mama
"Maaa .... jangan ngomong macam-macam dulu. Kita ke rumah sakit aja, ya? Sepertinya tekanan sama kolesterol naik lagi," ucap Hanan sambil menyentuh tangan ibunya di balik selimut."Harus berapa kali kubilang, jangan perdulikan Ma-maa!" ucap Bu Ratih dengan  suara lemas dari dalam selimut tebal.  Tubuhnya menggigil. Seperti orang meriang. Bu Ratih mengeluarkan wajahnya yang basah oleh keringat dari balik selimut. "Maaa .... mama ko keringatan tapi menggigil?" suara Hanan cemas."Enggak apa-apa Mas ... itu berarti ibu meriang. Sekarang keringatnya sudah keluar biasa lebih nyaman. Mending Mas cepat cari tahu dimana desa orang tua Malilah, biar cepat di bawa kesini. Kasihan Maaaas! Tiap malam menggigau manggil Mbak Lila sambil nangis-nangis. Kasian juga ini nangis-nangis," ucap Bik Timah sambil menepuk-nepuk pundak Arumi yang tak mau diam dalam gendongannya. Hanan diam, menatap ibunya yang terus menggigil lalu beralih menatap Arumi yang
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
456789
DMCA.com Protection Status