Semua Bab Pungguk Merindukan Bulan: Bab 41 - Bab 50
115 Bab
Pulang ke Rumah?
"Hati-hati ya, Welas?" pesan Seika dalam keharuan yang mengisi hati kecilnya. "Thanks banget ya, Welas? Selain Seikamara, aku juga titip mobil Kama, ya? Untuk sementara ini aku cuti. Minimal, sampai Papa sudah boleh pulang ke rumah." Welas menyatukan ibu jari dan jari telunjuk membentuk huruf O. Senyum tulus persahabatan merekah tanpa layu. Tak lama setelah itu, perlahan-lahan namun pasti menjalankan mobil meninggalkan rumah sakit. Kini, tinggallah Seika seorang diri dengan ruang pemikiran yang penuh sesak oleh berbagai kemungkinan rekaannya. Trik, trik, trik …! Jika Kama tak mengirimkan pesan di chat room, mungkin Seika masih termenung di area parkir mobil. New Chat@KamaMyLoveMyHeartMyHeaven [El,] [Maaf, baru bisa mengirim pesan] [Aku sudah mendarat di Jakarta] [Transit] [2 jam lagi lanjut terbang ke Kualanamu, Medan] [Jaga dirimu baik-baik, El] [Tunggu, aku pasti kembali] Seika melepaskan napas yang sedari tadi ditahannya kuat-kuat hingga dadanya terasa sakit. Kama. Dia
Baca selengkapnya
Kematian Palsu
Braaakkk …! "Apa-apaan ini?" emosional, Kama memukul meja ruang tamu. Ternyata berita duka yang dia terima tadi siang palsu. Mamaknya saja masih terlihat segar bugar, duduk tenang di kursi. "Sampai hati kalian menipuku!" Semua yang ada di ruangan itu terdiam. Termasuk Mamak. Tak secuil kecil kata pun terlontar dari mulutnya. "Kalian pikir itu bagus, ha?" lanjut Kama mengungkapkan kekesalannya. "Kalau setelah ini Mamak betul-betul meninggal bagaimana, ha? Apa kalian lupa, kata-kata adalah doa. Jangan sembarangan berbicara atau pun membuat berita. Tak habis pikir aku dengan semua ini!" Dengan kekesalan yang sudah berubah menjadi marah, Kama mengedarkan pandangan ke sekeliling. Menatap satu per satu keluarganya, mulai dari Mamak, Abang, Kakak dan Adek. Semua menunduk, tak berani menatap Kama kembali. "Jadi, ada apa ini sebenarnya, Mak?" Kama menjatuhkan diri, duduk bersimpuh di hadapan Mamak. "Kenapa musti begini, Mak?" Penuh kerinduan, Mamak mengusap-usap kepala Kama. Air mata mul
Baca selengkapnya
Takut Kehilangan Cinta
Jangan sebut Derya kalau tak bisa melepaskan diri dari tangan pihak yang berwajib dalam sekejap mata. Hanya dengan beberapa untaian kata alias alibi yang masuk rasio mereka. "Derya dilawan, ya nggak bakalan menang lah!" Lihatlah! Dengan tenang dan santainya dia melenggang ke ruang kerjanya. Real Publishing masih sepi pagi ini, jadi dia bisa lebih leluasa. Tak perlu berbasa-basi dengan siapa pun yang mungkin dijumpainya. Kalau petugas security, tak perlu dia risau akan hal itu. Aman seratus persen. Demi tercapainya tujuan, dengan senang hati Derya membayar super mahal. "Hiranur?" panggilnya begitu terhubung di sambungan telepon yang jernih. "Kamu di mana, ini? Saya sudah sampai di kantor. Ada beberapa hal penting yang harus saya bicarakan dengan kamu." Sambil menurunkan volume suara, Hiranur menyahut jujur dan terbuka. "Hira masih di rumah sakit, Bang. Menjenguk Menir Hank." Profesional, Derya berdeham. "Lho, Menir Hank sakit? Kok, kamu nggak ngasih kabar ke saya? Ya ampun Hira,
Baca selengkapnya
Error Network
"Oh, Ya Tuhan!" tanpa sadar Kama bergumam sedih. "Menir Hank lumpuh total, El?" rasa tak percaya ketika dia mengkonfirmasi akan hal yang baginya sangat memprihatinkan itu. "Oh, jadi bagaimana sekarang, El?" Tangis Seika masih menghujan deras. Membanjir bandang. Sungguh, kesedihan di hatinya begitu besar sehingga tak tahu harus berkata apa. "El, El …?" Terisak-isak, setelah terbatuk-batuk hebat akibat tersedak air mata, Seika menyahut, "Ya, Kama?" "Sabar ya, kuat. Semua akan baik-baik saja El, percayalah!" Seika membersit hidung dengan beberapa lembar tisu. Membersihkan sisa-sisa air mata dengan lengan sweater. Berusaha menenangkan diri dengan menghirup napas dalam-dalam, melepaskannya secara perlahan-lahan. "El, kami masih di sana, kan?" "Ya, Kama?" "Kamu dengar kan, apa yang aku katakan tadi?" "Dengar … Semua akan baik-baik saja El, percayalah!" Seika menirukan cara Kama berbicara. "Begitu kan, Kama?" Kama mengeringkan sudut-sudut matanya yang menghangat. Menyandarkan tubu
Baca selengkapnya
Kesempatan dalam Kesempitan
"Welcome home, Papa!" Seika merentangkan kedua tangan dengan wajah yang dipoles ceria. "Get well soon, happy and healthy always ya, Papa?" Berdasarkan hasil pemeriksaan tin dokter yang menangani, hari ini Menir sudah diperbolehkan pulang dan menjalani program home care. Bagi Seika moment kepulangan papanya ini merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri. Moment yang begitu berarti, takkan pernah terlupakan di sepanjang sisa usianya. Bagaimana tidak? Tuhan masih memberikan kesempatan kepadanya untuk menjaga, merawat Menir Hank. Baginya, ini sungguh luar biasa. Golden Time. Di kursi rodanya, Menir Hank meneteskan air mata. Jika saja tak seperti ini keadaannya, ingin sekali mengucapkan, "Terima kasih, Lieverd." Bukan hanya itu, Menir Hank juga ingin memeluk erat-erat Seika, putri semata wayangnya. "Oh, Papa … Papa menangis?" Seika berlutut di depan kursi roda Menir Hank. "Oh Papa, jangan menangis. Jangan bersedih. Ada Seika di sini. OK, Papa?" "Oh, William bisa dorong Papa sekarang? Mung
Baca selengkapnya
Kama Minta Maaf, Mak
"Mamak …?" detak jantung kama meningkat pesat. Keringat dingin serta merta membanjiri sekujur tubuh. Tak percaya rasanya, mendengar sabda kemurkaan Mamak. Benar-benar pilihan yang sulit. "Sampai hati Mamak samaku?" Tanpa berkata-kata, Mamak meninggalkan Kama seorang diri di ruang tengah. Gontai, wanita yang usianya sudah mendekati delapan puluh tahun itu berjalan ke kamar dengan air mata yang mulai menggerimis besar-besar. Sakit, pedih, sedih. Di antara Abang, Kakak dan Adik, hanya Kamalah yang menolak perjodohan. Sesungguhnya Mamak juga menyadari kalau Kama memang berbeda. Maksudnya, bukan hanya dalam perkara super penting itu. Satu-satunya anak yang gigih bekerja sejak kecil, berprestasi di sekolah dan lebih memilih pergi merantau dari pada berladang di kampung. Namun Mamak tak pernah menyangka kalau Kama akan sampai hati untuk menyakitinya seperti ini. Tak pernah terbersit sedikit pun dalam benaknya. Mamak berpikir dengan dia memalsukan kematian seminggu yang lalu, hati Kama ak
Baca selengkapnya
Kejahatan Yang Terkuak
Derya memandang Abang penuh hormat. Meskipun berbeda jalan cerita dalam hidup, tak pernah ada masalah di antara mereka. Abang menghargai Kama dan Kama pun menghormati Abang. Kasih sayang, kedekatan mereka tak pernah putus hingga detik ini. Itulah mengapa, akhirnya Kama memilih untuk sharing dengan Abang. "Bagaimana Kama, apa kau sudah menentukan pilihan?" pertanyaan Abang membuat Kama menunduk. Meskipun sudah mengira kalau Abang pasti melakukannya tetapi hatinya tetap terhantam juga. "Ya begitulah Kama, yang namanya hidup. Apa yang kita harap-harap, belum tentu itu pula yang kita dapatkan. Sebaliknya, apa yang kita tidak harap, bisa jadi itulah yang akan menjadi milik kita. Sekilas nampak kejam ya Kama tapi sebetulnya tidak. Tergantung bagaimana kita menerimanya." Kama semakin tergempur, tentu saja. "Tapi Kama nggak bisa meninggalkan Seika lho, Bang. Nanti dia bisa hancur lebur berkeping-keping." Abang mencondongkan tubuh ke Kama. "Kau sendiri bagaimana, bilang sama Abang?" Kama
Baca selengkapnya
Perjodohan Yang Tak Terelakkan
"Tidak … Itu tidak mungkin!" Seika tak kuasa lagi untuk mengendalikan diri begitu mendengar penjelasan dari Suster. "Itu semua pasti bohong. Papa, bangun Papa …!" seperempat sadar, Seika menubruk dan memeluk tubuh Menir Hank yang susah tidak bernyawa lagi. Tangisnya semakin menghujan deras, membanjir bandang. Segala harapan hidupnya mendadak pupus, sirna dengan sempurna. "Heart attack, Pak William dan saya minta maaf karena tidak berhasil menyelamatkan Menir Hank. Ya, kalaupun kita larikan ke rumah sakit pun akan sia-sia, Pak William." Suster menuntaskan keterangannya. "Karena waktu saya sampai di kamar ini, Menir Hank sudah dalam keadaan meninggal dunia. Pak William melihat sendiri kan tadi, bagaimana saya menangani Menir Hank? Memeriksa nadi, menyorot bola mata untuk memastikan masih ada cahaya kehidupan atau tidak dan terakhir mencoba menyalurkan O2 dan pacu jantung. Hasilnya nihil, karena memang Beliau sudah meninggal dunia." "Ya, Suster …?" "Di sini saya mewakili tim dokter ya
Baca selengkapnya
Kenyataan-kenyataan
"Jadi, kamu harus pulang ke Aceh lagi, Kama?" sendu, Seika mengkonfirmasi. Baru saja Kama memberikan penjelasan kalau sang Kekasih Hati harus pulang karena ada hal urgent yang harus diselesaikan. Masalah keluarga. Kama juga sudah menjelaskan tentang Mamak yang pura-pura meninggal dunia hanya karena merindukan kepulangannya. Sesibuk apa pun dia di sini, mustahil tidak pulang jika mendapat kabar Mamak meninggal dunia. Lucu, menggelikan dan tidak masuk akal bagi Seika tetapi memilih untuk tidak berkomentar. Terlebih saat menelisik ke dalam diri Kama, tak ada satu pun kebohongan yang tersembunyi. Toh, yang melakukan kebohongan Mamak dan keluarganya, bukan Kama. Itu intinya. "Ya, El." kikuk, Kama memberikan konfirmasi. "Sebentar saja aku di sana. Setelah itu kembali ke sini lagi. Bekerja keras lagi untuk masa depan kita." Kama memberikan senyum paling tampan dalam dirinya, Seika tersipu malu. "Sebenarnya, aku masih ingin bersama kamu, Kama." jujur Seika sambil menyibak poni yang panj
Baca selengkapnya
Seika Patah Hati
"Ha, apa?" Seika sampai berdiri saking terkejutnya. Tak mampu lagi dikendalikan seluruh dirinya, kacau balau. "Apa Kama, kamu dijodohkan sama siapa itu tadi? Terus kamu gimana? Kamu mau? Emh, kamu … Hahahaha, tentu saja kamu mau kan, Kama? Untuk membuat Mamak bangga dan bahagia." Seika menjambak-jambak rambutnya sendiri. Melepaskan, menjambak-jambak lagi lalu menjatuhkan diri ke atas kursi rotan sintetis. Membiarkan tangisnya pecah, berserakan di seluruh penjuru diri. Dia merasa semuanya sudah terberai, musnah seketika. Sungguh menyedihkan, menguras emosi. Papanya bahkan baru saja selesai dikebumikan tetapi dia sudah harus menghadapi masalah yang serumit ini. "El, apa kamu baik-baik saja, El?" Kama menyentuh lembut pundak kanannya sebentar, sekitar lima detik. "Oh, maafkan aku, El?" Seika sudah larut dalam perasaan kecewa, sedih, sakit dan marah yang bercampur aduk di hatinya. Belum-belum hatinya sudah patah berkeping-keping. Hancur, remuk. Tercabik-cabik. Mengapa begitu sulit unt
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
12
DMCA.com Protection Status