Semua Bab Istirahatlah yang Tenang, Istriku!: Bab 21 - Bab 30
44 Bab
Tugas Keluar Kota
"Kamu kesini lagi? Tadi teman perempuan aku, teman sekolah udah lama banget.""Oh." Dia menganggukkan kepala. "Aku kira siapa."Aku tersenyum terpaksa. Kembali memilih makanan ringan dan mengambil minuman. Sejak tadi, Ayna mengikutiku. Tidak bisakah dia memilih tempat lain?"Yes!"Eh? Aku menoleh ke ke Ayna. Kenapa dia barusan berteriak sendiri? Seperti orang gila. Kami sampai diliatin orang lain. Membuat malu saja, dia seperrinya sudah kehilangan urat malu. Aku bergidik sendiri."Kamu udah lihat pesan di grup WA, Ndre?"Pesan apa? Aku menoleh ke Ayna. Merogoh kantong celana, tidak ada ponsel di sana. Sepertinya, ketinggalan di mobil. "Lihat, dong."Ayna dengan senang hati memberikan ponselnya ke aku. Dia tersenyum manis sekali. [Dengar-dengar, Andre sama Ayna yang ditugasin keluar kota.][Serius? Wah, anak baru udah ditugasin aja.][Si Andre menang banyak. Kenapa bukan aku yang ditugasin sama Pak Bos.]Aku menelan ludah. Ditugaskan keluar kota, sih, tidak masalah. Tapi dengan Ayn
Baca selengkapnya
Dipancing Weni
"Kalau saya diganti orang lain bisa, gak, Pak?"Entah kenapa, pertanyaan komyol itu keluar dari mulutku. Bukan hanya bos yang menoleh bingung. Ayna juga, padahal wajahnya tampak senang sekali. "Lho, kenapa? Justru ini bagus sekali, untuk karir kamu. Kalau kinerja kamu bagus, bulan depan ada kemungkinan naik pangkat."Aku menggigit bibir. Bukannya tidak senang atau apa. Pikiranku justru ke Weni sekarang. Sungguh, aku tidak akan bisa pergi sekarang. Dengan pelan, aku mendorong surat itu. "Maaf, Pak. Bapak bisa cari orang lain yang lebih baik dari saya."Bergegas aku pergi dari ruangan itu tapa peduli teriakan dari Ayna. "Gimana? Kamu ditawarin keluar kota sama Pak bos?" tanya Kak Anton sesaat setelah aku duduk. "Iya. Gak aku ambil tapi, Kak.""Eh?" Kak Anton langsung melepaskan tumpukan kertas yang dia pegang. "Serius?"Aku mengusap wajah. "Mana ada wajahku bohong, Kak.""Tapi bukannya kamu nunggu momen ini? Kamu selalu pengen dipanggil tugas keluar kota, 'kan?""Weni alasannya,
Baca selengkapnya
Kabar Baik dari Weni
"Dek, ayo. Makasih udah bantu jagain Weni, Lin."Mbak Linda menganggukkan kepala. Sedangkan Weni menoleh ke belakang. Pandangannya terhenti ketika melihatku. "Ngeliat apa?" tanya Bang Wira sambil menoleh ke arah yang aku tuju. "Eh?" Weni pura-pura tersenyum, dia menggelengkan kepala. "Ayo, Bang."Beberapa menit setelah mereka pergi, aku keluar dari persembunyian, buru-buru menyalimi Mbak Linda. "Aku pamit ke rumah sakit, Mbak."Mbak Linda mengangguk. Dia sambil menonton televisi, seolah tidak peduli denganku. "Doain bisa ngambil hati Weni, Mbak.""Iya. Weni udah mulai percaya lagi sama kamu. Jangan buat dia berubah pikiran."Aku tersenyum tipis, kemudian menganggukkan kepala. Buru-buru keluar dari rumah. Menyusul mobil Bang Wira. Hampir lima belas menit perjalanan. Mobil berhenti di halaman rumah sakit. Aku menatap spion, mobil Bang Wira parkir tidak jauh dariku. Ponselku berdering. Dari Ayna. "Kenapa?" Tanpa salam, aku langsung bertanya inti kenapa Ayna menelepon. "Halo, And
Baca selengkapnya
Sudah Cukup Korban Mama!
"Kamu serius mau tahu syaratnya, Mas?"Dengan tegas aku mengangguk. Aku memang serius ingin kembali dengan Weni. Jadi, apa pun persyaratannya, akan aku penuhi. Apalagi uangku sudah terpakai banyak sekali. "Ini."Aku menatap kertas yang baru saja disodorkan Weni. Kertas apa itu? "Buka aja." Dia berkata tenang. Baiklah. Aku membuka kertas yang dilipat menjadi dua itu. Mulai membacanya. Ada beberapa poin penting di sana. Aku mengembuskan napas pelan. Mulai membaca persyaratan. "Pindah rumah."Baiklah. Itu sudah terwujud. Weni mengangguk, dia kembali menyuruhku membaca. "Sayang pada anak-anak." Pandanganku berpindah ke Weni. "Aku akan usahain. Semaksimal mungkin."Meskipun ragu, Weni kembali mengangguk. "Tolong adil antara Mama kamu dan aku."Aku diam sejenak. Memangnya selama ini, aku tidak adil pada Weni? Perasaan, aku selalu adil. Bahkan, aku mengabaikan perkataan Mama untuk Weni. Tapi baiklah. Aku tidak mungkin protes. Malah Weni langsung pergi kalau begitu. "Oke. Aku akan
Baca selengkapnya
Mengakui Kesalahan
"Heh, kamu ngomong apa, sih, Ndre? Mama gak ngerti."Sungguh, bicara dengan Mama tidak akan pernah ada habisnya. Aku mengusap dahi, menghela napas pelan. "Kamu dengar, Ndre. Mama bakalan cariin suami baru buat Mbak kamu. Mama juga yang bakalan urus surat perceraian mereka.""Terserah Mama. Kalau Mama tetap melakukannya, Andre gak akan pernah kembali lagi ke rumah ini." Aku menahan kesal. "Andre juga gak akan jengukin Mama. Sampai kapan pun."Bergegas aku masuk ke dalam kamar Rea, mengajaknya pulang ke rumah. Tidak ada gunanya berbicara lagi dengan Mama. Sekali keras kepala, selamanya akan seperti itu. Entah kapan Mama akan sadar, kalau itu semua merusak kebahagiaan anak-anaknya. "Andre! Jangan jadi anak durhaka, ya, kamu!""Andre gak pernah mau jadi anak durhaka, Ma. Mama yang buat Andre kayak gitu."Aku menarik tangan Rea pelan. Kami masuk ke dalam mobil. Sampai di rumah, aku mengajak Rea masuk ke dalam. "Kita gak ke rumah Tante Linda, Pa? Ini rumah siapa?""Ini rumah kita yang
Baca selengkapnya
Rahasia Mengejutkan Ayna
Ruangan seketika hening. Mama dan Papa Weni saling bertatapan. Mereka tampak sedang mempertimbangkan perkataanku."Ini bukti kalau saya sedang ada tugas. Kalau Mama dan Papa tidak percaya."Aku melirik Bang Wira yang sibuk memperhatikanku sejak tadi. Dari wajahnya, masih belum percaya.Baiklah. Tidak masalah, aku maish punya banyak waktu."Papa, Rea kapan berangkat sekolahnya? Udah jam segitu."Kami menoleh ke arah yang ditunjuk Rea."Rea berangkat sama Om, ya, hari ini. Papa lagi sibuk.""Sama Om?" tanya Rea, matanya berbinar."Iya, ayo."Bang Wira menggandeng tangan Rea. Mereka sudah keluar rumah.Aku mengembuskan napas lega. Itu tandanya, Bang Wira sudah percaya denganku. Meskipun hanya sebatas menjaga Rea."Jangan lupa telepon Papa setiap hari. Rea juga tetap butuh kamu."Apakah ini artinya, mereka sudah mempercayaiku?"Pasti, Pa. Saya berangkat dulu."Tanpa basa-basi, aku menyalami Mama dan Papa Weni. Mereka terlihat biasa saja sekarang."Makasih."Eh? Aku berbalik. Menatap Weni
Baca selengkapnya
Kejutan Terburuk
"Hah?! Hamil? Hamil anak siapa?" tanyaku terkejut, sambil melepaskan pelukan Ayna. Wanita ini. Kenapa dia bisa melakukan hal seperti itu? Padahal dulu, aku mengenalnya lemah lembut. Tidak pernah macam-macam. Lalu sekarang?Sekarang? Kenapa?"S—sama laki-laki tadi, Ndre." Isak tangis Ayna pecah. Bisa bahaya. "Sstt, jangan nangis. Nanti ada yang ngira enggak-enggak lagi."Ayna tetap menangis. Hampir lima menit aku menunggunya. Mana ponselku sejak tadi berdering terus."Aku gak tau harus ngapain, Ndre. Aku bingung.""Ngapain bingung? Hubungi pria itu, minta tanggung jawab dia. Masa maunya enak aja.""Gak segampang itu, Ndre. Enggak."Apanya sih? Aku mengambil paksa ponsel Ayna. Bicara saja sulit sekali. Dia mau anak itu lahir tanpa papa? Mendingan memaksa, dari pada tidak sama sekali. Terdengar nada sambung. Aku menyenderkan punggung, menunggu telepon diangkat. "Ngapain lagi, sih, telepon? Sudah aku bilang, kamu gak usah hubungin aku. Dasar cewek gak berguna."Aku mengernyit. Kasar
Baca selengkapnya
Mama Tahu Soal Ayna
"Hah?! Gila kali, ya." Refleks, aku berteriak. Aku menggelengkan kepala. Tidak paham dengan jalan pemikiran kedua wanita ini. "Gak ada yang gila, Ndre. Kamu lebih gila, kalau membiarkan Ayna melahirkan anak sendirian.""Kamu tahu, Ina, janin yang ada di kandungan Ayna bukan anak aku. Aku saja tidak tahu seluk beluknya, lalu aku yang disuruh untuk bertanggung jawab, begitu? Enak saja.""Andre, ayolah. Aku mohon. Aku gak mau merasa bersalah terus ke Ayna, karena udah ngenalin cowok kurang ajar itu."Tawaku meledak mendengarnya. "Harusnya, kamu minta pria itu bertanggung jawab. Bukan orang lain yang gak tau apa-apa."Sungguh, kalau mereka berdua bukan wanita, sudah aku habisi sejak tadi. "Aku mesini untuk pekerjaan, bukan umtuk dipaksa-paksa menikahi wanita. Niatnya mau hidup tenang, malah begini."Aku beranjak. Tidak tahan dengan pembicaraan kami ini. Rasa laparku mendadak jadi kenyang. Aku sepertinya harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan di sini. "Ndre."Ah, aku terlalu lemah
Baca selengkapnya
Menyerah?
"Mama apaan, sih? Baru juga Andre datang. Udah marah-marah. Awas cepat tua."Wajah Mama memerah. Dia hampir saja berteriak kembali, kalau Rea tidak berteriak. "Oma gak boleh teriak ke Papa." Rea menatap Mama kesal, aku bahkan harus menahannya agar tidak kesana."Ini juga. Tinggal di rumah ibunya, malah jadi melawan kayak gini."Mama berkacak pinggang, menatap Rea galak. Membuatku harus menggendong Rea. "Betul kata Rea, Ma. Andre udah besar. Gak perlu diatur-atur lagi. Andre gak butuh." "Kamu ini, susah banget diomongin. Kena racunnya si Weni kayaknya kalian."Wajah Mama memerah. Berganti berpindah ke Kak Anton. "Kamu segera juga pisah dari Linda. Saya sudah tidak merestui lagi." Ketus Mana"Apalagi yang Mama cari? Ma, kalau gak ada Kak Anton, gak bakalan ada rumah ini. Semuanya gak ada." Aku berusaha membela kakak iparku itu.""Saya tidak akan pisah dari Linda, Ma. Lagi pula, Andre masih butuh banyak bantuan saya."Terdengar tawa Mama. "Bantuan apa? Bantu buat kembali sama wanita
Baca selengkapnya
Dipecat?
"K—kamu nyerah, Mas? Nyerah sama hubungan kita?" Suara Mbak Linda terdengar bergetar. Aku buru-buru menggandeng tangan Rea. Kami mendesak masuk ke dalam rumah. "Iya, Lin. Aku nyerah. Udah berusaha bertahan, cukup. Aku gak bisa lagi.""Kakak gak bisa kayak gitu, dong. Kenapa gak bisa bertahan?" Aku menatap Kak Anton. Sejenak, kami semua diam. Apalagi melihat ada Rea. "Kak?" Aku menyuruh Rea masuk ke dalam kamarku yang ada di sini. Kak Anton terduduk. Pandangannya tampak kosong, seperti telah berbuat kesalahan besar. Aku menoleh ke Mbak Linda yang ikut duduk di lantai. Beberapa detik, dia terisak. Jujur. Berada di posisi ini sulit. Aku jongkok, menatap Mbak Linda. Berapa tahun mereka menikah, harus menyerah sekarang. Semuanya karena Mama. Gemetar tanganku mengambil ponsel, diam-diam merekam semuanya. "Capek aku berusaha mempertahankan rumah tangga ini. Gak berhenti buat membangun semuanya. Lalu sekarang? Benar-benar tahun yang sia-sia."Mbak Linda memukul lantai. Wajahnya tamp
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status