Semua Bab Dia-lo-gue: Bab 41 - Bab 50
78 Bab
PART XLI
Ayahku mengantar sampai aku masuk ke dalam gerbang sekolah. Dia berkali-kali mengingatkan bahwa aku harus fokus dan melupakan masalah lain selain materi yang sudah aku persiapkan jauh-jauh hari.Dia menyadari mata sembap dan suaraku yang serak. Namun, dia tidak bertanya lebih lanjut tentang apa yang telah terjadi denganku sampai aku harus menangis semalaman. Lagipula, ayahku juga terlihat tidak dalam kondisi yang bagus. Ada lingkar hitam di bawah matanya, dan berkali-kali dia menghela napas dalam-dalam. Seperti sedang melepaskan keresahan dalam hatinya. Aku menduga, dia habis bertengkar lagi dengan ibuku.”Pah, doakan ya,” ucapku ketika aku hendak keluar dari mobil.Dia menoleh ke arahku lalu tersenyum lembut. “Pasti dong, Kat. Enggak usah diminta juga Papa pasti doakan kamu.”“Nanti kalau aku lolos ke tingkat nasional, Papa juga harus anterin aku kayak gini ya,” pintaku dengan manja.Tangan ayahku terjulur dan m
Baca selengkapnya
PART XLII
Aku tidak ingin berlama-lama merayakan hari-hari patah hati. Kegiatanku yang padat seharusnya bisa mempercepat pemulihan luka-luka tak kasat mata di dalam badanku. Aku sudah membuat jadwal secara terperinci. Dari mulai apa yang harus dilakukan ketika bangun pagi, hingga saatnya aku kembali tidur di malam hari. Aku punya banyak rencana. Plan-A, plan-B, plan-C dan seterusnya. Yang akan aku jalankan jika aku tidak sengaja bertemu dengan Jace kelak.Seperti sebuah pepatah klise yang sering aku dengar, kenyataan tidak selalu sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Memang menghindari pertemuan langsung dengan Jace itu sangat mudah. Kami tidak saling bersinggungan dalam kegiatan sekolah. Kelas kami berbeda. Klub ekstrakulikuler kami berbeda. Dan lingkaran pertemanan pun berbeda.Namun, ada bayak hal yang membuatku merasa seperti diikuti bayangannya. Aku merasa seperti selalu berada di bekas jejak langkahnya, dan terperangkap di udara bekasnya bernap
Baca selengkapnya
PART XLIII
“Katy.” Suara Zoey mengembalikanku dari lamunan panjang. Aku menoleh dan memperhatikan jari-jari tangannya yang memegang kemudi dengan erat. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengajukan pertanyaan yang semenjak kami duduk berdua di dalam mobil, pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku. “Kenapa lo mau?” Zoey mengerutkan keningnya. “Apa?” “Ini semua.” Aku melirik tajam ke arahnya. “Lo diminta Jace untuk datang. Dan lo datang dengan senang hati.” “Jace bilang lo dalam masalah dan dia butuh bantuan gue.” “Lo terlalu jauh mencampuri urusan gue.” Nada suaraku meninggi. “Lo itu menantang bahaya, Kat!” “Tapi ini semua enggak ada hubungannya sama lo. Lo bukan siapa-siapa gue lagi.”  Zoey menggelengkan kepala. Seolah kecewa dengan apa yang telah aku ucapkan. “Kat, sadar! Lo terlalu tergila-gila sama cowok itu. Sikap lo udah enggak wajar.” Aku membuang pandanganku ke samping. Mencoba menyembunyikan bulir beni
Baca selengkapnya
PART XLIV
“Gue bisa pulang sendiri,” ucapku pada cowok yang sudah menjinjing tasku di tangannya. “Jangan keras kepala. Pulang sama gue.” Jace berbalik memunggungiku dan mulai melangkah. Aku tidak punya pilihan selain mengkutinya dari belakang. Aku menyerahkan kunci mobil dengan tangan bergetar. Kini aku bersyukur Jace mau mengantarku. Karena dengan keadaan seperti ini, aku tidak akan mampu berkendara dengan benar. Pikiranku melayang pada semua kemungkinan yang bisa saja terjadi pada ayahku. Apa dia mengalami kecelakaan? Atau dia jatuh sakit? Separah apa keadaan ayahku sampai ibuku terdengar histeris di telepon tadi? Semakin aku berpikir, semakin aku kesulitas bernapas. Leherku seperti tercekik sesuatu. Sampai napasku sekarang terdengar tersenggal-senggal. Apalagi ketika bayangan paling buruk tentang ayahku tiba-tiba menghinggapi pikiranku. Aku buru-buru mengerjap dan menarik napas dalam-dalam. Demi menenangkan hatiku yang sudah tidak menentu rasanya.
Baca selengkapnya
PART XLV
Hari kedua setelah ayahku tiada, rumah menjadi sangat sepi. Om Aldrin terbang ke Palembang tadi siang. Tante Lisa –Istri om Aldrin, dan Maura sudah kembali ke Bandung. Hanya sesekali Tante Yanti menjenguk ibuku sambil membawakan makanan untuk kami bertiga. Malam menjadi semakin hening ketika kami bertiga sama-sama mengurung diri di kamar masing-masing. Ibuku masih sering terlihat di dapur dan di meja makan. Namun, Aiden sama sekali belum aku temui semenjak kemarin. Aku melintasi ruang keluarga yang sepi. Memandangi poto-poto ayahku yang terpampang di dinding ruangan. Di sudut ruangan ada miniatur bola dunia. Di pajang di atas meja kecil samping televisi. Itu bola dunia pemberian ayahku waktu aku berulang tahun kesepuluh. Aku mengatakan padanya bahwa aku ingin menjadi astronot. Aku ingin menjelajahi ruang angkasa. Namun, dia bilang berkeliling dunia saja terlebih dahulu. Bisa jadi bumi yang selama ini aku pijak lebih menarik ketimbang langit di atas sana. Seperti hidu
Baca selengkapnya
PART XLVI
“Keuangan pensi?” Aku mengulang perkataan Vania tadi. Dia mengangguk padaku dan menyuruhku untuk segera mengikutinya ke ruangan Kepala Sekolah. Aku menurut dan mengekor di belakangnya. Di ruangan Kepala Sekolah, sudah berkumpul beberapa panitia pensi, anggota OSIS, Pak Badrun dan wali kelasku. “Duduk, Kaitlyn.” Kepala sekolah memepersilakanku dengan senyuman di bibirnya, berbeda dengan yang lain. Mereka terlihat serius dan nampak sedikit cemas. “Eh, Kat. Begini ...,” Pak Badrun memulai pembicaraan dengan sedikit senyuman yang dipaksakan. “Kami sebelumnya meminta maaf sudah memanggilmu saat kamu masih dalam masa berkabung. Tapi ada hal yang harus segera diluruskan sebelum ini semua menjadi berlarut-larut.” Firasatku mulai tidak enak mendengar kalimat pembuka dari Pak Badrun ini. “Iya, Pak. Enggak apa-apa.” “Jadi, kemarin setelah acara pensi selesai, kepanitian pensi me-review ulang masalah laporan keuangan. Doni menggantikan ka
Baca selengkapnya
PART XLVII
“Jadi ada apa sama keuangan pensi?” tanya Jace ketika aku sudah duduk di sampingnya yang sedang memegang kemudi. Aku terpaksa pulang bersama SUV milik Jace yang masih sangat baru. Bahkan aku masih bisa mencium aroma kulit yang baru keluar dari pabrik begitu aku masuk ke dalamnya. Aku pikir dia sedang mencoba pamer padaku yang sebetulnya tidak perlu dia lakukan. Aku tahu dia kaya dan mampu membeli mobil sejenis ini jika dia mengumpulkan uang jajannya selama beberapa bulan saja. “Ada selisih sama laporan pengeluarannya,” jawabku tanpa menoleh ke arahnya. “Selisih berapa?” Aku menelan ludahku dan bilang padanya. “Sepuluh juta.” Jace menganggukan kepala lalu mengusap dagunya seperti sedang berpikir. “Gue bisa bantuin lo gantiin uang itu.” “Andai bisa segampang itu. Selama ada uang, masalah langsung selesai,” ucapku sarkastik. “Gue cuma berniat bantu lo doang, Kat.” Jace melirik sebentar ke arahku sebelum kembali memandang jalan di
Baca selengkapnya
PART XLVIII
Sampai menjelang dini hari, aku masih terjaga. Aku tidak bodoh dengan selalu menutup mata pada potongan-potongan kenyataan yang datang padaku secara tidak utuh. Aku mencoba merangkai semuanya. Dan kesimpulan yang aku dapat selalu membuatku bergidik. Merasa mustahil jika memang apa yang aku pikirkan itu adalah jawabannya. Ibuku adalah wanita sempurna. Dia selalu menomor-satukan keluarganya. Dia rela bekerja di restoran sepanjang hari. Walau begitu, kami tetap mendapat semua pelayanan dan kasih sayang darinya. Perut kami tetap terisi makanan enak buatannya. Baju kami tetap wangi dan bersih. Dan rumah kami tetap nyaman untuk di tinggali. Tidak ada yang ibuku lewatkan walau dia harus pulang hampir larut malam demi mencari uang tambahan untuk membantu ayahku. Lalu hal-hal aneh ini terjadi. Aiden berkali-kali mengatakan ibuku bermasalah. Aku pun berkali-kali menemukan kejanggalan pada aktifitasnya. Haruskah aku kembali menutup mata dan telinga? Demi menjaga nama ib
Baca selengkapnya
PART XLIX
Cukup dua kata itu saja sudah membuatku membeku. Aku sudah mempersiapkan hati untuk mendengar informasi tidak menyenangkan ini dari jauh-jauh hari. Karena sebenarnya, dugaan-dugaan yang timbul akibat sikap janggal ibuku memang mengarah ke sana. Namun, mendengarnya langsung dari mulut Aiden tetap membuatku terpukul.“Sejak kapan lo tahu?” tanyaku dengan dada bergemuruh. Mungkin Aiden bisa menyadari itu karena suaraku mulai bergetar.“Udah lama. Lebih dari setahun yang lalu.”Aku menunduk dan memutar kembali kejadian aneh pada tahun awal aku masuk SMA. Yang aku ingat hanya perubahan drastis sikap Aiden menjadi pemurung.“Itu yang bikin lo jadi sering ngunci diri di kamar?”Aiden mengangguk. Aku tidak berani bertanya lebih lanjut. Karena semakin banyak aku tahu, semakin keras pula kebenaran menghantamku. Namun, aku harus benar-benar mengerti yang terjadi secara rinci. Agar aku bisa menentukan langkahku selanjutnya.
Baca selengkapnya
PART L
‘Mah, aku sama Aiden enggak pulang malam ini. Kami baik-baik aja. Enggak usah khawatir.’ Aku tekan ikon kirim pada layar handphone di tanganku. Aku harap pesanku itu menghentikan panggilan ibuku yang berkali-kali masuk ke handphone-ku. “Susu coklat?” tawar Jace setelah dia kembali dari kamarnya. Iya, kami tidak jadi ke hotel. Jace menawarkan rumahnya untuk menjadi tempat pelarianku malam ini. Dia bilang di rumahnya ada banyak kamar. Dan tentu saja gratis. Rumah yang dia maksud adalah kondominium mewah di atas sebuah mal. Yup, ini adalah tempat tinggal ibunya. Sangat cocok untuk dirinya yang bisa langsung pergi ke lantai dasar gedung jika tiba-tiba saat bangun tidur ingin menggunakan pakaian baru. Kondominium ini tidak terlalu besar. Hanya satu setengah lantai, dengan lantai dasar yang dibuat tanpa sekat. Semua terlihat dari tempatku duduk di kitchen land. Dari mulai foyer, sampai tangga pendek menuju lantai
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status