Semua Bab Insya Allah Ada Jalan, Nak!: Bab 31 - Bab 40
76 Bab
31. Fajrin atau Aku?
Kutinggalkan jalan raya, kembali ke rumah setelah kendaraan umum itu menghilang di tikungan. Ya, sekalut apa pun Nayya aku tahu dia akan selalu baik-baik saja, lalu bagaimana dengan Elis? Aku tak bisa melupakan ekspresi Elis saat tanpa sengaja memergoki Nayya tengah memelukku. Seakan terbayang di depan mata saat Elis berlalu begitu saja, tak mau mendengarku dan membanting pintu kuat-kuat di depan mataku. Aku sangat mencemaskan Elis. Aku takut sikap Elis berubah padaku setelah ini.Apa yang terjadi padaku sebenarnya? Bukankah sepantasnya aku lebih memikirkan masalah yang sedang dialami Nayya daripada memikirkan Elis?Apakah aku mencintai Elis, dan Elis juga mencintaiku? Seharusnya Elis tidak perlu mengambek seperti itu jika dia tidak menaruh hati padaku. Kalau benar Elis menginginkan aku, kenapa dia malah mengaku sedang mengagumi laki-laki lain? Kenapa dia malah mengirim surat ungkapan kekaguman pada Fajrin? Sampai pagi tadi aku makin yakin bahwa surat itu memang dari E
Baca selengkapnya
32. Tak Kutemukan Jawaban
Aku memilih terus berpura-pura tidur ketika Fajrin akhirnya pulang setelah lewat jam 20.00 malam itu. Lama benar dua orang itu pergi! Aku mendengar dengan jelas ketika Fajrin sudah masuk ke kamar dan meletakkan sesuatu di atas meja tulisku, sepertinya makanan karena aroma yang tercium dari sana masih sangat kukenali. Ini harum aroma martabak kesukaan Elis!Dalam remang mataku yang tidak benar-benar terpejam, kulihat Fajrin duduk melepas sepatunya sambil melihat ke arahku.            “Bram,”            Fajrin mulai mengajak bicara. Aku tidak akan menyahut. Aku akan terus diam seakan-akan tertidur pulas.            “Ane tahu ente belum tidur! Tuh, ada amunisi dari Elis. Mau nggak? Kalau nggak mau ane abisin sekarang ya!”        &nb
Baca selengkapnya
33. Pengakuan Fajrin
“Ah, saya tau,” gadis di sebelahku meraih gitarnya dan langsung menuduhku, “Bapak pasti lagi patah hati!"Aku menggeleng.“Ya udah ini gitarnya! Saya pengen dengerin suara Bapak lagi,” Sylla benar-benar tidak peduli dengan keadaanku saat itu. Diulurkannya gitar padaku.Aku meraihnya dan memain-mainkan jemariku sebentar di atas senar, tidak tahu ingin memainkan nada apa. Entah sesuai atau tidak dengan suasana hati saat ini, tiba-tiba lirik lagu Now and Forever yang pernah hit oleh Richard Marx terucap olehku begitu saja. Jari-jemariku pun refleks memainkan setiap kuncinya. Lalu, suara kami pun tiba-tiba bisa begitu padu. “Whenever I'm weary from the battles that rage in my head You made sense of madness when my sanity hangs by a tread I lose my way but still you seem to understand Now and forever I will be your man
Baca selengkapnya
34. Mencari Derryl
Selepas sholat subuh berjamaah di masjid dekat rumah, aku diajak Fijrin sarapan nasi uduk di warung yang tak jauh dari situ. Aku sudah tak sabar mendengar penjelasan Fajrin mengenai akhwat yang mengajaknya taaruf."Sob, gimana taarufnya?" tanyaku setelah meneguk teh hangat tawar."Ane bingung, Sob. Ane belum tahu lagi mau lanjut atau tidak. Semalam ane sudah sholat istikharah. Belum ada tanda-tanda jawaban dari Allah." Jawab Fajrin. "Ente sendiri, bagaimana sebenarnya sama Elis?""Nggak usah bahas Elis dulu deh, Sob. Ane mau bahas yang ente dulu nih," ucapku mengikuti gayanya: ber-ane-ente."Ane serius nih, Sob. Kalau ente emang masih ragu sama hati ente terhadap Elis, berarti itu tandanya ane nggak cinta sama dia. Kalau emang begitu, ane ada calon buat ente untuk taaruf." Ucap Fajrin."Taaruf? Maksud kamu, mau serahin calon taarufmu ke aku, gitu?""Bukaaan! Di Tegal, ada gadis belia, cantik, dan insya Allah sholehah. Orang tuanya m
Baca selengkapnya
35. Resiko
Setelah menguasai keragu-raguanku sejenak, akhirnya kupijit bel rumah di dekat gerbang tinggi itu. Beberapakali, sampai dua orang petugas keamanan membukakan gerbang.“Selamat malam,” sapaku sopan. “Malam. Mau cari siapa?” Aku ditanya dengan sikap waspada.“Maaf, apakah benar ini rumah Pak Hari Suryo, orang tua Derryl? Saya Bram, wali kelas Derryl di sekolah.”“Ada keperluan apa malam-malam Sudah ada janji?”“Tidak ada janji, Pak, hanya melalui surat. Ini kunjungan sekolah biasa, tapi ada hal penting yang harus diketahui Pak Hari Surjo tentang putranya.”Setelah bicara dengan rekannya beberapa saat, salah seorang petugas mengangguk dan membawaku masuk. Kuikuti laki-laki berambut cepak itu melewati taman hingga sampai ke ruang tamu yang luas, terang dan sejuk. Petugas itu pun langsung beranjak ke ruang dalam. Sepertinya dia akan memberitahukan kedatanganku kepada tuan rumah.
Baca selengkapnya
36. Hari yang Paling Bahagia
“Bram …?”Kudengar seseorang memanggil dengan hati-hati.Saat perlahan mataku membuka, kutemukan tubuhku terbaring dalam ruangan berdinding putih bersih.Sepi.“Fajrin,” panggilku lemah, saat melihat seseorang berdiri di dekatku.“Alhamdulillaah, ente udah siuman.” Fajrin terlihat begitu lega. “Tadi ada orang nelepon ane. Mungkin dia liat nomor ane di hape ente. Dia yang bawa ente ke rumah sakit ini, Sob, tapi mereka nggak tau asal-muasal ente bisa kayak gini. ”Aku mengangguk-angguk sambil mencoba bergerak, meraba kepalaku yang berat, pusing dan berdenyut-denyut sakit. Tanganku menyentuh perban basah di kepala, juga di beberapa bagian tubuhku yang lain.“Siapa yang ngelakuin ini, Sob?" Fajrin menggeram penuh emosi.“Sudahlah, aku nggak apa-apa. Ini cuma salah paham,”“Nggak! Ane nggak bisa tinggal diam lihat sobat ane babak belur kayak gini.
Baca selengkapnya
37. Pesan Elis
Mendung di atas sana tampak sendu, siang ini. Entah sudah berapa lama kupandangi gumpalan awan gelap berarak-arak di langit melalui jendela kamar rumah sakit ini.Fajrin sedang menemui dokter yang merawatku, sekaligus membicarakan perihal kepulanganku hari ini atau besok. Sebelumnya Fajrin menaruh mangkuk berisi bubur ayam—yang khusus dibawa Elis untukku—di dekatku. Harum bawang goreng dan aroma kaldu ayamnya yang lezat berpadu menggodaku, namun aku masih belum berniat menyantapnya.Ya Robbi, hanya kepada-Mu hamba berlindung. Hanya kepada-Mu hamba memohon. Ampuni aku yang telah buruk sangka pada-Mu, Rob, setiapkali meratapi apa yang menimpaku sementara aku tak siap menerimanya.Wahai Tuhan, telah kuberikan tulus pengabdian, perhatian dan rasa tanggung jawab terhadap murid-muridku saat ini. Mengapa begitu rumit jalan membentang di jalurku, Tuhan? Belum cukupkah rasa sakit ini, pukulan, hantaman dan tendangan ini?Allaahu Robbi, salahkah aku hin
Baca selengkapnya
38. Detik-Detik yang Berharga
Saat kemudian aku, Elis, dan Asep mulai merajai jalanan di atas sepeda, matahari masih memancarkan sinar yang cukup bersahabat pagi ini. Kukayuh sepeda tua milik Abi. Sementara itu, Asep mengayuh sepedanya agak jauh di belakangku. Elis pun bersepeda dengan gesit, seperti memandu kami menyusuri jalan menuju Situ Gintung. Situ Gintung adalah danau yang pernah jebol hingga memakan korban di tengah-tengah Kota Ciputat, yang kini sudah berhasil direnovasi hingga kembali asri.            ”A Bram! Kita balapan, yuk, sampai gerbang Situ Gintung!” teriak Elis.            ”Ayooo! Siapa takut?”            ”Wah, pada nggak tau Asep, ya? Lihat aja ntar, Asep kan paling jago sepedaan!” teriak Asep pula.Di jalanan yang agak sepi dari lalu-lalang kendaraan itu, kami bersiap untuk berl
Baca selengkapnya
39. Ada Apa Ini?
“Elis,” panggilku lirih, setelah melirik Asep yang masih tekun mengutak-atik ponsel.“Iya, A?”Dia menatapku sekarang.“Aa masih penasaran pada laki-laki yang pernah Elis ceritakan belum lama ini.” Ungkapku akhirnya.Tiba-tiba aku merasa konyol mendengar pernyataan bodoh itu dari mulutku sendiri. Mulai menyesal, apalagi kulihat Elis seperti kebingungan.            "Maaf, A. Elis nggak akan bilang sama Aa.”            “Elis nggak mau bilang, pasti karena Elis sendiri masih belum yakin apakah perasaan Elis saat ini hanya sekadar kagum, suka, atau benar-benar cinta. Iya, kan?”            Kulihat Elis menarik napas dan mengembuskannya lembut sekali. Kali ini dia tidak lagi melihat ke arahku, melainkan memandang lepas ke peman
Baca selengkapnya
40. Tuduhan Tak Terbukti
“Nggak usah pura-puralah, Pak. Dari kemarin sekolah ini udah heboh. Teman-teman kami, guru-guru dan kepala sekolah, semua sudah tau!” mata Sylla nyalang menatapku. “Coba Bapak lihat di kelas sekarang. Semua orang ngomongin Bapak. Semua kecewa dan benci sama Bapak. Termasuk saya, Pak, orang yang pernah berharap bahwa kita bisa berteman, tapi ternyata …”            “Saya memang tidak pantas jadi temanmu, Sylla, seandainya berita itu benar!” sanggahku kesal. Kuhela napas panjang dan mengembuskannya tak sabar. “Saya akan jelaskan bahwa ini semua …”            "Terlambat.” Sylla memotong, lalu membalik punggungnya. “Dan mungkin nggak akan ada yang percaya sama Bapak lagi.”Sylla pun melangkah pergi meninggalkanku.Aku semakin bingung.      &nbs
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234568
DMCA.com Protection Status