Semua Bab Kamu Akan Miskin, Mas!: Bab 61 - Bab 70
105 Bab
Mereka Bisa Dimanfaatkan?
"Haduh, kenapa kamu pakai acara injak kaki Mama, sih?"  Kami buru-buru membuka pintu, mendapati Mama Mas Reno, juga anaknya. Ngapain mereka ada di sini? "Eh, Nina. Maaf, ya, tadi kita lagi bersih-bersih, terus gucci-nya pecah." Gucci yang diletakkan di sana memang pecah. Aku menggelengkan kepala, mereka selalu saja membuat ulah. Aku menghela napas pelan. Mereka pasti penasaran dengan apa yang terjadi di dalam. Beberapa detik aku terdiam, Kafka menepuk pundakku. Dia membisikkan sesuatu.  "Em, apa yang kalian dengar di dalam?" "Gak dengar apa-apa, kok." "Jawab yang jujur atau gak ada jatah makan nanti malam. Buat gantiin gucci itu aja makannya." "Eh?" Mereka berdua terdengar terkejut. "Udah kayak ibu tiri di sinetron aja kamu, Nin." Tidak lucu sama sekali. Aku menggelengkan kepala, masih m
Baca selengkapnya
Surat Cerai
"Gimana caranya manfaatin mereka? Kayaknya mereka gak ada manfaatnya sama sekali."Terdengar tawa pelan dari adikku. Aku menoleh, menatapnya yang menarik turunkan alis. "Nanti aku cerita sama Mbak.""Bang, ayo. Ke kamar." Bang Tirta menoleh. Kemudian menganggukkan kepala. Dia beranjak. Aku masih menatap Mas Reno yang sesekali melirik ke arah kami."Mana si Rini?""Hadir, Bang." Rini muncul di sebelahku. Dia kemudian melangkah mendekati Bang Tirta. "Tolong awasi mereka. Apa pun yang kalian dnegar di kamar Mama dan Papa tadi, saya harap gak terjadi apa pun."Mereka tidak menjawab perkataan Bang Tirta sama sekali. Aku melangkah duluan ke kamar. Menyalakan ponsel milik Kafka. "Mbak mau mandi dulu, gak?""Iya, deh. Sekalian nanti langsung ketemuan sama Fajar. Malas kalau nanti-nanti."Setidaknya, aku sudah sedikit lega sekarang. Kami bisa tahu s
Baca selengkapnya
Kejahatan Terungkap
"Akhirnya!" Aku berseru senang. Membuka kertas itu, menyimak baik-baik. Beberapa hari lagi, aku akan melakukan sidang. "Ah, ya. Si Reno itu, dia gak di rumahnya lagi, ya?" tanya Fajar membuatku menoleh. "Di rumah Mama sama Papa sekarang." Kafka yang menjawab. "Hah?!" Wajah Fajar terlihat terkejut sekali. "Kok bisa? Padahal kan gak boleh."Memang. Aku menggaruk ujung hidung. Lumayan bingung. Apa yang akan aku jawab pada Fajar?"Jadi, mereka itu udah tandatangan surat kerjasama, kok. Masalahnya cukup besar, sih. Maka nya, kami ikutan deh. Lumayan buat pembantu dir umah meskipun udah ada."Aku menganggukkan kepala, setuju dengan perkataan Kafka. "Gimana ceritanya, sih?"Kafka menceritakan semuanya. Sesekali, aku memakan yang sudah disajikan."Oke-oke. Paham. Jadi, besok kalian mau ke rumah saksi itu?""Pasti kami besok ke sana."
Baca selengkapnya
Salah Sasaran Bermain-Main
"Buset orang itu." Kafka menggelengkan kepala melihat kondisi Bang Tirta. Aku menghela napas pelan. Kami salah menduga rupanya. Delia memang tidak ada baik-baiknya. "Baru ditinggal sebentar, beberapa menit. Udah beraksi aja. Coba tadi Mbak lempar dia sekalian pakai barang apalah." Sejak tadi, Kafka mendumal. Sementara aku menepuk-nepuk pipi Bang Tirta. Dia tidak mau bangun juga. Untung saja belum terjadi apa-apa. Aku menghela napas pelan, menggelengkan kepala. Kondisi Bang Tirta buruk sekali sekarang. "Bang, bangun." Aku menepuk pipinya kembali. "Udahlah, Mbak. Orang ngeyel kayak Bang Tirta itu emang nyebelin.""Masalahnya, kita mau bilang apa ke Mama dan Papa kalau udah sampai rumah dan Bang Tirta masih dalam kondisi gini?" tanyaku ikutan kesal. Bang Tirta dikasih minum entahlah. Mungkin obat tidur atau malah obat mabuk? Aku juga tidak tahu. 
Baca selengkapnya
Ancaman Besar!
"Aduh, pusing banget. Ini di mana?" Kami menoleh ke Bang Tirta yang sudah bangun. Dia mengerjap, menoleh ke aku dan Kafka yang sejak tadi sudah bangun.  "Bukannya tadi malam—" "Abang ditipu kali. Maka nya, jangan percaya sama kayak gitu. Kebanyakan makan percaya." Kafka menimpuk Bang Tirta dengan kulit kacang.  Aku menggelengkan kepala melihatnya. Kemudian kembali fokus menentukan titik di mana tempat saksi itu tinggal.  "Ngapain?" tanya Bang Tirta setelah mencuci wajahnya.  "Nyari lokasi tinggal saksi itu. Abang sarapan dulu sana." "Loh, kalian udah?" "Udah, tuh." Aku menunjuk piring bekas kami makan.  Setelah selesai semuanya, kami baru berangkat. Aku sesekali melirik jam, kami akan memasuki
Baca selengkapnya
Orang Itu ....
"Ancaman apaa?" tanyaku penasaran.  Bang Tirta mengangkat bahu. Kami masuk ke dalm mobil. Aku menghela napas pelan, menatap Kafka yang fokus menyetir.  Sepanjang perjalanan, kami diam saja. Aku tidak mau mengganggu fokus Kafka dengan bertanya macam-macam.  Ponsel Kafka berdering. Adikku hanya melirik sekilas, kemudian kembali fokus menyetir mobil.  Tanpa bilang apa pun lagi, aku mengambil ponsel Kafka, melihat siapa yang menelepon.  Papa.  Dengan cepat, aku menggeser tombol berwarna hijau.  "Kalian di mana? Ini udah banyak banget yang ngasih tau." "Masih di perjalanan, Pa." Bisa kulihat, Kafka mengatupkan rahang. Dia menggelengkan kepala ketika ada yang mengganggu fokusnya. Ah, adikku yang
Baca selengkapnya
Dia Adalah ....
"Siapa?" tanya Kafka sambil menyenggolku. Aku tidak menjawab pertanyaannya sama sekali. Sibuk memikirkan dulu. "Nina. Ayo sini.""I—iya." Dengan langkah pelan aku melangkah duduk di sebelah Ibu paruh baya yang sedang tersenyum itu. "Kamu cantik. Sudah besar ternyata. Udah lama banget gak ketemu, Nina."Aku tersenyum, kemudian menganggukkan kepala."Kalian kesini untuk mencari tau kebenaran bukan? Soal Angkasa, kamu, dan orang tua kamu, Nina."Pelan sekali, aku menganggukkan kepala kembali. Itu memang benar. Aku mencari kebenaran di sini. "Ah, itu bukan sesuatu yang mudah untuk menjawabnya, Nina."Kenapa? Aku menatap wanita itu. "Kita harus bisa memutar kisah itu lagi. Kamu sudah mau membuka kenangan masa lalu itu?"Hah?! Aku menatap tidak mengerti. Ibu paruh baya itu menganggukkan kepala padaku. Dia tersenyum. "Apa kamu mau, Nin
Baca selengkapnya
Kejutan
BAB 68 "Hah?! Tiada gimana, Bu?" tanyaku setengah terkejut.  Bu Sari menggelengkan kepala. Buru-buru aku, Bang Tirta, juga Kafka masuk ke dalam kamar itu. Lihatlah, kedua orangtua yang tadi mengobrol dengan kami sudah terbaring lesu. Apakah mereka benar-benar tiada? Aku menelan ludah. Tidak berani mendekati lagi.  "Mbak." Kafka memegang tanganku. Dia mencengkeram erat. Baru kali ini bisa aku lihat kalau Kafka terlihat ketakutan sekali.  "Maaf, Mbak Nina. Mungkin bisa tunggu di luar. Kami akan membersihkan seluruh selang yang melilit tubuh mereka." Buru-buru aku mengangguk, meskipun masih takut. Ini benar-benar terlihat menyeramkan sekali.  Ah, aku paling tidak bisa kalau sudah begini.  "Sudahlah. Yang penting kalian sudah bertemu dengan mereka, bukan? Tidak ada yang perlu disesali."&nb
Baca selengkapnya
Astaga!
BAB 69 "Mbak, ngapain bengong di situ aja? Ayo masuk, gak capek apa dari tadi cuma bengong aja kerjaannya?" Eh? Aku menatap Kafka yang sibuk mendumal dengan kondisi lingkungan rumah Bu Sari.  "Mana, sih? Belum pulang juga?" tanya Bang Tirta kesal. Hanya kami berdua. Yang lainnya masih dimakam. Aku menghela napas pelan, agak pusing melihat Kafka yang sejak tadi muter-muter tidak jelas.  "Coba telepon, Mbak." "Telepon siapa? Mbak gak punya nomor Bu Sari." "Mama atau Papa gitu. Panas banget di sini. Pengen tidur aja." Aku mendengkus melihat Kafka yang uring-urungan. Namun, ketika hampir menghubungi, rombongan datang. Aku menghela napas lega. Akhirnya datang juga.  "Udah nungguin lama, ya? Maaf Ibu harusnya gak buat kalian nunggu lama." "Enggak lama, Bu." Aku menjaw
Baca selengkapnya
Surat Perceraian
BAB 71 "Ini peninggalan apa, Bu?" tanyaku pelan.  Aku berkali-kali mengecek kalung itu, tidak ada yang istimewa sebenarnya. Lalu apa yang dibangga-banggakan? Dan kenapa menjadi barang peninggalan? "Itu penting sekali, Nak. Bukan hanya soal harganya, tapi banyak sekali. Kamu simpan baik-baik, ya." Baiklah. Aku menganggukkan kepala. Kami selanjutnya membahas hal lain. Sesekali aku tertawa mendengar perkataan Ibu. Sekarang, kami tidak lagi terlihat canggung. Aku melebarkan senyum ke Ibu.  "Lalu, kamu mau dapat harta warisa. Itu kan, Sayang? Sudah jelas kamu juga berhak atasnya." Aku menggigit bibir, tapi kemudian menggelengkan kepala. Mau aku cucunya Nenek atau Kakek, apalah. Aku tidak mau pokoknya. Ibu terlihat sedih melihat jawab yang aku berikan.  "Biarlah diberikan pada yang membutuhkan bagian Nina, Bu. Nina tidak ingin me
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
56789
...
11
DMCA.com Protection Status