Semua Bab Audacity: Bab 41 - Bab 50
159 Bab
40. Reaksi
Adrian   Ini ciuman terbaik setelah kejadian di belakang sofa dulu. Perlahan aku menarik wajah dan mendapati wajah Fany sangat eksotis. "Jadi, bagaimana?" tanyaku. "Kamu menikmatinya, kan?" "Menikmati?" Nada bicaranya terdengar gugup dan bingung. "Ciuman tadi." "Biasa saja." "Oh ya? Tapi wajahmu mengatakan oh Adrian, kenapa berhenti? Aku mau lagi." Dia mendengus, tersenyum sinis, sembari membuang muka. Dasar gadis sok jual mahal. Apa susahnya mengakui jika diriku mampu membuatnya melayang tadi. Aku menginginkan lagi dan dia pun begitu kan? Aku paksa dagunya kembali menghadapku, lalu aku meng
Baca selengkapnya
41. Kesungguhan
Adrian   Beberapa orang keluar dari kamar mereka, sekedar mengintip apa yang terjadi. Beberapa memandang heran karena hal ini jarang terjadi. Yup, aku jarang membiarkan gadis cantik di depan pintu kamar, kecuali Fany di pagi hari. "Adrian Bened, aku tahu kamu ada di dalam." Dia menggedor pintu seperti gadis kesurupan. "Buka pintunya, Adrian!" "Halo manis." Suara santaiku membuat dia berhenti menggebrak pintu. Dia merapikan pakaian putih dan rok pendeknya yang sedikit kusut. "Aku kira kamu berada di dalam," ujarnya. Mau apa tunangan Alfred ke sini?  "Ada perlu apa Messandre … Minerva …." Dia menjawab dengan nada kesal. "Kamu benar-benar tidak ingat namaku?" "Maaf. Aku kesulitan untuk mengingat nama wanita. Ada perlu apa?" "Bisa kita bicara di dalam?" tanyanya, sembari memutar-mutar gagang pintu. "Kita bicara di ruang tunggu saja, yuk. Aku traktir minum." "Kenapa?" Dia me
Baca selengkapnya
42. Malam Penting
Fany   "Sesuai jadwal, huh?" Komentar Adrian ketika menyambutku. Hmm, dia sudah siap ke kampus dengan berpakaian rapi. "Masuk, aku akan membuat sarapan untuk kita." "Wow … ok, mari kulihat apa yang kamu bisa." Kamar apartemen Adrian wangi. Dia juga harum. Kasurnya rapi, tiada wanita di sana. Bagus, sejauh ini semua berjalan dengan baik. Aku duduk manis di kursi bar kecil, menonton bagaimana dia memasak telur goreng, sosis, dan daging. Menurutku celemek membuatnya bertambah seksi. Apa kelak jika … kami menikah, dia akan seperti ini? Aduh, pikiranku ke mana-mana. "Jadi, bagaimana rencana kita di hari ulang tahun pernikahan orang tuamu?" "Hmm? Kamu datang dan temani aku, simpel." "Baiklah sayang, apapun demimu. Apa aku butuh membeli hadiah untuk Ayah mertua?" Dia membuatku kaget. "Percaya diri sekali kamu memanggilnya Ayah mertua?" Aku menerima makanan buatannya di atas meja, mencicipi
Baca selengkapnya
43. Pacarku
Fany   Mobil Limo sampai ke restoran mewah tempat yang menjadi lokasi perayaan ulang tahun Ayah. Pintu mobil dibuka, angin sepoi hangat menerpa wajahku. Tempat ini dipenuhi orang berjas juga gadis bergaun malam mewah. Aku mengenali beberapa wajah yang tersenyum ramah, mereka teman-teman Ayah.  "Mari Nona," ujar supir. "Tuan menanti di dalam." "Tuan siapa?" "Ayah Anda menyuruhku menjemput." Astaga, jadi Ayah? Pikiranku terlalu terpaku pada yang lain. Sungkan juga berdiam diri di limo, karena banyak mobil lain mengantri untuk menurunkan penumpang di belakang. Sepatu hak tinggiku mendarat ke trotoar, mobil limo hitam pergi. Mobil mewah silih berganti menurunkan orang. Lagi-lagi beberapa wajah yang aku kenal.  Aku serius berdiri menanti Adrian.  Mana mobil jeleknya? Aku tidak ingin dia kenapa-napa. Tunggu dulu, apa mobil sial itu mogok di jalan? Oh Ya Tuhan, jika begini hanc
Baca selengkapnya
44. Pertemanan
Adrian   Carl mencukur jenggot. Aku duduk di kursi tempat pembuatan tato, sementara dia sibuk mengoles busa cukur ke daguku. "Apa kamu yakin, Carl? Ini akan mulus?" tanyaku. "Santai Bro. Percaya pada Carl Johnson." Pria Spanyol, teman kerjaku yang kupanggil Manuel tertawa sambil menato pelanggan. "Carl tidak pernah punya jenggot dan kamu percaya jika dia bisa?" Aku nyaris bangkit, tapi Yun, gadis Korea, teman kerjaku di sebelah menahanku. "Carl selalu mencukur habis jenggotnya, jadi dia pro." "Dengar?" sahut Carl, aku tidak suka cara tertawanya. "Rileks, Bro. Kamu berada di tangan orang ahli." Well, dia tidak berbohong. Bukan hanya jenggot, dia juga menata rambutku dengan bagus memakai jelly. "Bagus kan?" Dengan bangga Carl memamerkan rambutku, wajahku, di depan cermin. "Carl?" Elisa datang, kedua alisnya naik melihatku. "Kamu sangat … keren." "Terima kasih."  "
Baca selengkapnya
45. Pesta Orang Kaya
Adrian   "Apa kamu lupa pada Paman terbaikmu, Nak?" "Tentu tidak!" Aku memberi pelukan erat kepada Paman William dan dia balas memeluk sambil menepuk punggung. Dia memandang lekat-lekat dari ujung sepatu sampai rambut. Suaranya begitu bersahabat dan senyum itu tidak pernah berhenti. "Kamu tambah tinggi, tampan, kekar, sungguh lelaki berkelas. Mana Kakak dan Ibumu, apa mereka datang? Oh, mana si cantik Kim?" "Mereka tidak ikut Paman. Hanya aku sendiri. Selamat ulang tahun, Paman." Aku mengeluarkan jam pemberian seorang gadis dulu, yang tidak pernah aku buka dari wadah. "Kamu tidak perlu memberi hadiah. Kehadiranmu saja cukup." Walau paman berkata seperti itu dia langsung melepas jam emas, lalu mengganti dengan jam digital pemberianku. "Jadi Adrian, kenapa tidak masuk?" "Para penjaga tidak mengijinkan aku masuk karena tidak membawa undangan dan memakai dasi--" "Kamu bagian dari keluarga,
Baca selengkapnya
46. Perjalanan Ke Ranjang
Adrian   "Tuan Zulvian, aku kira kamu tidak datang." Wajah paman William langsung cerah. Sepertinya mereka berteman dekat. "Bagaimana mungkin aku tidak datang ke pesta ulang tahunmu?" Zul tertawa renyah, tawa khas yang dulu sering aku dengar. Dia berdecak kagum memandangku. "Lihat dia, siapa sangka dia akan datang kemari." "Aku tahu," jawab Nyonya. "Aku tidak menyangka orang kampung bertato menjijikkan seperti dia bisa masuk kemari." "Tato tidak ada yang menjijikkan Nyonya, tato adalah seni tubuh." Zul melepas beberapa kancing kemeja bagian atas. "Lihat? Aku memakai tato. Apa kalian di sini ada yang bertato? Ayo jangan malu-malu, calon senator bertanya di sini." Banyak pemuda mengangkat tangan, bahkan beberapa gadis anggun di meja seberang. "Lihat," kata Zul. "Apa semua orang ini juga sampah nyonya? Lagi pula Adrian Bened, adalah pahlawan." Sepertinya Fany penasaran hingga bertanya, "Bagaimana Tuan
Baca selengkapnya
47. French Kiss
Fany   Dia tahu apa yang aku suka. Adrian menyetel musik country. Pemanas mobil juga menyala. Sengaja dia mampir ke starbuck untuk membeli green tea milk kesukaanku.  "Minumlah, jalanan macet, akan lama sampai ke apartemenku," ujarnya. "Apartemenmu?" "Ya, kamu mau ke tempatku, kan? Ayolah, sekali-kali--" "Tidak. Antar aku pulang ke apartemenku." "Kenapa? Kita pacaran kan?" "Adrian, tolong jangan mendebat. Aku tahu isi kepalamu. Sorry, aku tidak ingin." "Kenapa? "Karena kamu Adrian. Aku tahu semua hal tentangmu dan kemesumanmu."  Dia terkekeh dengan nada menyebalkan. "Baiklah, aku mengerti. Hanya suamimu dan Alfred yang bisa kan?" Ya Tuhan dia benar-benar menyebalkan. Aku kira setelah kejadian tadi dia bisa sedikit sadar. Aku kira dia telah move on dari kemesumannya itu. Kenapa pula dia membawa-bawa nama Alfred. Bodoh! "Maaf, aku lupa jika kamu ingin
Baca selengkapnya
48. Permainan
Fany   Aku melangkah mundur. Memandang mereka bertiga. Mereka kira aku bodoh atau bagaimana? "Ini pasti taktik Ibu untuk membawaku pulang, kan?" Mereka bertukar pandang. Aku tahu mereka memang berbohong.  "Katakan pada wanita itu, jika ingin bertemu, datang kemari. Aku bukan hewan peliharaan." "Nona, Ayah Anda sakit di rumah. Jika tidak percaya, mari kita cek ke rumah." Pemuda ini berkata dengan nada serius, tiada senyum atau sesuatu yang aneh di wajahnya. Tuhan, apa Ayah memang sakit? Mungkin saja, setelah ribut antara anak dan istrinya. Tidak, aku tadi keterlaluan. Ayah … "Ayah!" Aku tak kuasa menahan tangis. Aku mengikuti mereka bertiga menaiki mobil SUV hitam, duduk di kursi tengah bersama pemuda berjas hitam. Sementara dua orang lain di depan. Selama di perjalanan begitu hening. Pemuda di samping cukup baik mengambil tisu di depan untukku. Walau hanya tisu makan, cukup untukku. "B
Baca selengkapnya
49. Rencana Fany
Fany "Bisa kita mampir ke starbuck?" pintaku. "Baik Nona." Aku sengaja membawa mereka bertiga ke sana supaya bisa bicara dengan bebas. Kami masuk ke starbuck yang padat pengunjung, duduk di kursi masing-masing memenuhi meja setelah memesan minuman. Ketiganya gugup bermain mata sambil berbisik-bisik. "Maaf membuat kalian bekerja lembur," ucapku. "Tidak apa-apa."  Aku tahu mereka pasti bingung. Aku sendiri tidak ingin sampai seperti ini, tapi wanita itu yang memulai. Dia yang hendak menghancurkan hidupku. Apa salah jika aku ingin mempertahankan apa yang aku anggap patut untuk diperjuangkan? Masa depan bukan hal sepele. Aku berdehem kecil supaya mereka bisa fokus kepadaku. "Dengar, aku ingin kalian melakukan sesuatu. Bantu mencari keburukan Ibu. Cari tahu apa yang dia mau kenapa memaksaku menikah dengan Alex. Kalian harus membantuku." Lagi-lagi mereka bertukar mata. Sepertinya
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
16
DMCA.com Protection Status