All Chapters of VAMPIRES UNITED: Chapter 11 - Chapter 20
50 Chapters
11. Instant Celebs
Ketika Rastri dan Sam keluar entah bagaimana perkembangan baru itu telah tersebar cepat. Orang-orang menatap mereka berdua ketika keluar dari kantor Pimpinan Redaksi. Semula hanya tepuk tangan ragu-ragu dari sudut: Sonia. Lalu tepuk tangan itu bersahut-sahutan dengan suitan penuh kegembiraan. Dan tak berapa lama ruang redaksi dipenuhi oleh sorak membahana.  Setiap orang mendadak ingin menepuk pundak Rastri. Dan setiap orang kini tahu bahwa pegawai korektor baru yang pendiam dan acuh-tak-acuh itu namanya Sam. Dan ia telah menyingkirkan naskah Manto untuk memuat naskah Rastri. Tindakan kurang ajar yang luarbiasa berani dan cukup konyol serta sekaligus menggelikan.  “Bagaimana rasanya dicaci kemudian dipuji dalam waktu berurutan?” Sonia. Ia memeluk bahu Rastri dari belakang. Rastri tersenyum lebar, jawabnya, “Bagiku beban, Sonia. Sekarang aku malah diberi tugas khusus untuk lebih jauh menelusuri keberadaan vampir.” “Apapun itu, congrats on your
Read more
12. Kenyataan Berdarah
Selama perjalanan di dalam bus Rastri sama sekali tidak berbicara apa-apa, seakan ia kembali kepada kepribadian sebelumnya yang selalu mengawasi tetapi selalu menjauh dan bermisteri terhadap Sam. Sesekali gadis itu melirik Sam.Tatapannya sering menyorotkan keraguan seolah ia menyesal telah berjanji mau membawa Sam ke sumber beritanya. Di saat lain, ia mencuri-curi pandang dan mencoba menerjemahkan kegalauannya sendiri karena telah membawa Sam—orang yang belum begitu dikenalinya—ke sesuatu yang mungkin akan disesalinya. Tapi Sam, dengan memuat naskahnya dan menyingkirkan naskah lain, telah berbuat banyak padanya.Sangat banyak. Ibaratnya ia telah menyerahkan lehernya sendiri untuk membela Rastri.    Dalam deraan debu dan panas di dalam bis kota yang merambat pelan, keduanya membisu. Sam sama sekali tak peduli. Ia juga tak berusaha memecahkan kebisuan. Di Pasar Jatingaleh mereka turun, lalu Rastri membawanya masuk ke dalam gang-g
Read more
13. Segelas Darah utk Kegelapan
 “Akhirnya kau mau juga bicara, adikku,” isak Rastri.  Sam menatap Rastri. Jadi, vampir itu adiknya. Pantas Rastri tak mau membunuhnya. “Tahukah kau, kau telah membuat kami semua sedih. Mengapa kau menjadi seperti ini? Mengapa kau selalu berusaha mencelakakan kami? Dan mengapa kau tidak mau berbicara kepadaku selama ini?” “Suruh orang itu mendekat ke mari, Rastri,” perintah mahluk di kegelapan tanpa menghiraukan tangisan dan rengekan Rastri.  Rastri menggeleng.  “Biarkan aku mendekatinya. Barangkali ia ingin mengatakan sesuatu,” desak Sam tenang. Rastri berusaha mencegah Sam, tetapi ia mundur melihat sorot mata para kerabatnya.  Mereka menahan napas ketika Sam berdiri di belakang garis kuning di lantai. Mereka berusaha mengendalikan debar dada yang mendadak berdentum tak terkendali. Si gondrong Hara tersenyum keji. Jika Sam menjadi korban, bukan salah mereka. Orang itu melakukannya atas keinginan sendiri. Ha! Senyu
Read more
14. Power Play
Ketika Rastri mengantarkan Sam ke gerbang rumahnya, Priyono menerima panggilan ke lantai atas, tempat Titus berkantor. Sudah berbulan-bulan sejak terakhir kali Priyono berbicara dengan Titus. Mereka bukan orang yang cocok satu sama lain. Sejak semula Titus telah menegaskan bahwa yang ia pedulikan adalah laba perusahaan, dan sebagai Pimpinan Redaksi, Priyonolah yang bertugas menangani segala tetek bengek masalah yang tidak berkaitan dengan laba. Meski begitu tidak jarang Titus mengiriminya memo tentang satu dan lain hal yang terkadang membuat kening Priyono berkerut.  Pada akhirnya semua hal yang ada di perusahaan itu berkaitan dengan laba. Itulah kesimpulan yang diambil Priyono mengenai sepak terjang Titus. Dan itu semakin membuat mereka semakin berjarak. Kenyataan itu membuat Titus, yang suka masuk kantor pada jam-jam aneh sesukanya, semakin jauh dengan para pegawainya. Sebaliknya, Priyono semakin populer dan hampir setiap orang menghormatinya.  Namun ada
Read more
15. Panggilan Mencurigakan
Udara panas masih terasa menyengat tatkala senja mulai semburat di langit kota. Sonia belum merasa lesu meskipun seharian ia berkutat dengan pekerjaannya. Albert menelpon akan menjemputnya seperti biasa, namun entah kenapa batang hidungnya belum tampak juga. Seseorang telah membuka tirai dari sudut ke sudut, sehingga cahaya kemerahan itu sempat mampir di permukaan mejanya sebelum lampu-lampu yang berderet rapi di langit-langit—ttap-tap-tap!—menyala dan melumatnya dalam taburan cahaya yang lebih terang dan tajam. Pendingin ruangan telah dimatikan (kebijaksanaan perusahaan untuk menghemat listrik). Angin senja yang kering dari jendela yang terbuka menyentuh bahu Sonia saat ia memencet huruf terakhir di keyboard-nya sebelum membubuhkan sebuah titik.  Selesai.          Kantor semakin ramai begitu malam menggantikan senja. Tetapi pekerjaan Sonia selesai ketika banyak rekan lainnya—di bagian desk luarnegeri, misalnya—baru
Read more
16. Senja Galau Sonia
Sonia merasa bersalah karena ia tidak merasa gembira ketika menjatuhkan pantatnya di jok depan di samping Albert yang menyambutnya dengan senyumnya yang letih. Halaman depan kantor Berita Harian sedikit lengang. Dinding bagian atas bangunan kantor memantulkan sinar matahari sewarna kuning telur. Dan ketika Sonia melongok ke bangunan yang baru ditinggalkannya perlahan perasaan sepi dan terasing merayap ke dadanya. Setelah berbulan-bulan dalam kerutinan dijemput dan diantarkan Albert, baru kali ini Sonia menjumpai kejanggalan melingkupinya di dalam mobil yang lembut, wangi dan menyenangkan itu. Mengapa kebaikan dan keramahan Albert tak mampu membuatnya nyaman sekarang? Ada apa dengan dirinya? Dan mengapa ia masih saja berada di dalam mobil itu menikmati kebaikan hati Albert, sementara hatinya tertinggal di suatu tempat mendamba orang lain yang tidak dikehendaki dan dikenalnya?  Apakah dirinya memang sebrengsek itu?  Lalu apa yang membuatnya te
Read more
17. Insiden Kecil
Malam merambat. Orang-orang datang dan pergi, tetapi Sam tetap tinggal di depan monitor yang menyala. Tangannya bergerak di atas keyboard, begitu cepat dan teratur seolah jari-jemarinya memiliki nyawanya sendiri dan kini tengah merayakan kehidupannya dengan menari-nari riang. Wajah Sam tak berubah, seluruh konsentrasi terpusat ke layar monitornya.  Satu jam berlalu. Dan Sam menyandarkan bahunya ke sandaran kursi. Sesaat wajahnya berpaling, mengawasi sekelilingnya dan seolah sadar ia baru saja mengabaikan sekelilingnya selama beberapa saat. Kini ia menatap setiap objek dengan ketelitian yang sedikit mencurigakan. Lalu sekali lagi ia meneliti tampilan di layar monitor; lalu dengan satu desahan puas ia bangkit. Selesai.  Sam beranjak. Namun baru beberapa langkah menuju pintu ke resepsionis, ia dicegat Manto. Dengan rokok menyala di bibir, Manto menghampirinya. Sam bisa saja berbelok menghindarinya langsung ke pintu, tapi ia merasa ia perlu tahu apa keingi
Read more
18. Lounge Disaster
Sonia pernah mendengar tentang lounge itu lama sebelumnya. Beberapa kenalannya memujinya sebagai tempat yang berkelas dan benar-benar nyaman. Musiknya tidak terlalu keras. Dan DJnya bukan orang sok akrab yang mau menyapa semua orang dengan serampangan. Ketika mereka berdua masuk, mereka ditaburi cahaya temaran yang sejuk dan indah. Sonia menatap beberapa lukisan besar yang dipajang di bawah lampu kecil dan ia setuju dengan review orang tentang kehebatan tempat itu. Sangat. Albert tersenyum kepadanya seolah lounge itu adalah penemuan pribadinya yang dipersembahkan khusus bagi Sonia. Hal itu membuat Sonia tersenyum, dan matanya segera tertarik dengan sebuah sofa sudut dengan pemandangan malam dari balik dinding kaca. Mendahului Albert ia melangkah ke sana. Ia melihat jendela kantor Svida di gedung seberang masih menyala. Apa yang dilakukan perempuan itu pada jam seperti ini? Apakah ia masih bekerja? Sonia mengawasi jendela itu, namun tak ada kelebat sosokpun ya
Read more
19. Darah Sang Jagoan
“Sam, what took you so long!” “Apa yang terjadi?” “Jani, adikku. Mengamuk lagi. Sejak bangun sore tadi sampai sekarang. Ia membuat seluruh rumah bergetar. Mungkin dinding gudang telah retak-retak gara-gara dia. Jani menarik-narik rantainya tak henti-henti, aku takut akhirnya tiang akan roboh dan rumah terbawa ambruk.” “Menurutmu kenapa ia berbuat begitu?”   “Aku yang bertanya kepadamu!” “Oh, sekarang menjadi kewajibanku untuk menangani—siapa?—Jani sementara kaulah yang menyekapnya selama ini?” “Maaf, Sam. Aku meminta tolong padamu. Please. Darah kami sudah mendidih di ubun-ubun. Dan kami semua nyaris gila.” “Siapa yang nyuruh memelihara seorang vampir bagai binatang dirantai?” “Ini adikku, Sam. Cobalah untuk mengerti.” Sam terbahak tanpa nada riang.  Ketika pintu jati tebal itu dibuka, suara berisik rantai memukul-mukul tiang dan lantai terdengar keras. Dinding terasa bergetar. Dan Sam merasaka
Read more
20. Jani's History
“Aku akan membunuhmu! Aku akan membunuhmu, bangsat anjing, bajingaaaan laknaaaaat!” maki Hara kalang-kabut.  Namun Sam menoleh ke arahnya pun tidak. Sosoknya tegak dan bergerak dengan kecekatan dan ketenangan yang mengherankan, mengingat kekacauan di sekelilingnya. Seolah semua kejadian dan kegagapan yang berlangsung mengorbit di seputarnya, dan sebagai sumbunya Sam kokoh, teguh serta tak tergoyahkan.    “Kau bajingan laknaaatt!” ulang Hara semakin gila. Akan tetapi hanya mulutnya yang berkoar-koar liar, sementara itu tubuhnya lemas dan lunglai seperti sayuran kering yang layu. Rastri menatap Sam dengan dada naik turun.  Ya ampun, semua ini gila!  Un-fucking-believable.   Tak bisa dipercaya.  Ediiaaan.  Sam memalang pintu jati itu. Dan ketika selesai, ia menatap mereka semua dengan ekspresi campuran antara geli dan puas. Dan itu terasa mengerikan di mata Rastri. Ada kelegaan yang aneh yan
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status