“Buat comblangin ke Mbak, kali, bukan buat aku. Kalau aku, sih, mau gebet dosen bujang pembimbing skripsi aja. Tapi dia mau sama aku, gak, ya?”“Pasti enggak, lah, Fani! Sadar diri, otak pas-pasan begitu.” Kali ini, aku balik mengejeknya.“Eh, Mbak, kalau Pak Irsya masih bujangan, aku mau sama dia. Sayang, udah duda.”Aku diam saja.“Dia sama kamu aja, deh, Mbak. Sama-sama kesepian.”“Hentikan bercandamu, Fani! Kamu maupun Nia, tidak boleh ada yang menikah dengan PNS lagi. Cukup sekali bapak punya menantu berpangkat. Bapak tidak ingin lagi dianggap orang yang tidak punya harga diri.”Seketika, bibir Fani mengatup sempurna saat melihat bapak berdiri di ambang pintu tengah. Muka adikku pucat, antara menahan takut juga malu.Setelah kepergian lelaki yang telah banyak berjasa dalam hidup kami, Fani terdiam. Menatap benda berlayar besar di meja dengan pandangan yang nanar.
Read more