Share

apa elo soulmate gw
apa elo soulmate gw
Penulis: windy

apa elo soulmate gw

Jodoh itu gak kaya sandal gak bakal ketuker

Dedaunan saling bergesek, seakan mereka saling bercengkrama bak pasangan yang sedang memadu kasih.  Pohon rindang  di halaman rumah menebarkan  semilir angin dengan suara lembut berbisik. Siang yang sunyi dengan sejuta mimpi bergelayut dalam jiwa. Obsesi, mengalir deras laksana air tak terbendung. Sebuah obsesi yang umum diimpikan oleh setiap insan, yakni hidup bahagia dengan seseorang yang dicintai.  Khayalan terus bercerabut dalam pikiran, siapa kelak pasangan jiwaku?  Membayangkan betapa bahagianya   jika punya seseorang yang bisa  dari rutinitas hidup jomblo yang membosankan menjadi hidup yang bergairah dengan cinta dan kasih sayang.

Bagaimana harus kulukis, jiwaku yang mengembara, terbang dan melayang?

Melayang, membuai mimpi dan harap

Aku tak ingin jiwaku merana, menangis dan tersiksa

Aku ingin jiwaku menari, berlari, berteriak dan tertawa

Lepas, bebas tanpa beban.... dan tersenyum bahagia

Di saat ada sesuatu yang kurang dalam jiwa, ia hanya bisa diam dan diam. Bagaimana melukis jiwa?. Jiwa bagaikan semburat warna pelangi Mejikuhibiniu. Ada kalanya berwarna lebih jingga tapi ada kalanya berwarna lebih gelap. Kegelapan jiwa kian bersemayam didalamnya disaat kita tidak peka. Jiwaku mengembara menyusuri lorong sukma membalut raga. Apa yang terjadi pada jiwaku,Jika ia lapar dan haus? Apakah aku peka pada jiwaku? Kadang terbesit pertanyaanku mengapa aku tidak bahagia hari ini? Padahal tidak ada sesuatu yang mengganjal hatiku “everting is oke but I am not Happy”. Pernyataan seperti ini kian bercerabut dalam benakku, namun tak jua ada jawaban. Sebenarnya apa  yang dapat membuatku bahagia? Lalu apa pula yang membuatku merana?.

Setiap orang punya konsep bahagia yang berbeda-beda. Ada yang merasa bahagia dengan uang yang banyak, kekuasaan dan power. Namun ada juga yang merasa damai ketika selalu bisa bersinergi dengan sang Khalik. Tak ada kebahagiaan yang hakiki selain dariNya. Namun paling tidak, menurutku tidak hanya hubungan vertikal ke atas yang membuat kita bahagia hidup di dunia ini. Sebab ada hubungan horizontal dengan sesama yang harus kita bina agar adanya keseimbangan kehidupan. Pernah ada orang yang terus merasa tak bahagia lantaran belum dapatkan belahan jiwanya. Lalu kemana belahan jiwanya? Kapankah ia datang menghampirinya lalu saling menaungi hidup dalam belaian cinta? Sebaiknya temanku justru merasa tidak bahagia setelah menemukan belahan jiwanya.

Aku masih terpusat di depan layar komputer 15 inci, tak menghiraukan orang-orang dikantorku. Biasa kalau ada waktu sedikit luang aku paling senang bereksplorasi pada ide-ide dalam pikiranku, yang kutuangkan dalam tulisan. Aku tak peduli apakah tulisanku ini dihargai dalam nominal uang, atau berupa bintang jasa nobel penghargaan misalnya. So yang pasti aku bahagia ketika selalu bisa bercengrama dengan alam khayalanku.

Tiba-tiba saja, aku tersentak “ Di kamu gak makan siang, dari tadi serius banget, ngetik apa sih?”, tanya Gina teman sekantorku yang terkenal paling usil. “Ah mau tau aja, ada deh, nanti  kalau sudah selesai boleh baca. Aku hari ini lagi puasa, kamu makan siang aja sama mbak Evi”, kataku sambil terus menulis dan tetap tak menoleh padanya. “Cie puasa  sunah senin-kamis nih ye, cepat enteng jodoh yah. Jodoh itu gak usah pake puasa segala nanti juga datang sendiri, asal  kita sering tebar pesona he he he”. Kata Gina,  sambil cengar-cengir lalu ngeluyur meninggalkanku dalam kesendirian.

Gina mendapat julukan janda genit di kantor, entah siapa yang iseng memberi julukan itu padanya. Yang pasti ia memang janda selama 5 tahun, dan senang sekali mendekati cowok-cowok muda di kantor. Bahkan sudah banyak pria yang diajaknya nonton dan makan malam. Sekali lirikan matanya, maka habislah isi kantong lelaki tekurasnya.

“Trut….trut…. trut…”, ponselku bergetar. Aku langsung mengangkat Hp yang ada dimeja kerjaku. “Ya halo, kenapa ?? apa? mau ketemu sore ini?, boleh juga oke see you.”, kataku menjawab telepon dari Zaldi.  Pria itu selalu saja membuatku terpesona, seakan rasa cintaku tak pernah surut padanya. Ia bagaikan cahaya hidupku, mungkin terdengar berlebihan. Tapi begitulah caraku mengekspresikan cintaku padanya. Sebenarnya tak banyak keistimewa dari seorang Zaldi. Namun justru tak ada keistimewaannya aku makin menemukan sisi istimewa yang tak bisa terungkap lewat kata. Ia  seorang karyawan perusahaan swasta di Jakarta, tingginya kurang lebih 170 cm dan perawakan tidak besar dengan wajah cukup tampan dan bisa dikatakan enak di pandang. Penampilannya selalu perlente, yang paling mengagumkan ia sangat religius sekali. Jika memandang matanya begitu teduh sehingga membuat batinku tentram ditambah tutur katanya begitu lembut penuh arti.

Terkadang aku berfikir kok Allah sayang banget padaku diberikan pria seperti itu, padahal sebagai hambanya aku merasa belum terlalu taat menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya. Lewat dirinya aku mengenal cinta Ilahi, yang tak pernah kuketahui sebelumnya. Kuakui dulu aku yang begitu terobsesi padanya, hingga kuburu ia sampai titik darah penghabisan. Bahkan kalaupun tak bisa memilikinya, paling tidak dekat saja dengannya aku sudah merasa bahagia. Namun justru ketika aku berada dalam titik kepasrahan ia datang menghampiriku menawarkan cintanya, ketulusan, kearifan, kesederhanaanya. Mungkin ini anugrah terindah untukku yang menginjak 27 tahun.

*****

Selepas jam kantor aku langsung meluncur ke Senayan, kebetulan kantornya Zaldi tak jauh sana. Biasanya kami akan menghabiskan malam dengan ngobrol Cafe yang berada di Plaza Senayan. Sore itu sambil menunggu Zaldi, kunikmati secangkir Capucino dan satu iris bronies hem nikmat….. “ Assalamualaikum, Hai apa kabar Di”, sapanya ramah sambil tersenyum padaku. Dari radius yang tak lebih dari 20 cm aku mencium aroma farhumnya yang khas.  

“ Wa’alaikumsalam Zaldi,  kamu terlihat lebih kurus sekarang, apa kamu terlalu capek sehingga kurang istirahat dan makan yang cukup?”tanyaku dengan lembut, ia terdiam sesaat dengan sedikit gugup

“Aku??? baik-baik saja”, katanya dengan ragu.

 “kamu baik-baik saja kan?, kok aku merasakan ada sesuatu  gak seperti biasanya!”. Kataku dengan penuh kecurigaan.

“Kenapa, aku baik-baik saja”, jawabnya yang berusaha menenangkan diri. Entah mengapa aku merasakan saat ini aku merasakan jiwaku sedih, dan ada yang tidak enak di hati ini pertanda apa ini?

 “Kenapa memangnya?”. Tanyanya dengan tenang.

“Zal ayo lah ini bukan hanya sekedar firasat belaka, ayo katakan sesuatu aku punya feeling ada yang tidak beres denganmu”. Kataku dengan serius. Entah mengapa sejak dulu aku begitu peka pada jiwaku, sejak kemarin aku salah tingkah sendiri tanpa tahu sebabnya.

“ Mungkin perasaan kamu benar. Baiklah aku akan jelaskan aku harap kamu bisa terima dan tidak menyalahkan aku“ . Ia terdiam sesaat hemmmm lalu menarik nafas dalam-dalam.

“ belakangan ini aku sering termenung. Dalam hal perenunganku itu aku merasakan sepert Sepertinya aku tak bisa lagi merasakan getaran asmara”. Ia diam sesaat

 “Lalu kemana gairah cinta kita yang dulu membara, rasanya api cinta itu bukan saja telah redup tapi telah padam”. Aku termangu mendengar ucapannya,

“Jadi maksud kamu sekarang kita sudah tidak bisa sama-sama lagi, bicaralah padaku terus terang saja”, kataku  dengan nada tinggi.  

 “Aku yakin suatu hari nanti kalau jodoh kita ketemu lagi”. Ucapnya dengan lantang tanpa dosa.

Glegar… Duar…. Aku seperti baru saja di samber geledek di sore hari tanpa ada panas dan hujan. Aku coba menenangkan hatiku yang penuh rasa kaget ini

“Boleh aku tahu sebabnya ?. Apa aku berbuat salah padamu atau ada seseorang yang telah mengisi hatimu kini?”. Tanyaku penasaran.

“Itu tidak benar, entahlah aku tak bisa lagi merasakan gairah cinta dalam hubungan ini. Aku sendiri bingung apa sebabnya”.ucap Zaldi Gozali sambil memainkan tangannya pada bibir gelas.   

“aku hanya ingin sendiri saja dulu. Sudahlah kita cari bahagia sendiri-sendiri saja. Jangan saling menyalahkan”. Ucapnya  dengan lirih namun tetap tapi tenang.

Aku tak kuasa lagi air mata menetes dari pipiku. Rasanya terlalu banyak warna abu-abu dalam lukisan jiwaku kali ini. Ketika angan tak lagi indah. Disaat mimpi tak lagi bermakna. Dikala hasrat tak lagi membara yang tersisa hanyalah diri dengan kepastian semu dalam derap kaki melangkah.

 “Zal aku tak bisa mengelak kalau itu yang kau rasakan dari hubungan ini. Padahal aku begitu berharap kita dapat mengukir cerita bahagia di akhir kisah ini. Namun apa boleh buat”. Kataku seraya menghapus butiran bening yang pipiku. “Maafkan aku Indi, mungkin jika kamu cari siapa yang salah. Maka akan kau temukan yang salah itu aku. Sejujurnya aku masih sayang padamu, namun jika hubungan ini di lanjutkan aku tak bisa mengelak kalau aku jenuh”. Katanya dengan nada penyesalan. “Sudahlah jangan salahkan dirimu. Cobalah berbicara pada jiwamu. Siapa tahu ada kunci jawaban di sana”, kataku sambil pergi meninggalkannya sendiri di cafee itu.

Kulangkahkan kaki dengan gontai meninggalkan cafe tempat favorid kami, dari lubuk hatiku yang terdalam aku masih berharap ia mengejar langkahku. Lalu  menarik kembali apa yang baru saja diungkapkan. Kucoba menoleh ke belakang di Caffe dimana kami berbincang tadi. Oh ternyata sial !, ia sudah tidak ada di bangku itu dan ia tidak mengejarku. Pupus sudah harapanku, sedih, terhina, kecewa, benci berbaur menjadi satu. Ingin aku  menangis karena sedih, meringis karena sakit. Ingin kulukis dalam kanvas hatiku dengan semburat warna putih, sedikit warna hitam dan sedikit abu-abu. Akan kuberikan warna-warna tipis dengan garis menjulang ke atas dan ke bawah, berjuntai mengikuti warna yang berlari mengejar bayang-bayang. Jiwaku mengembara menyusuri lorong sukma membalut raga.

*****

Tubuhku terpaku malam ini dalam balutan kesedihan. Aku tak bisa merasakan lagi kemilau auramu. Zal mengapa kita tidak bisa menselaraskan konsep kebahagiaan kita? Aku merasa kau bagian hidupku. Namun mengapa justru kau tak merasakan  bahagia bersamaku. Adil kah ini untukku Tuhan? Rasanya habis sudah air mataku menangis malam ini. Zaldi adalah obsesiku selama 3 tahun, kini ia hilang tanpa jejak. Dengan kondisi yang rapuh kubangkitkan sisa-sisa tenagaku keesok harinya untuk menuju kantor. Rasanya tak ada lagi gairah kerja, bahkan sejak semalam aku tak makan. Aku hanya membatalkan puasaku dengan secangkir Capucino.

Ayolah Ndi kamu tak boleh menyiksa dirimu sendiri, kamu harus bangkit. Bercerminlah kau masih cantik, pintar dan kau layak mendapatkan yang lebih dari seorang Zaldi. Suara hatiku berbicara. Tapi bayangan senyum Zaldi terus saja menghantuiku. Kenapa kau palingkan wajahmu padaku. Zaldi ini tidak adil !!! Suara-suara sumbang terus bergemuruh dalam jiwaku.

Lagu mendendam. Marcel dalam tape mobilku mengiringi perjalananku “Mungkinkah kembali segala rasa yang telah hilang. Walau hati kecilmu masih mencintaiku.Tak ingin kubertahan walau kadang mendendam. Akankah kau bahagia jika cinta tak ada untuk dirimu lagi…..”.

Air mata tak bisa kubendung, ia mengalir deras bagai badai tsunami. Semakin aku berusaha melupakannya, Bayangan sorot matanya terus muncul. Ini bukan kegagalan cintaku yang pertama, tapi inilah yang paling membuatku rapuh  bahkan teramat rapuh.

Seorang teman pernah Iri melihat hidupku, katanya “kamu nih kurang apa sih. Karier oke, punya pacar tampan, baik hati. apa lagi kalau tinggal nunggu lamaran aja kan?. Sedangkan aku punya pacar tapi masih ngangur, temperament. Lalu Apa yang bisa kuandalkan darinya?”. Sekarang baru bisa kukatakan bahwa kau salah Tia. Aku tak bahagia. Aku tak bisa lagi melukis jiwaku dengan warna biru yang cerah. Ini yang tertuang hanyalah warna kelabu. Kubelokkan setirku menjauh dari arah kantor. Sekarang aku tak tahu kemana arahku. Aku terus melaju menerjang jalan tanpa kepastian arah.

 Tiba-tiba ponsel berbunyi, ada WA yang masuk.

 Halo apa kabar Indi, masih ingat sama aku? Aku dengar kamu mau nikah yah? Wah gak ada harapan lagi dong!

Siapa sih orang ini, nomer hpnya tak tersimpan di hpku. Aku penasaran dengan sms nyasar itu aku langsung membalas Wa-nya.   Kabar baik, maaf siapa yah nomernya gak saya kenal.

Ia membalas Wa ku :  Masa kamu lupa, aku orang yang pernah sangat terluka. Tapi sudahlah itu sudah kulupakan. Aku hanya ingin menjalin lagi silahturahmi padamu. Itu juga kalau kamu tak keberatan.

Rasanya aku merasa pernah punya kedekatan emosional dengan si pengirim Wa ini, foto profil wa nya hanya foto pemandangan,  namun siapakah dia? Oh jangan-jangan Helmi, pria yang pernah singgah dalam hatiku.  Memang terlalu pahit mengenang kisah kasih bersamamu. Helmi taukah kau, aku yang tengah kurasakan saat ini? Karma itu sudah tiba Helmi, namun haruskah keterima semua ini dengan hati yang benar-benar ikhlas, aku percaya akan adanya karma?

Aku kirim wa ke padanya : Helmi Ya??? Helmi apa kabar? Kamu pasti sudah nikah yah? Wah jealous nih. Aku belum nikah kok. Aku masih single.

Dit…dit… wa-ku kembali berbunyi, ada wa balasan dari Helmi,

:Wah berarti masih ada harapan dong, tapi bagaimana mungkin kamu mau balik lagi sama aku yang tidak jelas masa depannya. Mana gantengnya di bawah rata-rata lagi he he”.

Helmi kamu masih tetap saja seperti dulu, senang berkelakar. Kadang leloconmu itu bikin aku bete. Helmi kamu ada rencana kemana hari ini, jalan yuk! .

Aku tak menyangka Helmi masih mau ketemu denganku, kami janjian ketemu di pantai Ancol. Tak terlalu buruk idenya meskipun aku agak sungkan di ajak ketemu di Ancol. Betapa tidak tempat itu pernah menjadi kenangan kami. Masih terbayang 5 tahun lalu kami sempat membuat ungkapan hati kami di sana.  Waktu itu ia menulis pada selembar kertas lusuh yang di pungut di jalan tapi di tulis dengan seluruh cinta dan jiwanya.  Hai Ombak leburkan cinta kami menuju keabadian cinta. Jadikan rindu ini sebagai jembatan penghubung kami membangun  istana cinta di dasar laut. Hanya dirimulah yang membuatku bisa merasakan asmaradana.  Love you Di

 Lalu aku membalas puisinya .

 I Love 2 Pujangga cintaku , kelak istana itu akan dihuni kita bersama anak-anak kita. Aku hanya ingin hidup dibawah naungan cintamu sayang…..

Kini kuharus kembali ke pantai ancol yang kotor namun sejuta kenangan telah kami ukir di sana. Akankah kita bisa mengukir kembali kenangan itu? Ah mana mungkin, tapi bisa juga kalau Allah berkenan. Gumanku dalam hati

Aku begitu mencintaimu ketika itu, namun jalur hidup membawaku harus meninggalkan dirimu. Saat itu aku tak bisa menerima dirimu yang bersikeras akan membuka usaha sendiri. Kupikir usaha sendiri itu baik, tapi tidak bisa diandalkan karena ia masih belum cukup kuandalkan membuat usaha itu. Aku berfikir kerja dengan orang lain lebih baik,  membuka usaha sendiri hanya untuk sampingan saja. Manusia itu butuh makan, jadi setiap bulannya harus ada penghasilan tetap yang bisa diandalkan. Ketika itu kau merasa yakin dengan mengadalkan usahamu. bahkan kamu yakin bisa menghidupi kebutuhan kita, kalau kelak kita menikah.

Perbedaan pandangan ini yang membuatku meninggalkan dirimu tanpa sebab. Sebab aku muak dengan ketidakpastian yang ia berikan, aku benci jika ungkapan cinta, hasratnya membara hanyalah sebuah janji gombal yang tak jua terwujud. Persetan dengan semuanya Helmi, inilah realita bahwa roda kehidupan terus berjalan, jadi kita harus berfikir realistis. 

Setelah tak bersamanya aku menggapai obsesiku pada Zaldi, yang jauh lebih mapan dari Helmi. Yah paling tidak ia punya pekerjaan tetap yang bisa diandalkan setiap bulannya. Hidup Zaldi nyaris tak neko-neko, lurus saja seperti pengarisan 30 centi meter yang biasa digunakan anak SD untuk mengaris buku tulisnya.

 Zaldi seorang karyawan sebuah perusaahan IT, sesekali ia mendapat order untuk merakit komputer dan membuat jaringan di perusahaan lain. Sedangkan Helmi membuat usaha jaringan instal komputer bersama ketiga temannya. Ia menangani proyek IT jika ada perusahaan yang membutuhkan jasanya, namun proyeknya tak menentu, kadang ada proyek kadang pula tidak. Tapi lebih sering tidaknya dari padanya adanya. Mungkin karena ia kurang gigih menggapai bola rezeki Allah.

Kusadari jalan hidupku tak membawa keberutungan cinta.  Entah kepada siapa lagi aku harus menautkan hatiku. Sampai kapan aku berlayar tuk menemukan pelabuhan cinta terakhir?  Jiwaku-jiwaku terus dinaungi kelabu, rasanya aku tak bisa lagi memberinya warna dengan biru. Konon warna biru  bisa membuat hati bahagia. Telah terlukis dalam jiwaku warna kelabu yang demikian kental. Rasa penyesalan tak bisa mengembalikan lagi masa laluku. Deburan ombak setia menemaiku dalam penantian menunggu sang pujangga cinta yang pernah mendapat tempat dihatiku dulu. Kudengar suara-suara sumbang dalam jiwaku. Ini perbuatan bodoh menantinya. Indi apa kau tak malu padanya, kau telah mencoreng luka di hatinya. Apa kau akan jilat lagi liur yang telah kau ludahkan?

“hai lama yah nunggu”, katanya sambil mencolek punggungku. Kutengok ke belakang ternyata Helmi sudah datang bersama seorang wanita yang sangat elegan dan cantik. Siapa dia, pasti calon istrinya. Menyesal aku telah berharap dan menyesal juga kenapa aku datang ke sini. Namun biar bagaimanapun aku tak boleh memperlihatkan perasaan serba salah padanya. Ayo Indi kamu harus bersikap wajar. Kini bukan lagi kelabu tapi sudah hitam pekat lukisan yang tergambar dalam jiwaku. “hai aku belum lamaku”, kataku berusaha sewajar mungkin.

“Ini kenalin Istriku. Maksudnya calon istriku”  Ucapnya dengan santai

Perempuan itu mengulurkan tangannya padaku “Asti, aku sudah dengar banyak tentangmu dari mas Helmi”,  katanya sambil tersenyum.

 “Oh ya?”, kataku basa-basi

“Aku sengaja ingin ketemu kamu di sini, karena kebetulan calon istriku ini mengelola restaurant pinggir pantai Ancol ini. Jadi tak ada salahnya kamu cicipi makanan di sini”. Katanya sambil senyum simpul, tangan Helmi sambil membelai lembut rambut calon istrinya.

DMCA.com Protection Status