Bab.7 Takut Berpisah
“Kamu peduli sama aku, Yan? Aku pikir kamu sudah mati rasa.” Nisa mencebik. Lalu dia beranjak dari dapur. Meninggalkan Ryan dan Zora yang masih menangis.“Bukan aku, tapi kamu yang mati rasa!” Baru juga reda, Nisa berulah lagi. Ryan berjalan membuntuti. Emosi mulai naik ke ubun-ubun.Nisa berhenti di depan pintu kamar. Berbalik badan, dia mendapati Ryan dengan raut kemarahan yang menjadi. Dalam hati dia menangis, tapi satu sudut bibirnya terangkat. Tersenyum mengejek.Begini lebih baik. Bersikap tidak peduli menjadi senjata ampuh agar Ryan segera menceraikan dirinya.“Kamu enggak lihat Zora nangis?” tanya Ryan sambil mendekat. Dia menyerahkan bayi perempuan itu pada Nisa.Tak bergeming. Nisa melipat kedua tangan di depan dada. Senyum pongah terbit menghiasi wajah.“Ibu ke mana?” tanya Nisa. “Kasih Zora sama ibu.”“Ibu ke peternakan.”Keluarga Adji Anggoro memiliki sebuah peternakan sapi perah dan ayam broiler di Bogor. Sebelum Zora lahir, Sari lebih sering berada di Bogor bersama suaminya.“Berapa lama?”“Enggak tau. Cepat ambil Zora, tega bener liat anak nangis.”“Urus saja sendiri.” Nisa membuka pintu. Masuk ke kamar. “Itu kan anak kamu.”Ryan ikut masuk ke kamar Nisa. Dia menaruh Zora di atas ranjang. Bayi itu masih menangis. Suaranya kencang dan melengking.“Yan, bawa Zora ke kamar kamu. Berisik. Aku mau tidur siang.”“Kamu ibunya.”“Kamu bapaknya.”Nisa bukan tidak mau, dia bingung bagaimana caranya membuat bayi itu berhenti menangis. Ah, coba Lisa punya ponsel. Nisa bisa langsung minta tolong wanita muda itu untuk segera datang.“Mbok Narti ke mana?” Nisa menanyakan keberadaan asisten rumah tangga. “Minta tolong si Mbok aja,” usulnya kemudian.“Lagi nyetrika di atas.”Mau tak mau, Nisa mengangkat tubuh mungil Zora. Membawanya ke dalam buaian. Lengannya merasa sesuatu yang aneh. Kain bedong Zora basah. Ya ampun, Nisa menepuk dahi.“Zora, pipis Yan.” Nisa menaruh lagi tubuh Zora di atas kasur.“Mana aku tau.”“Bajunya basah. Kamu enggak ngerasa?”Ini untuk kali pertama Nisa mengganti popok Zora. Meski tidaklah mudah, dia harus bisa menaklukkan pekerjaan ini. Dia sudah sering melihat ibu mertuanya melakukan itu.Dan juga, tadi pagi sudah praktik di kontrakan Lisa. Waktu mengganti popok Reyza. Wanita muda itu yang mengajari.“Ambilin popok. Malah diem aja,” gerutu Nisa saat Ryan justru tak bergerak.“Eh, iya.” Ryan berlari menuju kamar Zora. Cepat dia mengambil apa yang di minta Nisa. Lalu kembali lagi dengan langkah seribu.Di depan pintu, ibu jari kaki Ryan menabrak gawang pintu. Keras, membuatnya meringis kesakitan. Beruntunglah, Nisa tidak melihat kejadian nahas yang baru saja menimpa. Bisa pecah tawa wanita itu melihat Ryan hampir tersungkur.“Ganti cepat. Nanti Zora kedinginan,” perintah Ryan seraya mengulurkan tangan.Gesit Nisa bergerak merebut baju ganti Zora dari tangan Ryan. Mulanya dia ragu-ragu saat memegang tangan mungil Zora. Kecil dan pastinya rentan. Nisa takut membahayakan bayinya, maka pelan-pelan sekali dia meloloskan baju yang basah itu dari tangan Zora.Ryan menyaksikan sambil merapal. Dia tak kalah khawatir. Bayi perempuannya yang fragile dipertaruhkan. Dijadikan kelinci percobaan oleh ibu kandungnya sendiri.Akhirnya dengan semangat perjuangan, Nisa berhasil mengganti pakaian Zora. Tapi bayi itu masih menangis saja. Apalagi yang kurang?“Apa mungkin dia lapar?” tanya Ryan.“Mungkin dia ngantuk. Tapi enggak bisa bobok gara-gara ada bapaknya.”“Enggak mungkin lah.”“Mungkin aja. Mamanya kan enggak suka sama Papanya.”Ryan merengut. Sumpah, hanya di depan Nisa dia berani berbuat konyol seperti itu. Merengut bukan gayanya. Bisa hilang pamor di kalangan karyawan toko kalau mereka melihat mukanya di tekuk.Selain punya peternakan, keluarga Adji Anggoro juga punya sebuah toko ritel yang cukup besar. Berdiri di kawasan jantung kota, membuat usaha itu berkembang pesat. Ryan yang sekarang menjabat sebagai direktur utama, menggantikan posisi ayahnya.“Enggak usah cemberut. Jelek,” ejek Nisa. “Entar enggak ada cewek yang naksir sama kamu.”“Enggak penting. Yang penting kan udah punya istri.”Nisa melengos. Dia mengangkat tubuh Zora. Mengayun-ayun dalam buaian. Perlahan tangis Zora melemah lalu reda. Bayi itu tertidur. Nisa tersenyum puas.“Kamu pantas jadi seorang ibu,” kata Ryan kagum.Posisi Nisa menggendong bayi adalah pose paling menarik di mata Ryan. Kecantikan itu tambah berpuluh kali lipat. Tanpa sadar Ryan tersenyum. Wajah ayu itu mengalahkan rasa sakit di jempol kaki yang membengkak.“Kamu enggak pantes jadi seorang ayah.”Ryan meringis. Sanjungan dibalas ejekan. Kakinya seketika sakit lagi. Dasar wanita tidak peka, geram Ryan. Dia duduk di atas kasur, memegangi jempol kakinya yang ternyata berdarah.“Kamu kenapa Yan?”“Sakit.”“Apanya?”“Di sini!” Ryan menunjuk dadanya.“Oh...,” desis Nisa. Dia tak tertarik dengan Ryan. Biar saja pria itu kesakitan sampai kakinya berdarah. Nanti juga sembuh sendiri.Dia memandangi wajah Zora lalu menciumnya lembut. Sepenuh hati. Rasa takut berpisah mulai menyerang. Menjalari setiap hela nafas. Ikut mengalir bersama aliran darah di sekujur tubuh.Apakah artinya, Nisa telah jatuh cinta pada bayi perempuan itu?Bayi yang membuatnya terikat pernikahan dengan sahabat sendiri. Pernikahan yang aneh karena tak dilandasi rasa cinta. Jangankan menikah, jatuh cinta pada sosok Ryan tak pernah terpikirkan dalam benak wanita berambut panjang itu.Nisa menoleh kepada Ryan. Sial! Pria itu juga sedang menatap ke arahnya. Dan sialnya bertambah sebab Nisa malah menikmati tatapan itu.“Jangan liatin terus, nanti kamu jatuh cinta.” Ryan tertawa puas.“Pergi kamu dari sini. Aku mau tidur sama Zora.”Ryan beranjak dari kamar. Berjalan pelan ke arah pintu, takut jempol kakinya yang sakit menabrak gawang lagi. Sebisa mungkin dia menutup daun pintu tanpa menimbulkan suara. Sekali lagi sebelum pintu benar-benar tertutup rapat, dia mengintip ke dalam.Hatinya menghangat melihat Nisa memperlakukan Zora dengan sangat baik. Mereka dua orang yang amat berarti dalam hidup Ryan. Dan segala upaya akan Ryan lakukan demi mempertahankan Nisa dan pernikahan mereka.♧♧♧“Katanya mau tidur, kok keluar lagi?” tanya Ryan ketika Nisa keluar dari kamar.Nisa sudah berganti baju. Penampilannya rapi. Baju atasan berwarna putih dipadupadankan dengan celana blue jeans. Rambut hitam panjangnya dibiarkan tergerai. Wajahnya berbalut bedak, meski tipis dan samar Ryan bisa melihat istrinya bersolek.“Mau pergi?” Ryan bertanya dalam nada serius. Dia menaruh ponsel di sofa. “Ke mana lagi?”“Raya telepon. Dia bilang aku mesti datang segera ke kost-an.”Raya teman satu kost Nisa waktu kuliah. Jika bukan karena hal penting, Nisa juga tidak akan datang. Tidur siang dan berdiam diri di kamar jauh lebih nyaman daripada panas-panasan di luar rumah.“Kenapa enggak dia yang datang ke sini?”“Enggak bisa. Enggak boleh.”Apa salahnya jika Raya datang berkunjung. Ryan tidak akan melarang. Pintu terbuka lebar. Dengan senang hati Ryan akan menyambut gadis itu. Kehadiran Raya di rumah bisa jadi teman buat Nisa. Ya, biar istrinya itu tidak melulu memikirkan Agung.“Raya minta aku datang.”“Ada yang kamu sembunyikan dari aku?” selidik Ryan.“Maaf.” Nisa menunduk. Jujur atau bohong sama saja. Dia akan tetap salah di mata orang-orang.“Apa? Apa yang kamu sembunyikan?”Nisa menggeleng. Tapi jika pergi tanpa seizin Ryan? Ah, ibu mertuanya pasti akan marah.“Katakan Nisa. Kamu mau ngapain ke tempat Raya?”“Itu....”“Apa yang kamu sembunyikan? Katakan saja.”♧♧♧Bab.8 Mencintai Dalam Diam“Apa? Apa yang kamu sembunyikan?”Nisa menggeleng. Tapi jika pergi tanpa seizin Ryan? Ah, ibu mertuanya pasti akan marah. Tidak boleh seorang istri keluar tanpa meminta izin lebih dulu pada suami. Begitu ibu mertuanya mewanti-wanti pada awal pernikahan mereka.“Katakan Nisa. Kamu mau ngapain ke tempat Raya?”“Itu....”“Apa yang kamu sembunyikan? Katakan saja.”Nisa mendongak pada Ryan yang tengah menatapnya lekat. Seakan meminta jawaban jujur darinya. Tak sampai hati Nisa mengatakan itu. Melalui sambungan telepon, Raya bilang kalau Agung berniat memberikan kejutan. Dan gadis itu terpaksa membocorkan rencana Agung. Tentu saja harus dibocorkan. Nanti kalau tiba-tiba Agung datang dan Nisa tidak ada di tempat kost? Apa yang akan dikatakan pada tunangan sahabatnya itu?Pandai benar Agung bersikap. Pria itu selalu menyenangkan hati Nisa. Pandai memperlakukan wanita. Tidak seperti Ryan. Eh, malah membandingkan Agung dengan pria menyebalkan yang tengah membeliak ta
Bab.9 Akan Kukembalikan Jodohmu♧♧♧Pintu terbuka. Wajah Ryan menyembul dari balik pintu. Matanya membeliak, menatap heran bercampur kaget pada tamu yang tak diundang itu. “Ryan,” sapa Agung sembari mengulurkan tangan. “Apa kabar?”Ryan memaksa senyum. Dia melebarkan daun pintu kemudian menjabat uluran tangan Agung. “Sakit apa? Kata Raya kamu sakit parah?” tanya Agung.Ryan menoleh pada Raya. Gadis itu memainkan mata. Berkedip hingga tiga kali disertai senyuman memelas.“Nisa mana, Yan?” Tanpa menunggu sang tuan rumah, Raya menyerobot masuk. Menabrak Ryan yang masih tertegun di depan pintu.“Ada di kamar.”“Di kamar?” tanya Agung. Dia berharap itu hanya salah dengar. “Di kamar, ngapain?”“Di kamar si Mbok, lagi nonton TV.” Ryan melengos. Sama sekali tak tertarik dengan pertanyaan Agung.Nisa muncul di tengah basa-basi yang membuat jengah. Disambut hangat oleh Agung. Direngkuh tubuh Nisa yang mematung tak berdaya.“Aku rindu kamu, Sayang.” Agung mencium kening dan pipi Nisa. “Happy A
Bab.10 Mundur Selamanya ♧♧♧“Oh, iya Lis...,” seru Sari ingat sesuatu. “Nisa bilang suami kamu kerja di supermarket. Di mana itu?”Lisa terdiam. Gugup. Suaminya sudah kabur. Belum kembali sampai sekarang. Dia memutar otak, mengingat salah satu nama supermarket yang pernah dikunjungi bersama Anjas sehari sebelum melahirkan Reyza.“Di Semarak Mart.”Ketiga orang dewasa itu menoleh pada Lisa. Sari menaruh sendok dan garpu di atas piring. Sepotong daging ayam di tangan Ryan terjatuh. Nisa duduk mendekat ke samping Lisa.“Oh, kebetulan sekali,” seru Sari antusias. “Nanti minta sama Ryan buat promosikan dia.”“Semarak Mart itu punya keluarga Ryan,” terang Nisa. Kalau tahu sejak awal, sudah pasti dia memintakan pada Ryan agar suami Lisa naik jabatan. Atau paling tidak naik honor.Senyum Lisa memudar. Kebohongan demi kebohongan membuat hidupnya tambah semrawut. Inikah balasan karena melawan restu orang tua?“Siapa namanya?” tanya Ryan serius. “Tidak usah. Kalian terlalu baik pada saya. Uang
Bab.11 Kamu Dimana, Nisa? Ryan menatap Agung penuh tanda tanya. Jika bukan Nisa, ibu dari anak perempuan ini. Lantas di mana Nisa saat ini? Bukankah seharusnya Nisa menikah dengan Agung?Apa itu artinya, Agung menelantarkan Nisa?“Di mana Nisa?”Agung tertawa. Tawa yang sulit dicerna oleh Ryan. Tawa kemenangan atau kepedihan? Entah, keduanya tak bisa dibedakan.9“Saya yang harusnya bertanya demikian. Di mana Nisa?” Agung berjalan mendekat. Dia mengeluarkan dompet dari dalam saku celana. Lalu mengambil sebuah kartu nama. Diberikan pada Ryan.“Hubungi saya besok,” bisik Agung seraya menepuk pundak Ryan. “Jangan ganggu quality time keluarga saya.”Terpaku Ryan di tempat. Menyaksikan Agung beserta anak dan istrinya menjauh. Dia membuka telapak tangan, di mana Agung menyelipkan sebuah kartu nama.“Agung Baskoro.” Ryan membaca nama beserta alamat kantor Agung. Jika ditelisik lebih, alamat itu tak terlalu ja
Bab.12 Keputusan yang Salah “Aku harus menemukan Nisa. Bagaimanapun caranya,” gumam Ryan memecah kebisuan.“Jangan. Saya takut istri kamu terluka, Yan.”Sungging yang terbit dari sudut bibir Ryan, membuat Yusuf menegakkan tubuh. Diamati lagi dengan penuh selidik wajah mantan adik iparnya. Banyak hal yang disembunyikan oleh pria itu, Yusuf sedikit mencerna dari gurat wajah letih itu.“Cukup Nisa saja. Jangan ada hati lain yang kamu lukai,” ulang Yusuf.“Saya cuma mencintai Nisa.”“Dan kamu menikah lagi tapi tanpa cinta?”“Saya tidak menikah lagi. Saya menikmati hari-hari bersama Zora,” sahut Ryan.Yusuf menggeleng. Dia kembali bersandar. Lalu menoleh pada Ryan yang duduk di sebarang meja. Bila ada dua insan manusia yang begitu tulus mencintai, mengapa suratan takdir tak lantas menyatukan mereka? Cinta terpendam yang tak pernah diungkapkan, membuat mereka berdua terpisah karena kesa
Bab.13 Terlambat Menyadari Cemberut, Zora menyerahkan helm pada Ryan. Pagi yang kurang bersahabat. Masa iya ke sekolah diantar pakai sepeda motor? Di mana harga diri Zora sebagai cewek populer, Papa?“Kenapa sih anak Papa ini?” Ryan memijat hidung Zora.Naik motor itu sama sekali tidak ada enak-enaknya. Zora heran sama mereka yang suka boncengan sama pacar atau gebetan. Padahal bikin punggung capek, belum lagi kalau panas kepanasan, kalau hujan jangan ditanya.“Udah rapi itu rambut,” kelakar Ryan kala melihat Zora berulang kali membenahi rambut panjangnya. Eh, Ryan malah makin gemas. Diacaknya kembali tatanan rambut berponi itu.Zora mengentak kaki. Dia berbalik badan lalu tanpa pamit pergi menjauh dari Ryan di depan pintu gerbang SMA Taruna Mulia.“Ra...,” panggil Ryan masih dari atas sepeda motor sport yang baru dibeli seminggu lalu.Zora berhenti lalu berjalan mundur. Begitu sampai di dekat Ryan dia berbalik badan.“Buka helm Papa,” sungut Zora.Ryan membuka helm full face yang di
Bab.14 Nisa, Aku Tahu Itu Kamu!“Siapa nama lengkap calon istri Anda?” tanya Ryan.“Nisa Salsabilla.”Cari masalah memang Ryan. Sesak menyerang ulu hati tatkala mendengar jawaban Salman. Sungguh, dia hanya cemburu. Pada seorang pria yang dengan bangga menyebut nama calon pendamping hidupnya. Sedangkan nama yang disebutkan sama dengan nama seseorang yang sangat istimewa di hati, jiwa dan hidup Ryan.“Banyak orang dengan nama yang sama, Yan.” Sari kembali menepuk paha Ryan. Kali ini amat pelan, seperti tengah menyalurkan energi positif pada putra kesayangannya.“Kebetulan sekali,” lirih Ryan. “Tapi kali ini pasti Nisa Salsabilla saya lebih cantik,” protes Salman.“Kita lihat saja nanti.” ♧♧♧Tak tahan lagi! Kali ini tak bisa ditahan-tahan lagi kemarahan Zora. Di sana, di teras kelas XI MIPA 1. Sekumpulan siswi tengah membicarakan Papanya. Zora baru saja balik dari kantin bersama Lani ketika tak sengaja mendengar itu. Dia masih mengintip di balik pintu ruang kelasnya.“Ya ampun melel
Bab.15 Jangan Pupus, Bungaku!“Sudah Ra, jangan nangis terus.” Lani mengelus punggung Zora. “Kalung Mama putus.”“Bisa disambung lagi.”Zora semakin kencang menangis. Bikin suasana kelas yang berisik semakin rungsing. “Itu satu-satunya kenangan Mama.” Di tengah isak Zora menjelaskan pada Lani. Kemudian gadis itu menelungkupkan sebagian tubuh di atas meja.Lani celingukan. Matanya memindai seluruh ruangan kelas. Dia kesal. Penghuni kelas XI MIPA 2 ada dua puluh siswa. Namun tengoklah mereka berdelapan belas, tak satupun yang peduli.Di bangku ujung belakang sebelah kiri dia melihat Eza. Pemuda itu rupanya tengah mengamati. Buktinya ketika terpergok, pemuda itu langsung buang muka.“Bantuin gue,” pinta Lani begitu sampai di bangku Eza. “Tolong Zora dong,” imbuhnya kemudian.“Kamu saja enggak bisa nolong, apalagi aku?”“Paling enggak lu punya tampang cakep.” Lani salah ucap, dia membungkam mulutnya sendiri. Malunya sampai ke ubun-ubun. Bak buah tomat matang, pipinya bersemu.“Apa hubun