Tidak ada lagi suara dalam mobil yang Ravindra kendarai. Bianca sibuk men-scroll akun sosmed, sedangkan Ravindra sendiri fokus menyetir mobil. Lelaki itu sangat berhati-hati karena jalanan yang licin, hujan yang semula gerimis sekarang cukup deras. Membuat jarak pandang Ravindra semakin kecil. Tiba-tiba ada dering masuk di ponsel Ravindra. Lelaki itu merogoh saku celana, lalu melihat ke kursi belakang. "Tolong ambilin hape di belakang, Bi," katanya. Bianca mendengus, tapi tetap melakukannya. Ia meraih ponsel di kursi belakang dengan susah payah. Bahkan Bianca harus mengangkat sedikit tubuhnya dari kursi dan berputar menghadap ke belakang. "Ngapain naruh hape di belakang gini, sih. Jadi susah, kan, ngambilnya," gerutu Bianca dengan sebal. Wanita itu mengangkat sebelah alisnya. Ada nama Melodi dan fotonya yang manis. Sangat imut dan polos, sangat disayangkan Ravindra mengabaikan perasaan wanita ini. "Dari Melodi, nih." Bianca menyerahkan ponsel pada Bianca. Ravindra berdecak seba
Decakan kembali terdengar ketika ponsel putih itu berdering nyaring. Seingatnya Bianca tidak memasang alarm semalam. Karena dirinya memang sudah berniat untuk tidur seharian. Jadi, ini pasti adalah dering ponsel. Bianca bersumpah akan mengutuk kalau sampai ini bukan hal yang penting. Dia baru saja tidur pukul empat pagi tadi. Ia masih sangat mengantuk untuk dipaksa bangun. "Hallo?" ujarnya malas. "Baru bangun?" Terdengar suara Ravindra yang renyah dari seberang telepon. Bianca mendengus, ini benar-benar nggak penting. "Gue matiin karena pertanyaan lo nggak penting." Bianca dengan kesal berniat mematikan sambungan, tetapi perkataan Ravindra langsung mengurungkan niatnya. Bahkan matanya yang masih memejam langsung terbuka lebar. "Cepat kemasi barang, hari ini kamu pindah ke penthouse." Bianca mengerjapkan mata, ia melihat kembali layar ponsel sekilas kemudian kembali menempelkan pada telinga. "Penthouse? Lo beneran beli penthouse buat gue?" "Hm." "Gue nggak mau pindah," balas Bi
Bagi Melodi yang mengartikan perasaannya adalah cinta, perkataan Ravindra tentu sangat menyakitkan. Gadis dengan wajah manis itu menunduk, menatap rok merah muda yang ia kenakan. Kemudian tanpa mengatakan apapun berdiri dan keluar dari ruangan Ravindra. Lelaki itu menghela napas. Seharian nanti pasti akan banyak pesan masuk dari Mamanya. "Bapak ngomong apa kok muka Non Melodi langsung sepet gitu?" tanya Ilham yang baru masuk ke dalam ruangan Ravindra. "Ketuk pintu dulu kalau mau masuk," ketus Ravindra sebelum berdiri dan kembali ke meja kerja. Ia berdecih melihat makanan yang tadi di bawa Melodi. "Makan ini terus kalau sudah habis tolong foto wadahnya dan kirim ke saya." "Again?" Sejujurnya ini bukan yang pertama bagi Ilham diminta memakan masakan Melodi. Dia tidak tahu kenapa atasannya itu selalu menolak makan padahal tidak ada racun di dalam masakan Melodi. Meski tidak terlalu enak tapi rasanya juga tidak mengecewakan. "Lakuin aja cepetan. Saya nggak mau lembur hari ini, jadi
Bianca memekik ketika dengan cepat Ravindra menarik tubuhnya ke atas pangkuan. Kedua tangan lelaki itu terselip di antara pinggang dan leher Bianca. Sama sekali tak memberi akses untuk wanita itu mundur. Lidah hangat milik Ravindra kembali melesak maju diantara bibir Bianca yang bercelah. Mengecap dan juga menarik di titik yang tepat, menimbulkan suara decapan yang sungguh erotis. Bianca merasa pusing, ciuman Ravindra membuatnya menginginkan lebih. Gairah dalam tubuhnya semakin memuncak dengan perlakuan Ravindra. Pinggang rampingnya diusap dengan lembut, namun, bibir Ravindra bergerak dengan ambisius. Tidak ada lagi kelembutan dalam permainan lidah mereka, karena Ravindra sekarang bahkan menekan tubuh mereka agar semakin mendekat. Bianca membawa tangannya meremas rambut Ravindra. Menyalurkan perasaan yang kini ia rasakan. Bagian bawahnya terasa sudah sangat basah dan berkedut. Ia ingin segera merasakan tubuh keras Ravindra dalam dirinya. Ini sangat gila dan memabukkan. Namun, sep
"Lama-lama kamu juga bakalan paham semua tentang aku," ujar Ravindra kemudian terkekeh. Merasa lucu dengan ungkapan yang Bianca lontarkan. Ravindra menarik salah satu kursi dan membiarkan Bianca untuk duduk. Kemudian ia menaruh bokong di sebelah wanita cantik itu. Dengan sangat penuh perhatian, Ravindra menuangkan segelas air putih. Bianca langsung meminumnya karena dia sendiri sudah haus. "Mau makan yang mana dulu?" tawar Ravindra. Bianca mengedarkan pandangan ke seluruh meja. Bingung harus makan yang mana karena semuanya terlihat enak. Pilihannya jatuh pada ikan bakar dan juga sate. "Mau itu sama itu." Ravindra mengangguk. Kemudian menaruh satu centong nasi ke piring Bianca dan mendekatkan lauk yang wanita itu inginkan. "Makan yang banyak." "Lo nginep di sini?" Bianca mulai menyuapkan sesendok nasi dan sate. Matanya memejam merasakan bumbu kacang yang sangat menyatu dengan dagimg empuk. Sangat nikmat dan membuat Bianca semakin semangat untuk makan. "Iya. Itu barang yang kamu
Bianca membentuk huruf O dengan mulutnya ketika tahu Ravindra sedang menerima telepon. Wanita itu kemudian berlalu pergi dengan membiarkan pintu kamar Ravindra terbuka. "Nanti aku jemput jam sepuluh. Udah dulu, ya." Ravindra tidak tahu siapa yang mendengarkan suaranya di telepon, tapi rasanya dia ingin mengubur diri sendiri sekarang. Bisa panjang urusannya kalau sampai hal ini terdengar di telinga Mamanya. Ada beberapa notif pesan beruntun yang muncul ketika Ravindra sudah mematikan smbungan telepon. Mungkin itu adalah Melodi, tapi Ravindra enggan untuk langsung membalas. Maka, lelaki itu memilih turun ke bawah dan mengantarkan koper Bianca ke kamarnya. "Ini pakaiannya, semalam lupa mau ngangkat ke sini." Bianca yang sedang sibuk bermain ponsel mengangguk dan langsung menghampiri. Membuka koper dan memilih pakaian mana yang ingin dia kenakan. "Sorry untuk tadi, gue nggak tau kalau lo lagi telponan. Gue ketuk pintu nggak dibuka-buka, sih." Ravindra menatap arah walk in closet yang
Ravindra keluar dari mobil sport yang setiap hari ia gunakan. Lelaki dengan setelan rapi itu mendongak, menatap kamar Melodi yang jendela balkonnya baru saja ditutup saat mobilnya tiba. Sepertinya gadis dua puluh tiga tahun itu menunggu kehadirannya sejak tadi. Kaki panjang Ravindra melangkah memasuki halaman rumah mewah keluarga Rahadi. Ia langsung disambut dengan pemandangan Melodi yang berlari turun melewati tangga. Tubuh mungil gadis itu langsung menabrak Ravindra sampai membuatnya mundur satu langkah. "Kirain bukan Kakak yang jemput," ucap Melodi. "Aku nggak ada kerjaan yang penting hari ini." Ravindra melepaskan pelukan Melodi. "Mana Mama?" Melodi menggenggam kedua tangan tunangannya. Kepalanya mendongak untuk menatap wajah Ravindra yang sempurna tanpa kekurangan. "Sudah pergi, tadinya mau nunggu Kakak tapi aku bilang nggak usah. Mama bakalan tanya macam-macam nanti," balas Melodi. Meski berkata demikian, tapi Ravindra tahu kalau dia masih harus menjelaskan suara Bianca tad
Selama membelah padatnya kota, Bianca tidak henti-hentinya mengembangkan senyum. Wajahnya yang cantik menjadi sangat cerah, dengan kepala bergerak menikmati kesenangan ini. Ia memang ingin memiliki mobil, tetapi, tidak menyangka kalau akan memilikinya secepat ini. Ditambah lagi ini adalah mini cooper. Mobil impian Bianca. Sepertinya Ravindra menyelidikinya dengan baik. Lelaki itu tahu mobil apa yang dia inginkan tanpa bertanya. "Na na na na na Ice on my wrist, yeah, I like it like this. Get the bag with the cream. If you know what i mean." Binca bernyanyi dengan riang sampai tanpa sadar sudah sampai di tempat yang ia tuju. "Ravindra memang yang terbaik," ucapnya dengan riang. Bianca memarkirkan mobilnya di halaman rumah Mila. "Ya ampun, ternyata lo, Bi. Gue kira siapa numpang parkir," seru Mila ketika Bianca sudah keluar dari mini cooper merahnya. Kedua wanita yang adalah sahabat itu berpelukan. Kemudian beriringan masuk ke dalam rumah Mila. "Mobil baru, cuy. Sugar daddy gue ya