Share

Masih seperti dulu

"Nggak usah sedih begitu, nanti kita belikan sesuatu untuk Bude usai acara Yu Santi beres. Tenanglah. Mana kuncinya? Mas kebelet, nih," Suamiku menadah minta kunci rumah.

Aku tertawa geli. Bisa aja dia berulah pake bilang kebelet segala. Aku segera membuka kunci rumah Pakde Umar.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam. Kamar mandi dimana, Yang?" Suamiku nyelonong masuk.

"Lurus, masuk, belok kiri, kamar mandi di pojokan."

Masih seperti dulu, rumah ini selalu rapi. Ruang tamu, tuang tengah, masih yang dulu. Bayangan masalalu saat ku masuk ruang tengah tergambar. Bayangan dimana aku dan ketiga anak Pakde menggambar bersama, mas Yuda membuatkan gambar pesawat untukku. Mas Ari mewarnai gambar motor kesukaannya. Aku bermain boneka bersama Mbak Eis disini, hingga kami tertidur di siang hari diruangan ini. Indah, indah sekali waktu itu.

"Pak, Ilyas, Dimas, masuklah. Istirahat dulu," Ku persilahkan dua orang suruhan Mas Bayu masuk.

Dimas membawa koper milikku dan Mas Bayu. "Mau ditaruh mana koper ini?"

"Biarkan disini dulu. Duduklah. Saya mau kebelakang." Aku berlalu menuju lebih dalam rumah ini.

Ke dapur, meja makan ini, ruangan ini. Semua tentang kami. Dulu, waktu bulan puasa, meja makan ini menjadi saksi kehangatan keluarga Pakde Umar dan Bude Siti. Kami selalu makan bersama disini, tiada perbedaan kasta disini. Mereka menyayangiku. Tak seperti di rumah ku sendiri. Dirumah ini, limpahan kasih sayang kudapatkan dari semua saudaraku.

Suara motor membuyarkan bayang masalalu.

"Rin, Rini!" Kamarmu masih ingat 'kan?" Itu seperti suara Bude. Aku lekas menuju kedepan.

Ternyata Bude sudah ada diruang tengah, lalu menuju dapur. Aku tak jadi ke depan. Bude membawa bungkusan lagi.

"Bude, bawa apa?" tanyaku penasaran.

"Ini, daging kambing tapi belum dimasak. Pakdemu minta dimasakin tongseng, disana dia nggak selera makan, nasinya keras." Bude segera meletakkan bungkusan yang ia bawa, dengan cekatan ia memindahkan isi plastik itu.

"Yang, aku mau mandi duluan, takut Ashar nya habis," Mas Bayu keluar dari kamar mandi.

"Mandilah, mandi biar seger," Bude Siti berucap sambil sibuk mengurus daging yang ia bawa.

Aku segera menyiapkan keperluan suamiku berjalan kedepan lalu membawa koper ke kamarku. Kamar ini yang menjadi saksi semua suka duka semasa remaja hingga aku lulus SMK. Eis dan aku selisih 3 tahun, meskipun begitu, kami selalu akur. Aku dan Eis sering sekali menghabiskan waktu kami di kamar ini, setelah aku lulus SMK kami berpisah.

Usai menyiapkan peralatan mandi Mas Bayu, aku segera kebelakang lagi. Ku lihat Mas Bayu duduk di kursi meja makan. Ini kali ke dua Mas Bayu ke rumah ini.

"Bayu, mau teh apa kopi?" Ku dengar Bude menawari minuman.

"Enggak lah Bude, tadi sudah ngopi disana. Takut kembung."

"Mas Bayu itu sehari paling dua kali ngopi, Bude. Lebih dari itu, kembung dia," ucapku nimbrung obrolan mereka.

Kuberikan peralatan mandi milik suamiku. "Mandilah, nanti gantian yang lain."

"Oke, makasih, sayang," ucap Mas Bayu bangkit lantas mencium pipiku.

Sontak saja aku tersipu, malu lah. Beruntung bude Siti tak melihat adegan tadi. Ah, dasar Mas Bayu, tiada hari tanpa mencium, memeluk, diri ini. Mas Bayu menghilang di balik pintu kamar mandi.

"Rin, itu temen suamimu suruh mandi, gantian." Bude berucap sambil seperti meracik bumbu.

"Iya, Bude. Rini juga mau sholat dulu."

Aku berjalan mendekati bude. Kulihat ia sedang mengiris daging.

"Bude, ini mau ditongseng semua?" Basa-basi ku kepadanya.

"Ini nanti dimasak dua macam, pakdemu suka sekali tongseng. Kalau Eis sukanya gule. Jadi, yo masaknya bikin dua menu kalo enggak, Eis bisa cemberut." Bude tertawa. "Kamu istirahat, atau mandi saja, ini biar Bude yang masak. Kasihan kamu pasti capek, habis perjalanan jauh."

Aku memilih sholat dulu saja, kalau mandi sekarang, nanti pasti gerah lagi. Usai sholat aku ingin membantu bude memasak.

"Aku sholat dulu, deh." Aku lalu berjalan ke kamar mandi mengambil wudhu gegas ke ruang sholat.

"Mukena ada di lemari biasanya, Rin," ucap Bude Siti saat melihatku keluar kamar mandi.

"Iya, Bude. Tak sholat dulu." Aku segera menuju kamar sholat, lalu membuka lemari.

Ku cari mukena di antara tumpukan kain. Sebuah mukena bermotif bunga-bunga kecil yang sering ku pakai sholat dulu waktu tinggal disini. Mukena hadiah dari Bude Siti saat ulang tahun ke tujuh belas. Masih bagus dan layak pakai.

Usai sholat, aku kembali ke dapur, membantu Bude. Sepertinya Mas Bayu sudah selesai mandi, pintu kamar mandi sudah terbuka. Hem, pasti lagi ganti baju.

Ku biarkan Mas Bayu yang mungkin saja kini berganti baju dikamar.

Lebih baik ku bantu saja bude memasak. Ku hampiri bude yang kini sedang mengulek bumbu.

"Bude, ada yang bisa dibantu?"

Bude menoleh, "Ah, nggak usah. Mandilah, terus istirahat. Ini sudah mau selesai," Bude Siti mengulas senyum.

Bau harum, dan suara desis khas masakan menusuk hidung dan menembus telinga. Ku lihat, diatas kompor ada sebuah wajan yang berasap.

"Apa ini, Bude?" Kudekati wajan itu. Baunya menggugah selera. Oh, rupanya ini tongseng daging kambing.

"Itu tongseng, ini lagi bikin bumbu untuk gule." Bude melanjutkan menghaluskan bumbu.

Saat kami sedang asyik memasak sambil ngobrol, Pakde Umar datang membawa telur bebek.

"Rini, masih ingat ini?" Pakde Umar menyodorkan sebaskom kecil telur bebek. Isinya sepuluh butir.

"Wah, inget dong. Dulu 'kan aku yang kasih makan bebek-bebek ini. Pakde masih punya bebek?" tanyaku antusias.

Pakde Umar meletakkan terlur bebek di dekat wastafel. Dapur pakde dari dulu memang sudah di buat dapur sehat.

"Ya masih. Lumayan kalau mau njamu nggak beli telur." Pakde mencuci satu persatu telur bebek itu.

Aku membantu Bude Siti memasak tongseng. Ku aduk dan sekali kucicipi masakan ini. Hem, enak. Rasa khas tongseng bikin goyang lidah.

"Masak yang enak, Nduk. Nanti kita makan sama-sama. Kalo kurang, besok masak daging ayam, apa daging bebek." Pakde mengusap bahuku.

"Ah, Pakde. Ini aja belum dimakan."

"Kemana suamimu? Dia sudah mandi?" Pakde menuang air minum di gelas lalu diteguk hingga habis.

"Lagi sholat kayaknya. Paling sholat dikamar."

"Rini, santan di kulkas, dibotol air mineral, tolong ambil, ya," titah Bude Siti lembut sekali.

Aku segera menuju kulkas, ku buka lalu kucari santan yang bude maksud. Kulkas bude kosong, hanya ada beberapa botol air minum. Di frezer ada es batu. Hem, oke, besok akan ku penuhi kulkas ini. Lihat saja.

"Ini bukan, Bude?" Kutunjukan sebuah botol mineral berisi air berwarna putih.

"Iya. Tuang ke panci ini, Nduk. Nanti kalau dagingnya sudah ditumis bersama bumbu, masukan ke panci ini," ucap Bude.

Budeku masih seperti yang dulu, sabar, telaten mengurus kami semua. Bila memasak pasti selalu memikirkan selera anggota keluarga. Bude benar-benar sosok ibu idaman.

"Nduk, kamu nggak nengok makam? Kasihan ibu dan ayahmu lama tak di kunjungi." Pakde mengingatkan sesuatu yang tak terpikirkan olehku.

Deg

Jantung ini serasa dihujam sesuatu yang membuat sesak.

Ke makam? Jika aku kemakam, berarti aku harus melewati rumah Yu Yati. Bagaimana jika bertemu wanita itu, lalu dia berulah lagi? Apa yang harus aku lakukan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status